Sang Marco


Judul: Journalist Marco

Penulis: Mas Marco Kartodikromo

Penerbit: Octopus

Tahun terbit: Cetakan 1, 2017

Buku berjudul Jounalist Marco ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan Mas Marco di empat surat kabar, yakni Doenia Bergerak, Sinar Djawa, Sinar Hindia, dan Hidoep. Ada 36 tulisan Mas Marco yang tersebar di empat surat kabar tersebut.

 

14 di antaranya adalah tulisan Marco di Doenia Bergerak taon 1, yakni 1914. Kemudian terdapat 5 tulisan yang diambil dari Sinar Djawa pada 1918. Ada 15 tulisan yang diambil dari Sinar Hindia terhitung sejak 1918 sampai 1922. Dan yang terakhir adalah di surat kabar Hidoep yakni hanya 1 tulisan pada 1924.

 

Mas Marco Kartodikromo atau yang lebih dikenal dengan tuan Marco adalah seorang wartawan sekaligus pemimpin redaksi di beberapa surat kabar terhitung sejak 1914-1924. Di awal karir, sebelum menjadi redaktur surat kabar, ia sempat menjadi wartawan magang di Medan Prijaji pada 1909. Dari situ ia mengenal Raden Mas Tirto Adhi Soerjo, yang kemudian mengajarkan banyak ilmu jurnalistik kepada Marco (Kartodikromo, 2017).

 

Sebagai seorang bumiputera sekaligus redaktur surat kabar, ia tahu harus berpihak kepada siapa. Sampai kemudian memutuskan untuk menyerang surat kabar-surat kabar yang menjatuhkan kaumnya, yang tidak adil kepada rakyat Indonesia, yang main kongkalikong dengan Belanda.

 

Sebagaimana yang sempat ia tuliskan di surat kabar Doenia Bergerak, taoen 1, No.4, 18 April 1914, bahwa surat kabar yang diawakinya itu kontra dengan surat kabar Oetoesan Hindia. Ia beranggapan bahwa surat kabar Oetoesan Hindia sering kali memakai topeng. Tidak jelas keberpihakannya pada siapa.

 

Marco merasa perlu menentang setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak pemerintah Belanda, karena membuat rakyat semakin dimiskinkan. Seperti ketika rempah-rempah habis dibawa ke Belanda tanpa menyisa. Ini bukti bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pihak Belanda sangat menyengsarakan kaum kromo.

 

Meski menjadi sosok yang paling sering menyerukan perlawanan, tapi Marco tetap punya kelemahan. Ia lemah karena ia sendiri dan berjalan tanpa tedeng aling-aling. Ia berjuang sendiri, lebih memilih mengancamkan diri daripada menempati jalur aman sebagai redaktur yang mau diajak bekerja sama oleh kaum-kaum tanpa pendirian.

 

Dengan gaya penuturan khas Marco, buku ini akan sulit dipahami oleh beberapa kalangan karena tata bahasa yang tidak sama dengan pengucapan kita sehari-hari. Kebelanda-belandaan, yang memang pada saat itu bahasa Belanda menjadi bahasa yang seringkali dipakai dalam keseharian, termasuk oleh masyarakat intelek bumiputera.

 

Dalam sejarahnya, Marco juga pernah beberapa kali masuk penjara, diasingkan dan dibuang. Terakhir ia diasingkan ke Papua karena tulisannya yang semakin membahayakan kemapanan kolonial dan membuat rakyat bumiputera menaruh kecurigaan dan ketidakpercayaan yang semakin besar pada kelompok-kelompok yang berpihak ke Belanda.

 

Sampai saat ini, kerelaan dan semangat pantang menyerahnya pun masih bisa kita rasakan. Marco mengajarkan betapa sulitnya menjaga idealisme sebagai seorang jurnalis, yang mau tidak mau harus berani menanggung resiko paling buruk sekalipun, yakni mati --dan tentu, keberanian itu masih bisa disaksikan hingga detik ini.

 

Tiga tahun setelah pengasingannya di tanah Papua, ia ditemukan tewas karena tidak mampu bertahan dengan keadaan yang demikian sulit. Tapi itulah Marco, sang jurnalis yang mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan kaum kromo, rakyat bumiputera yang begitu ia sayangi tanah airnya. Kutipan terbaik yang saya ambil darinya adalah, "Jadi jurnalis jaman sekarang, berani dihukum, berani dibuang." []

Post a Comment

0 Comments