Morfo Biru – “Apasih masalah kecil aja dibuat emosi, selalu kamu besar-besarin, aku juga capek
ngga kamu aja yang capek,
tolong ngertiin perasaanku!”.
Ucapan itulah yang selalu aku dengarkan jika aku ingin mengungkapkan apa yang aku
pendam dalam diriku ini.
Aku
belajar sejak lama untuk mengeluarkan kata-kata dengan behati-hati. Bukan
karena aku tidak punya nyali atau banyak hal untuk mengungkapkan semuanya yang
aku rasakan. Tetapi
karena aku tahu, aku
sadar apa yang aku ucapkan, apa
yang aku lakukan ketika aku marah reaksiku ini tak pernah dianggap wajar
olehnya.
Jika
aku mengeluarkan amarahku, aku selalu dicap emosional olehnya seolah-oalah
marahku adalah bukti bahwa aku tidak rasional. Kelakuanku ini dianggap sebagai
anak kecil yang belum bisa berbicara dengan baik. Umurku hanyalah angka baginya jika aku marah,
aku terlalu sensitif, aku juga dianggap tidak tahu bagaimana caranya untuk menahan
diri.
Sementara,
ketika ia menunjukkan kemarahanya,
justru dilihat sebagai bentuk ketegasan. Aku disuruh
mengerti apa kondisinya sekarang
tanpa bisa bertanya apa yang
sedang dialaminya. Tetapi ketika aku melakukannya, aku harus siap menerima
label darinya entah itu “lebay banget sih”, “drama banget jadi orang”,
“apa-apa selalu di buat marah selalu di besar-besarin”.
puan dan amarah - pixabay/geralt
Sampai
kapan aku bertanya-tanya kepada diriku ini? Apakah aku harus terus hidup dalam tekanan? Apakah perasaan
manusiawi itu menjadi milik laki-laki saja? Sejak kapan aku harus meminta maaf
karena berani merasa? Kata-kata itulah yang sealu aku pikirkan sebelum aku
tidur.
Aku
capek, aku juga ingin dimengerti.
Saat aku marah bukan berarti aku ini emosional, sekadar ingin didengarkan. Bukan saat aku marah aku malah dibungkam oleh
penilaian yang membatalkan
validitas emosiku hanya
karena aku ini seorang perempuan.
Dalam
relasi, entah itu aku sedang berada di rumah, di kampus, atau bahkan sedang
bersamanya, aku sering dan bahkan
selalu menahan amarahku. Aku selalu memilih untuk diam, aku selalu mengalah
bahkan sering sekali aku memberikan senyum palsu dan mengatakan bahwa aku
sedang ‘baik-baik
saja’ tanpa harus dimengerti oleh
siapapun.
Aku
tidak bercerita, sebab aku
takut dianggap meledak-ledak. Dalam benak, aku
juga takut kehilangan cinta, kepercayaan, pekerjaan, teman, hanya karena
menunjukkan bahwa aku sedang kecewa.
Padahal
dalam fikirku,
kemarahanku bukanlah ancaman baginya. Kemarahanku ini hanyalah suara yang ingin
didengarkan, suara yang ingin dimengerti
olehnya.
Kemarahanku ini adalah bentuk lain dari kepedulianku. Ia muncul karana ada beberapa hal yang dilanggar, terlalu
banyak
perasaan-perasaan yang diabaikan olehnya.
Aku
ingin hidup di dunia di mana perempuan bisa marah tanpa harus takut dicap
emosional oleh laki-laki. Di mana aku
bisa menyuarakan isi hatiku tanpa menyamar jadi versi lembutnya dari diriku
sendiri, hanya
untuk dianggap layak didengarkan olehnya. Karena marahku ini tidak akan membuatku
lemah, akan tetapi marahku ini akan
membuatku jujur dalam hal apapun.[]
PENULIS
Saziena Mayasari
Alumni SMK Islam Panggul | jurusan
Desain Komunikasi Visual (DKV)
sedang melanjutkan kuliah di UIN SATU Tulungagung prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI)
0 Comments