Paradoks Tambang

“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Itulah bunyi pasal 33 Undang-undang Dasar tahun 1945 ayat 3, yang gagal direalisasikan oleh Negara. Bahwa kekayaan alam Indonesia berada di bawah tangan negara –untuk dikelola– itu dibenarkan. Tapi menjadi salah ketika aset yang seharusnya dapat dinikmati oleh rakyat justru dimonopoli pihak lain, lebih-lebih hanya makmur bagi pemilik kuasa.

TopBusiness.com

Polemik tambang di Indonesia ibarat ombak, yang bergulung-gulung datang dan pergi. Belum selesai pada satu permasalahan, muncul konflik baru yang sama kompleksnya. Mulai dari kasus Freeport, polemik pabrik semen di wilayah Kendeng, eksploitasi batu bara di Kalimantan, tambang pasir ilegal, dan beberapa kasus lain yang tidak luput dari perbincangan. Di mana masing-masing kasus tersebut sampai saat ini belum sudi mencapai titik final, bahkan tidak sudi diajak berdamai dan berkawan dengan masyarakat.

 

Kita ambil contoh pada kasus Freport. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan masyarakat yang berada di kabupaten sekitar tambang mencapai 31%. Hal ini merupakan tingkat tertinggi dari seluruh wilayah kabupaten di Papua, terhitung sejak akhir tahun 2015. Artinya dalam kurun waktu sekian puluh tahun, kehadiran perusahaan tambang tersebut sama sekali tidak memberikan kemakmuran apa pun pada masyarakat di sekitar area tambang.

 

Kasus lain yang sampai saat ini belum mampu berpihak pada kemaslahatan rakyat adalah tambang semen yang ada di wilayah pegunungan Kendeng. Sejak 2009, warga masyarakat di Pati dan Rembang berusaha melindungi kawasan karst yang memiliki sumber air melimpah dari incaran tambang. Mereka melakukan aksi penolakan dengan demonstrasi hingga pengecoran kaki di depan istana negara. Tapi sampai 2017, usaha yang para pejuang Kendeng lakukan tersebut menuai kegagalan. Bahkan seringnya, warga yang menolak justru mendapat ancaman, intimidasi, sampai dipenjarakan. Padahal dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, telah dijelaskan pada pasal 66 bahwa setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.

 

Tidak berhenti sampai dua kasus di atas, di beberapa kota lain seperti Banyuwangi, Jember, Gresik, dan beberapa kota lain di Jawa Timur, kegiatan pertambangan mulai merusak kawasan hutan lindung. Masyarakat yang sadar lingkungan, telah melakukan berbagai cara untuk menyatakan sikap penolakannya atas tambang. Namun ketika masyarakat menyatakan sikap tegas terhadap tambang, mereka justru mendapat banyak kecaman, baik dari pihak tambang maupun dari pemerintah sendiri. Bukankah ini paradoks?

 

Secara tertulis, konsep penyejahteraan rakyat telah tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang secara keseluruhan terdiri atas 5. Ayat dua dalam pasal tersebut yang berbunyi “Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara”, seringkali disalahtafsirkan oleh beberapa kelompok. Penguasaan sumber daya alam oleh negara sering dimaknai sebagai hak penguasa untuk merongrong segala aset alam.

 

Padahal kebijakan dalam ihwal pengelolaan lingkungan di dalam ayat selanjutnya, “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat” telah jelas, yakni tidak membenarkan adanya monopoli atas segala aset yang menyangkut hajat hidup rakyat. Segala jenis usaha dan bisnis benar-benar harus mencapai satu titik yakni kesejahteraan rakyat. Dengan kata lain, pengelolaan terhadap sumber daya tersebut haruslah melihat aspek keberlanjutan hidup manusia dan memperhatikan nasib alam.

 

Namun faktanya, kebanyakan pelaku pasar atau pemilik modal justru mengabaikan kebijakan tersebut. Taruhlah investor-investor asing yang menanamkan modalnya di Indonesia dalam berbagai bentuk. Mereka sering tidak memerhatikan dampak lingkungan jangka panjang. Seperti memperluas area investasi untuk tambang, mengambil alih tanah adat yang punya potensi tambang, sampai mengeksploitasi habis-habisan sumber daya alam.

 

Tidak adanya kebijakan yang mengikat serius, mengakibatkan mereka dapat berbuat sekehendak hati. Permasalahan semacam itu secara tidak langsung membuktikan bahwa pemerintah tidak benar-benar melaksanakan tupoksinya sesuai isi undang-undang tersebut. Padahal dijelaskan juga dalam undang-undang No. 4 tahun 2009 terkait UU Minerba, bahwa tujuan didirikannya tambang adalah untuk kesejahteraan masyarakat. Di luar itu, pemerintah wajib memberhentikan atau mencabut izin tambang yang diberikan, jika menemukan ketimpangan terjadi di tengah masyarakat sekitar tambang.

 

Sementara sejauh ini masyarakat yang tinggal di daerah sekitar tambang belum merasai benar kesejahteraannya. Kebanyakan dari mereka justru mengalami eksploitasi dampak tambang. Dan Negara, lagi-lagi absen dalam merealisasikan undang-undang yang telah disahkan sedemikian rupa. Keuntungan dan kesejahteraan yang diusung pihak korporasi saat proses sosialisasi, menjadi sebatas omong kosong belaka. Masyarakat di sekitar area tambang buktinya hanya sanggup hidup dalam kemiskinan sistemik. Kebanyakan mereka hanya mendapat limbah sisa tambang. Apakah ini yang dinamakan untung? []

Post a Comment

0 Comments