Media dan Jurnalisme Warga

Beberapa waktu yang lalu saya kembali menggunakan alat transportasi paling ramah kantong, kereta. Ditemani oleh salah seorang rekan seperjuangan, saya menuju Malang.  15 ribu rupiah menebus tiket perjalanan dari Tulungagung ke Malang, dan berlaku sebaliknya.

 

Perjalanan selama tiga jam saya nikmati tanpa tempat duduk alias berdiri. Di pintu gerbong 2 saya menikmati bau khas kereta ekonomi sekaligus bau tubuh orang-orang yang berdiri. Saya suka dengan keadaan ini, ketika semua berdiri sama tinggi, sejajar. Saat tidak ada yang menanyakan apa agama saya dan apa pekerjaan saya. Pun demikian tidak ada yang menanyakan gelar atau hal-hal privat lainnya. Saya kira keadaan ini juga bisa terjadi di transportasi umum lainnya, bus, angkot, pesawat dan lainnya.


readersdigest.co.id


Di sela lamunan saya, berita pengeboman salah satu gereja di Surabaya, terdengar mengejutkan. Semua akun media sosial yang saya miliki mendadak riuh oleh hashtag 'kami tidak takut', 'lawan teroris' dan lain sebagainya. Yaa... bom bunuh diri yang dilaporkan beberapa media memang membuat jagad maya dan nyata gempar dibuatnya.

 

Semua warga Surabaya yang memiliki gadged canggih pun mengunggah video dan beberapa foto korban yang selamat, luka berat, bahkan yang sekarat.  Foto-foto tersebut lantas dengan cepatnya viral di media sosial dan membuat saya pribadi makin miris dengan kejadian pengeboman tersebut. Di luar pertanyan apa motif pengeboman atau bagaimana latar belakangnya, saya hanya ingin mneyoroti dua hal yang paling berpengaruh di sini, yakni media dan warga.

 

Saat ini, pengaruh media memang tidak dapat dibendung. Semua bebas menggunakannya untuk wilayah apapun, baik privat maupun publik. Perkembangan media yang semakin pesat juga menguntungkan banyak pihak, mengingat kejadian atau peristiwa hari ini, detik ini bisa ikut kita lihat dan baca beritanya di hari dan waktu yang sama.

 

Pun dengan peran warga yang saat ini telah banyak direkrut menjadi jurnalis warga. Jurnalisme warga atau citizen journalism memang telah membuat semua orang tanpa memandang status atau jabatan, bisa menggunakan media untuk segala jenis kegiatan kejurnalistikan. 

 

Saya sering mengikuti berita yang dishare oleh warga di desa atau di daerah tempat saya tinggal.  Saya jadi tahu segala bentuk kegiatan desa yang tidak saya ketahui sebelumnya. Saya juga sering mengikuti berita luar kota yang dibagikan begitu saja oleh mereka. Kebanyakan berita tersebut juga termasuk hate speech atau bahkan hoaks.

 

Termasuk berita terkait pengeboman yang terjadi. Saya mengapresiasi kepedulian yang dilakukan oleh para warga terkait kejadian naas yang menimpa jemaah gereja dan korban-korban dalam kejadian tersebut. 


DaengGassing.com


Namun sayangnya, keberadaan jurnalisme warga ini tidak didukung dengan sosialisasi atau pemahaman terkait bagaimana menjadi jurnalis warga yang beradab dan cerdas. Tidak ada filter yang bisa menjadi patokan bagi mereka untuk dapat membedakan mana hate speech, mana hoaks dan mana berita yang mengandung fakta. Selain itu, tidak ada batasan bagi mereka terkait apa-apa saja yang bisa bebas dibagikan. Seperti foto-foto korban yang masih berdarah-darah, kehilangan sebagian anggota tubuh, dan lain sebagainya. 

 

Sebagaimana yang kita tahu bahwa setidaknya ada 10 elemen jurnalisme yang harus kita pegang dan terapkan dalam mengakomodasi suatu berita. Kita tidak bisa sembarangan mengupload atau menyebarkan gambar atau foto korban ke khalayak luas tanpa memfilternya, menyamarkannya, atau menutup bagian-bagian yang tidak patut disebarluaskan bahkan tanpa ijin dari keluarga korban.

 

Sementara selama ini, citizen journalism yang ada di Indonesia masih banyak absen terkait hal itu. Kita menggembor-gemborkan dan mengapresiasi kerja jurnalisme warga akan tetapi lupa memberi pemahaman terkait asas-asas yang harus dipegang teguh oleh seorang jurnalis kepada para warga tersebut.

 

Tidak heran jika selama ini, banyak kasus hate speech yang justru sangat viral di masyarakat, hoaks yang justru diyakini kebenarannya oleh masyarakat, banyak foto-foto dan gambar-gambar korban yang harusnya dilindungi privasinya, justru menjadi konsumsi publik di masyarakat. Hal ini seakan mengerdilkan bangsa kita. Kenapa? karena hal-hal tersebut menjadi pembenar tidak adanya empati dalam diri masyarakat Indonesia. Di sisi lain juga membuat keluarga korban semakin terpuruk, tidak nyaman dan tersudutkan.

 

Media dan jurnalisme warga adalah dua mata pisau yang sama-sama tajam. Ia bisa menjadi pemersatu bangsa, tapi juga bisa menjadi pemecah belah bangsa. Ia bisa membantu kita mencapai kebenaran, menemukan keadilan untuk mereka yang rentan. Tapi di sisi lain ia juga bisa mengantarkan kita pada jalan yang salah, jalan yang membuat korban kehilangan ruang bicara dan makin banyak tercerabut hak-haknya. []

 

Malang, 2018


Post a Comment

0 Comments