Kitab yang Tidak Bisa Dibaca


Morfo Biru - Denis berjalan lemas ke gudang terbengkalai di bangunan tua pesantren setelah kelar membersihkan got belakang yang baunya busuk minta ampun sebagai takzir lantaran bangun kesiangan.

 

Sebagai santri yang biasa-biasa saja dan tidak menonjol, ia justru seringkali mendapat citra seorang yang bandel. Takzir kiranya sudah menjadi makanan saban minggu yang tak pernah absen atasnya.

 

Rabu pukul 10.00 itu ia sudah masuk ke dalam gudang sendirian setelah berhasil mendorong pintu yang terhalang sesuatu di baliknya. Wajahnya putus asa, bahunya terkulai, dan seluruh badannya terasa semakin lemas setelah melihat isi gudang yang porak-poranda.

 

Ratusan kitab bertumpuk-berantakan dengan debu di atasnya yang kalau dipakai sebagai bedak tidak akan habis setahun. Lampunya tidak menyala meski sudah mencoba menekan saklar. Dan satu-satunya lemari besar yang tampak menonjol di bagian paling tengah gudang.

 

Ia harus tuntas merapikan dan membersihkan segala-galanya sebelum pukul 11.30 untuk menghindari takzir susulan. Mengabaikan badan yang lemas, ia mulai dengan mengambil kemoceng.

 

Denis berdiri di kursi, mengayunkan kemoceng dari posisi atas lebih dulu. Lanjut ke bawah dan seterusnya, menyisakan debu abu-hitam menggumpal yang mengubah lantai keramik putih menjadi gelap belaka.

 

Ia meletakkan kemoceng di paku dinding sebagaimana seharusnya, lantas mengambil sapu ijuk yang sudah rusak tidak mirip seperti sapu. Bersusah-payah menggiring pasukan debu abu-hitam keluar gudang sembari terbatuk-batuk meski sudah menutup mulut dan hidung.

 

Tugas terakhir membersihkan gudang terbengkalai hampir selesai, tinggal menata ulang ratusan kitab dan barang-barang yang lainnya.

 

Pukul 10.40 ia tuntas menjalani takzir, ia pasti akan menutup pintu dan kembali ke bangunan utama pesantren untuk membersihkan diri serta bersiap mengikuti jadwal aktivitas selanjutnya seperti biasa jika tidak tertarik dengan satu-satunya lemari besar di dalam gudang.

 

Rasa penasaran remaja 16 tahun sedang memuncak. Urung menutup pintu gudang, ia justru mendekati lemari seperti ada bisikan hantu entah di mana. Dibukanya lemari itu, hanya ada sebuah kitab tipis yang kertasnya hitam serupa arang.

 

Kitab misterius - pixabay/MerandaDevan

“Bukan dari kertas?” batin Denis. “Lemari sebesar ini isinya kok cuma satu kitab.”

Kitab tanpa judul, berwarna hitam legam, dan berbau macam kayu terbakar itu dibukanya. Tampak tulisan arab gundul berwarna abu-abu kontras dengan kertasnya.

 

“Belum selesai?”

 

“Eh–” Denis kaget, Kiai Waskito sudah ada di belakangnya. “Sudah, Kiai.”

 

“Alhamdulillah, bersih dan rapi. Sekarang balik ke bangunan utama untuk siap-siap jemaah Zuhur.”

 

“Baik, Kiai.”

 

Enggan mendahului kiainya, ia menunggu Kiai Waskito berbalik sebelum keluar gudang dan menutup pintunya.

 

***

Timer pesan diperbarui. Pesan baru akan hilang dari chat ini 7 hari setelah dikirim, kecuali disimpan. Ketuk untuk mengubah.

10 Juni 2025

Bagaimana kalau seperti ini, Mas?
17.15

Kitab Sihir? Menarik.
17.16

Bukan, Mas. Rencananya mau nulis soal kitab kuno yang berisi ilmu hikmah dan ilmu batin. Atau banting setir jadi kitab sihir dan hantu-hantu saja, Mas?
17.16

Sembarang. Deskripsi sudah apik. Sampai di sini tokoh utama seharusnya sudah bertemu dengan konflik, misalnya dari masa lalu, atau bertemu dengan tokoh lain yang membangkitkan ingatan tentang sesuatu.
18.18

Oke, besok aku coba mas. Sambil mikirin lanjutan sing menarik. Suwun.
22.30

11 Juni 2025

Mas…
06.05

Piye?
07.30

Ada saran lanjutan cerita, Mas?
07.30

Lanjutin apa adanya dulu. Tulis semua yang ada di pikiranmu, atau biarkan tulisan membimbingmu. Nanti luangkan lebih banyak waktu membaca ulang dan memperbaiki. Pokok tulisannya sudah selesai dulu.
09.50

Oke, siap.
20.10

12 Juni 2025

Mas, ini tema pesantren, ulama, atau santri kudu ada kaitannya dengan keislaman, yo?
07.15

Yes.
08.45

Kalau bahas soal salat lima waktu piye mas? Kan itu wajib. Jadi, soal kitab hitam itu, aku ingin yang bisa baca hanya tokoh Denis doang. Teman-temannya Denis enggak bisa, begitu pula sama kiai di pesantren.
08.46

Terus keislamannya di mana?
10.12

Itu tadi konfliknya, Mas. Nah lanjut, ternyata itu kitab yang berisi panduan salat lima waktu dan pentingnya menunaikannya, modelnya deskriptif dan tersirat macam Hemingway. Endingnya, Denis bakalan sadar kalau takzir yang dialami olehnya bukan apa-apa, Denis merasa tetap damai dan tenang asalkan bisa melaksanakan salat dengan khusyuk. Terlepas seberapa sering takzir yang dialaminya.
10.13

Kayaknya kurang menarik. Coba angkat konsep yang lebih spesifik. Contohnya, membahas soal adab memakai celana, kan enggak boleh berdiri.
10.13

Heh, masa, Mas? Ada yang seperti itu? Lha terus kudu pakai celana sambil duduk?
10.14

Kan, sampean tertarik. Coba dalami soal adab itu, deskripsikan, dan kembangkan jadi narasi sing lebih menarik lagi hehehe…
11.20

kitab tanpa tulis - pixabay/Παῦλος

Kemarin

Mas, sepertinya aku enggak bisa melanjutkan cerpenku. Buntu ide, Mas.
02.40

Buntu ide?
03.02

Hmm, mungkin sebaliknya. Terlalu banyak ide tetapi enggak ada kemampuan membuatnya sederhana. Hari-hari ini kehidupanku juga lagi digempur sama popok dan susu.
03.03

Sebongkah sengkarut di kepala kita sama.
03.04

Lha terus, cerpenmu wis sampai mana, Mas?
06.12

Hampir selesai.
06.14

Mantap. Leg wis selesai kirim, Mas. Aku pengen jadi orang pertama sing membaca wkwk
07.12

Hari ini

Mas, iki enggak bisa ikut tenan aku. Masih belum ada lanjutannya cerpenku.
03.40

Aku wis menghadap laptop sejam ini. Sudah tanya chatGPT soal kelanjutan ide yang paling masuk akal. Tetapi urusan popok dan susu bocil kayaknya lebih mendominasi isi kepala.
03.41

Mas…
05.45

Oik…
08.07

***

 

Keesokan harinya, Denis bermimpi tentang orang tuanya saat menitipkan dirinya ke pondok pesantren dua tahun lalu. Sang ayah mengatakan bahwa dirinya akan bangga dengan Denis apa pun hasilnya, minimal bisa menjadi pengganti ayahnya sebagai imam tahlilan di desa, dan itu sudah cukup.

 

Sedangkan sang ibu mengatakan bahwa Denis harus menjaga dirinya, berbuat baik pada teman-temannya, beradab kepada para kiai, serta tidak melakukan hal-hal yang neko-neko.

 

Setelah bangun, Denis buru-buru menuju ke gudang terbengkalai di bangunan tua pesantren. Membuka pintu perlahan, dan meletakkan kembali kitab tanpa judul ke dalam lemari seperti sedia kala.

 

Lantas, ia kembali ke bangunan utama pesantren seperti tidak pernah ada yang terjadi.

***

Mas, aku jadi ikut, sudah kukirim, balas pesanku. Ayo mancing!
16.00

Mantap. Kali biasanya? Gas.
16.02

[]


PENULIS

Romafi WK
Sekadar manusia biasa yang di waktu luang memancing ikan, dan di waktu yang lebih luang menulis cerita. Lahir di Blitar, 02 Februari 1997 dari rahim bidadari yang susah payah menyamar sebagai manusia biasa. Saya dapat dijumpai lebih akrab di filosofish.id.

Post a Comment

0 Comments