Pertanda

Oleh: Vima Naila Ulfina

“Kung, kok dipasangnya di sini? Harusnya kan ini di langgar.” Sahut gadis kecil saat kakung hendak memberikan sebuah pertanda untuk orang-orang yang ada di ladang. Tanpa sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang sudah keriput, dan menggapit rokok bikinannya sendiri. Kakung hanya menjawab dengan senyum sembari mengusap kepala cucu kesayangannya.

Namaku Lisa, cucu pertama dari kakung. Usia kakung sudah cukup renta. Tapi persoalan bekerja, tenaganya masih sangat muda. Tubuhnya kurus, kulitnya sudah keriput di mana-mana, menunjukkan bahwa usianya sudah tak lagi muda. Ia jangkung, putih bersih, meski lebih lama terpapar sinar matahari pun tak menunjukkan tanda-tanda kulitnya akan menghitam. Sosok yang tak banyak ngomong dan rajin beribadah, kata kebanyakan tetangga. Ya, aku memanggilnya, kakung.

Ketika usiaku masih sangat belia, kira-kira kelas 5 SD, aku sering mendapatinya menjemur kulit jagung. Tak banyak, tapi setiap hari selalu ada kulit jagung yang dijemur. Aku tak tahu sebetulnya itu untuk apa. Pikirku untuk jamu, kalau tidak begitu mungkin dipakai…

“Kung, mau dipakek embok ya? Dipakek cethik geni?”

Embok, istri kakung, nenek buyutku. Kala itu, embok masih menggunakan tungku untuk memasak. Jadi membutuhkan sesuatu yang mudah terbakar untuk mempermudah menyalakan api. Zaman dulu memang hampir semua tetanggaku menggunakan tungku untuk memasak. Jadi tidak heran kalau setiap sore menjelang, para perempuan mencari ranting-ranting kering di kebun-kebun mereka.

Ada juga yang mengindit –menggendong kayu dipunggung dengan menggunakan jarit– kayu-kayu lapuk dari pekarangan orang. Tidak beli, apalagi mencuri, tapi saling berbagi. Sedang laki-lakinya, baru pulang dari sawah atau tegalan yang tak jauh dari rumah.

“Tolong angkatin klobot itu, nduk. Taruh di kotak kayu diatas dipan kakung.”

Ya, kakung menyebut kulit jagung itu dengan sebutan klobot. Terkadang sepulang sekolah, kakung menyuruhku mengangkat kulit jagung yang ia jemur setelah sarapan. Tidak cukup lama menjemurnya, 4-5 jam saja sehari. Kalau dirasa cukup, biasanya segera diangkat. Lagi-lagi aku masih saja tak mengerti untuk apa kulit jagung milik kakung itu.

metmuseum.org

Masa kecil adalah masa di mana anak-anak mulai kritis dan sering bertanya sesuatu yang dianggap asing menurutnya. Hampir setiap benda ditanyakan nama dan fungsinya. Terkadang membuat orang dewasa kelu untuk menjawab setiap pertanyaan yang mereka lontarkan. Bukan berarti orang dewasa tidak bisa menjawab karena tidak tahu. Tetapi takut jika anak-anak salah menafsirkan maksud dari jawaban itu. Sehingga mereka lebih memilih jawaban yang simpel dan nyelimur dengan sesuatu yang lain.

Begitu juga aku waktu kecil. Sesuatu yang tidak pada tempatnya aku tanyakan pada kakung. Aku memang lebih dekat dengan kakung daripada orangtuaku. Dan jarak rumahku dengan rumah kakung juga tidak jauh, masih dalam satu halaman. Orangtuaku cukup sibuk dengan rutinitas yang menuntutnya setiap hari mencari uang. Alasannya untuk mencukupi kebutuhan sekolahku dan kebutuhan sehari-hari keluarga. Aku tak peduli dengan itu, saat itu yang aku tahu adalah saat pulang sekolah ada makanan di bawah tudung saji di dapur.

Selepas itu, aku ikut kakung ke ladang. Meskipun hanya main-main saja di sana, terkadang juga ikut membantu mengumpulkan hasil panen. Tidak banyak memang tanaman di ladang belakang rumah. Hanya ada kacang panjang, terong dan cabai. Tak jarang juga berganti tanaman yang lain, seperti labu, mentimun dan kangkung. Betapa pun hanya ada 3 jenis tanaman, setiap panen bisa sampai 8 karung setiap jenisnya. Senang bisa membantu kakung yang usianya sudah lebih dari tiga perempat abad. Namun masih kuat dan sehat layaknya bapak temanku yang usianya masih setengah abad, kebetulan juga seorang petani.

“Nduk, tanyakan ke si mbok mu. Sarapannya sudah matang atau belum?”

“Iya, kung.”

Aku berlari menuju dapur si mbok memastikan kalau sarapan sudah siap. Jarak ladang dan dapur tidak jauh, hanya 500 meter. Kepulan asap terlihat dari balik genteng yang sudah berwarna pudar itu. Tandanya si mbok memang lagi masak. Kepulan asap itu dari tungku yang digunakan sebagai media memasak. Belum sempat aku bertanya pada si mbok, kakung sudah di belakangku dan bertanya sendiri ke si mbok. Cepat juga jalannya kakung, pikirku.

“Kung, masakannya sudah matang. Panggil yang lain juga.” Ucap si mbok sambil menunjuk keluar pintu.

Aku bergegas mengikuti kakung keluar dapur. Tapi kakung berhenti di sebelah WC mencari pemukul kentongan yang disimpan di antara angin-angin WC. Di rumah kakungku, WC dan kamar mandinya memang di luar rumah, tidak seperti di rumahku yang menempatkannya di dalam rumah. Kata ayah, konsep rumah modern ya seperti ini.

“Loh kung mau ngapain? Kok mau mukul kentongan? Kan tadi disuruh si mbok manggil tukang yang lain.” Protesku pada kakung yang hendak memukul kentongan.

“Pakai ini saja. Biasanya kan juga pakai ini.”

“Ini kan harusnya di langgar, kok ditaruh dekat WC sih kung?”

“Kentongan tidak harus di langgar, nduk. Dia fungsinya sebagai tanda. Kalo ditaruh di langgar, tandanya waktu sholat sudah manjing, atau sholat jamaah segera dimulai. Kalau ditaruh di rumah kayak punya kakung gini, biasanya buat manggil kamu pas lagi main dan belum pulang.” Kakung terkekeh.

“Ish kakung, kan aku selalu pulang tepat waktu.” Aku cemberut menanggapi jawaban kakung.

Terdengar suara kentongan dipukul 3 kali. Selang beberapa menit, tukang-tukang itu datang berduyun-duyun ke arah dapur. Ada tiga orang yang hampir seumuran, yang pasti usinya jauh di bawah kakung. Mas bokir, setelah lulus Aliyah memilih ikut kerja bapaknya di ladang orang. Kang Korik, kakaknya mas bokir yang baru saja menikah setengah tahun yang lalu. Dan Pak Kasirin, bapak dari kedua pemuda itu.

youngorold

Mula-mula, hari ini akan menjadi seperti biasanya. Seperti hari-hari yang jauh sudah terlampaui. Aku dibangunkan cahaya lampu yang menyilaukan kelopak mataku, dan mengawali hariku dengan desiran lembut. Sebiasa pagi di hari-hari sebelumnya, namun perasaanku hari ini tidak seperti biasa.

Genap 1000 hari kakung meninggalkanku. Hanya meninggalkan sepetak tanah yang ditempati dan berhektar-hektar sawah untuk masing-masing cucunya. Kakung cukup kaya dan terpandang di desa, sebab ayah dari kakung, yang juga masih canggah, seorang mantan kepala desa. Begitu cerita dari para tetanggaku acapkali bertemu.

Kentongan yang kerap dipakai kakung entah disimpan atau malah sudah dibuang. Sejak aku memilih sekolah SMA di luar kota, kentongan itu sudah tidak pernah nampak. Kentongan yang kerap kali aku pukul untuk sekedar mainan atau menjahili para tukang di ladang. Kemudian kakung akan meneriaki aku untuk berhenti memainkannya. Terakhir kali yang aku ingat dari saat aku bermain kentongan dan memukulnya berkali-kali dengan cukup keras, sehari sebelum kakung mangkat, beliau hanya melihatku dengan senyum penuh kasih sayang.

“Kamu sudah besar, nduk.”

Waktu itu aku memang akan masuk SMA, tapi terkadang kelakuanku masih sama seperti masih SD. Tapi aku hanya membatin saja, tumben kakung tidak marah dan teriak-teriak.

Ladang di belakang rumah yang sering menjadi tempatku berlarian dan membantu kakung mengumpulkan hasil panen, kini sudah menjadi ladang taik ayam milik ayah dan pakdeku. Kandang-kandang ayam sudah berjajar di sana, bau menyengat tak jarang pula memaksa menyelinap di hidung.

Di ladang, mataku hanya melihat gundukan tai ayam dan pepohonan yang mulai jarang. Tidak ada kentongan, tidak ada ladang, dan tidak ada bau-bau tanah basah bercampur aroma tanaman. Dan tidak ada lagi pertanda lain, selain kematian waktu itu. []

Member diskusi di sarang Forum Perempuan Filsafat.

Bisa bertahan hidup bukan dengan menjual ginjal. Dan percaya bahwa “ide tulisan muncul menjelang tidur.”

Bisa disapa di Instagram @vimafim__ dan twitter @pimahtralala




Post a Comment

0 Comments