Suara yang Ibu Tanam

 


Morfo Biru – Yuna baru berusia tiga tahun ketika ibunya pergi untuk selamanya. Ia terlalu kecil untuk mengerti apa arti kehilangan. Ia hanya tahu, sejak hari itu rumah menjadi lebih sepi. Tidak ada lagi suara lembut yang biasa menyenandungkannya dengan sholawat setiap menjelang tidur. Tidak ada lagi pangkuan hangat yang menyambutnya saat bangun pagi.

 

Baginya yang tersisa hanyalah ingatan samar dari suara ibu yang lembut, tak lantang, tapi begitu dalam. Suara itu tidak pernah benar-benar hilang dari telinganya. Seolah-olah masih bergema di udara, menyusup pelan ke dalam ruang-ruang sunyi di hatinya.

 

Ibu suka bersholawat,” kata nenek suatu malam ketika Yuna masih duduk di bangku kelas dua SD. “Dulu kamu sering duduk di pangkuannya, ikut melantunkan sholawat meskipun belum bisa bicara dengan jelas. Kadang kamu cuma ikut bergumam, tapi ibumu senang sekali melihatmu yang demikian.”

 

Yuna hanya tersenyum waktu itu. Ia tidak menjawab apa-apa. Tapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang ditinggalkan. Sesuatu yang tak kasat mata, tapi terasa kuat. Seperti benih kecil yang ditanamkan ibunya jauh sebelum ia bisa memahami arti sholawat itu sendiri.

 

Seiring waktu, Yuna telah beranjak menjadi anak remaja. Ia menjadi gadis pendiam yang menyukai senja dan hal-hal yang tenang. Saat teman-temannya menyukai musik pop atau drama Korea, Yuna lebih sering mendengarkan rekaman sholawat dari kaset pita tua peninggalan ibunya. Ia tak tahu persis kenapa, tapi setiap kali mendengar lantunan Sholawat Nariyah atau Ya Thoybah, dadanya terasa hangat, seperti dipeluk oleh sesuatu yang lama hilang.

ibu dan anak - pixabay/jossy_justino

Di usia 15 tahun, Yuna memberanikan diri bergabung dengan grup hadrah putri di desa. Awalnya ia hanya pengiring rebana, duduk di sudut dengan malu-malu. Suaranya tidak pernah ia tampilkan. Ia pikir, suaranya biasa saja. Namun suatu hari, saat grup akan tampil di pengajian desa, vokalis utama tiba-tiba sakit. Tanpa banyak pilihan, pelatih menunjuk Yuna.

 

Kamu hafal liriknya, kan?” tanya pelatih. Yuna mengangguk pelan. Tangannya gemetar. Tapi entah mengapa, ia tidak menolak.

 

Ketika berdiri di depan mikrofon untuk pertama kalinya, jantungnya berdetak cepat. Namun, saat ia mulai melantunkan bait pertama sholawat, kegugupannya perlahan menghilang. Suaranya keluar, pelan tetapi stabil. Tiba-tiba di tengah alunan itu, ia merasa ada sesuatu yang menyertainya, sesuatu yang familiar baginya.

 

Itu seperti suara ibu atau mungkin kenangan tentangnya,” batin Yuna.  Yuna pun melantunkan sholawat sembari membayangkan ibunya turut serta bersenandung bersamanya.

 

Sejak saat itu, Yuna mulai dikenal. Ia menjadi vokalis utama grup sholawat remaja bernama An-Nur. Ia tampil di berbagai acara pengajian, acara maulid nabi, dan undangan dari pesantren-pesantren sekitar. Suaranya lembut, tapi kuat, dan selalu membawa rasa teduh bagi yang mendengarnya.

 

Setiap kali berdiri di atas panggung, Yuna tidak pernah merasa sendirian. Di balik gemuruh rebana dan tepuk tangan penonton, ia selalu merasa ada satu suara yang mengalir bersamanya, yaitu suara ibunya.

 

mother and daughter - pixabay/jobinscaria

Suatu ketika, seusai Yuna tampil, ada beberapa jamaah yang menghampirinya dan mengajaknya berfoto. Lalu salah satu dari mereka bertanya, “Kak, apa sih rahasianya biar bisa bersuara merdu seperti kak Yuna? Pasti kak Yuna les vokal ya?

 

Aku tidak pernah belajar sholawat secara teknis,” ujarnya suatu hari kepada seorang jamaah yang memujinya seusai tampil. “Aku hanya mencoba mengingat apa yang dulu pernah ibuku ajarkan, walaupun aku bahkan nyaris lupa wajahnya.”

 

Orang itu menatap Yuna dengan kagum, lalu tersenyum haru. “Ibu kak Yuna pasti bangga dengan kak Yuna,” ujar jamaah tersebut.

 

Kini di usia 20 tahun, Yuna masih terus bersholawat. Namun, baginya, ini bukan hanya soal tampil atau bernyanyi. Ini tentang melanjutkan warisan yang ditanam dengan cinta, jauh sebelum ia paham artinya. Setiap bait yang ia lantunkan adalah pertemuan kecil antara dirinya dan ibunya. Bukan dalam wujud, bukan dalam peluk, tapi lewat suara.

 

Suara yang dulu ditanam di dalam dirinya kini tumbuh, mengakar, dan berbunga dalam bentuk keikhlasan. Itulah cinta, yang jika ditanam dengan niat baik, tidak akan pernah benar-benar hilang. Ia hanya mencari cara baru untuk hidup kembali. Bagi Yuna, suara itu selalu hadir dan akan terus hidup dalam setiap sholawat yang ia lantunkan dan dalam setiap hati yang mendengarkannya.[]


PENULIS

Ayu, penulis yang percaya bahwa kehilangan bukanlah akhir, melainkan jalan lain untuk menyentuh kembali sesuatu yang pernah tumbuh di hati
Ayu Rofiqoh
Bisa disapa via e-mail: ayurofiqoh896@gmail.com
Instagram: @ayuu.r_ 

 

Post a Comment

0 Comments