Hantu

Ia datang ke dalam mimpi saya, membawa cerita seram mengenai dirinya sendiri. Saya dapat rasakan detak jantungnya yang rumpang,  samar, dan seolah-olah hendak mengatakan bahwa ia sudah bosan melintasi labirin yang gelap nan panjang. Saya kemudian mafhum, bahwa apa yang menimpanya adalah cerminan simetris dari hidup saya, hidupmu, dan hidup mereka. Singkatnya, ia ingin menerangkan pada saya bahwa sejak dulu ia ingin mengeluh, atau lebih dari itu, ia bermaksud menjelaskan betapa tidak menyenangkan menjadi dirinya. Kata-kata “tidak menyenangkan” kemudian saya cetak tebal, saya pikirkan, saya renungkan, lalu di suatu kesempatan yang baik saya tanyakan kepadanya.

Brilio.net

“Tidak menyenangkan itu artinya menyebalkan?” tanya saya.

“Bukan begitu. Tidak menyenangkan bisa juga berarti hampa.”
jawabnya sembari murung.

Saya kemudian mafhum bahwa perkara dalam hidup ini tidak bisa begitu saja disederhanakan, bukan sekadar soal pro-kontra, benar-salah, ya-tidak, jelas-samar, maupun ini-itu. Bukan oposisi biner, ringkasnya. Lalu pelan-pelan ia mendongengi saya banyak hal, sebelum kemudian saya bertanya pada diri saya sendiri: tidakkah ia sedang mencoba meracuni pikiran saya?

“Tidak. Saya tidak meracuni pikiranmu. Saya bukan iblis. Kamu harus bisa bedakan antara hantu dan iblis.” jawabnya seperti telah membaca pikiran saya.
Saya biarkan ia mendongeng lebih panjang, menguraikan apa saja yang jadi sengkarut di dada dan kepalanya. Tapi kemudian saya merasa harus bangun dari mimpi ini, menunda ia bercerita hingga nanti malam saat saya tertidur lagi.

“Cerita saya masih panjang. Jangan bangun dulu.”
cegahnya.

“Saya harus pergi bekerja. Tundalah dulu ceritamu sampai saya tidur lagi.”

“Tidak. Sekali-dua kamu perlu membolos. Bekerja melulu, apalagi di kantor yang mengurusi pendidikan orang banyak, justru tidak akan membikin otakmu cerdas.”

Saya tak peduli dengan kata-katanya. Saya paksa diri saya meninggalkannya dalam beberapa langkah, namun kemudian ia menarik paksa lengan saya, mendudukkan saya, lalu menggaplok jidat saya sebagai hukuman karena saya teramat bandel. Saya tak bisa membantah lagi. Dengan demikian saya bermimpi lebih panjang lagi.

“Saya minta rokokmu.” ucapnya dengan mulut sudah tersumpal sebatang rokok yang menyala ujungnya.

Sambil menarik-hembus asap rokok ia mendongeng dengan penuh semangat. Saya yang tak mengenal batas tata krama di dalam mimpi ini kemudian menyeduh kopi begitu saja, sementara ia masih nyerocos tanpa dapat saya hentikan.

“Kamu dengarkan saya?” tanyanya sebagai tanda minta perhatian.

Saya hanya mengangguk selagi menyeduh kopi.

“Boleh juga kalau kamu mau bikinkan satu. Gulanya setengah sendok makan saja.”

Dengan berat hati saya bikinkan ia kopi. Saya bisa saja mencampurkan racun dalam kopinya selagi ia tak tahu. Tapi, untuk apa? Lagipula ia hantu. Racun sekeras apa pun kiranya tak akan mempan bagi tubuhnya.

Ia buru-buru meghirup kopi bikinan saya begitu saya menaruhnya di atas meja. Ia tersenyum sebentar, lalu menyeruputnya dalam-dalam hingga terdengar bunyi sesuatu di kerongkongannya. Ia tampak lega, dan ia mendongengi saya lagi.

“Jadi, sampai mana dongeng saya barusan?” tanyanya sesaat setelah dilenakan seseruput kopi.

“Kata-kata pembuka dalam Manifesto Komunis.”

“Baiklah. ‘Ada hantu sedang membayangi Eropa: hantu Komunis’, kurang lebih begitu katanya. Tapi persetan dengan itu. Kali ini saya mau bercerita mengenai hantu yang lebih hantu dari itu, yakni hantu yang bernama Partai S. Hantu berwujud manusia.”

“Partai S?”
tanya saya dalam ketidaktahuan yang sungguh-sungguh fatal.

“Partai S adalah bentukan paling menakutkan yang menghantui negerimu. Saya rasa sudah saatnya kamu tahu, agar kamu tidak melulu jadi korban sejarah yang timpang dan beku.”

“Baiklah. Teruskan.”

“Kamu masih ingat dengan peristiwa September Tiga Puluh? Di sanalah Partai S memainkan peran mengacak-acak dan memporak-porandakan negerimu dengan cara yang sangat halus. Perlahan-lahan mereka menciptakan adu domba, menyita perhatian seluruh negeri sambil mengatakan bahwa Komunis benar-benar jahat.”

“Bukankah Komunis memang benar-benar jahat?”


Brilio

“Tidak seluruhnya. Kebanyakan orang yang berada di jajaran pimpinan lah yang jahat. Mereka itu sesungguhnya kader Partai S yang diam-diam menyamar. Sementara orang-orang akar rumput, yang ikut masuk dalam daftar Komunis, hanyalah orang-orang lugu yang kemudian mesti ditumpas tanpa tahu kesalahannya. Di luar itu, pemberontakan-pemberontakan alot yang menimpa negerimu juga pernah didalangi oleh orang-orang Partai S.”

“Miris memang.”

“Lebih miris lagi, hal itu tidak dimuat dalam buku pelajaran sekolah.”

“Benar. Lalu, apakah Partai S masih ada?”

“Tentu saja sudah tak ada,”
ia menyeruput kopi lagi, “tapi ideologi penghancurannya masih berjalan.”

“Bagaimana bisa?”

“Ideologinya berkembangbiak, dan ada banyak kadernya yang tersempal, yang kemudian menempati sektor-sektor strategis. Mereka semua sejatinya pengisruh ulung. Ada di antara mereka yang menjadi menteri luar negeri, menteri keuangan, anggota dewan, pemilik media massa, dirjen kebudayaan, bahkan budayawan. Ada juga yang pernah menjadi wakil presiden, bahkan satu lagi menjadi presiden.”

“Bagaimana kamu bisa tahu?”

“Saya hantu. Saya sering bergentayangan mencari-cari informasi.”

“Apa lagi yang kamu ketahui mengenai mereka?”

“Mereka cerdas dan pandai menciptakan dalih, tentu saja. Mereka bisa bergerak licin dan sluman-slumun menyerupai siluman. Mereka bisa begitu lancar berbicara, hingga banyak orang-orang yang tertipu. Mereka juga dapat dengan mudah menjelaskan makna harga diri. Sementara kau tahu, orang yang tak dapat menjelaskan makna harga diri belum tentu ia tak punya harga diri.”

Saya mengangguk menyetujui kalimatnya yang penghabisan. Tak lama kemudian ia mengambil sebatang rokok kepunyaan saya lagi, menyulutnya, dan memain-mainkan pemantik api seraya bersiul-siul.

“Ngomong-ngomong, saya belum tahu dari mana asalmu.” ucap saya kemudian.

Sambil menikmati sebatang rokok yang tinggal setengah, ia menjawab, “Saya hanyalah hantu. Saya lahir dari pikiran orang-orang kalah yang sejatinya lebih layak menjadi pemenang. Saya telah melalui berbagai peristiwa besar di negerimu, dan ada banyak hal yang menurut saya mesti diperbaiki. Saya muak dengan kredo ‘sejarah adalah milik para pemenang’, saya ingin mematahkannya. Dengan demikian saya bermaksud menciptakan kredo ‘sejarah mesti diungkap dan diluruskan’.”

“Tapi itu mendekati mustahil.”

“Tapi tidak mustahil secara absolut. Waktu yang akan menjawab.”

Ia habiskan kopi bikinan saya. Lalu tak berapa lama ia menyuruh saya bangun dari mimpi ini. Saya masih mau bertanya lebih banyak hal padanya, tapi ia buru-buru pergi mengayuh sepedanya melintasi kebun anggur di depan rumah saya, bertemu dengan jalan menanjak, dan tak lama kemudian ia mengayuh sepedanya naik ke langit yang nyaris berwarna merah seluruhnya.

Saya terbangun, mendapati diri telah tertidur selama tiga hari tiga malam. Itu artinya saya telah membolos kerja selama tiga hari. Atasan saya memarahi saya habis-habisan pada keesokan harinya, tapi saya tak peduli, alih-alih pergi meninggalkannya hingga kemudian ia hanya memarahi gambar wajah saya di monitor komputer.

Dalam bolos saya yang keempat ini saya sempatkan diri mampir ke kantor Badan Bahasa untuk sekadar memberi saran agar kosakata “hantu” di Kamus Besar ditambah pengertiannya: yakni, makhluk yang mendatangimu dalam mimpi dan memberimu kuliah sejarah selama tiga hari tiga malam. Demikianlah. Sekali lagi, itu hanya saran. Mudah-mudahan pihak Badan Bahasa sudi mempertimbangkannya.[]

00:02
24 Nopember 2019

Hari Niskala, asal Tulungagung. Ngopi, berceloteh dan menjadi pengamen di gubuk maya, Sadha. Mencoba sepenuh hati menggemari tim sepakbola Liverpool dan di waktu yang lebih luang menjadi pengagum tim sepakbola Juventus.

Post a Comment

1 Comments