21.04

Kulit rembulan terlihat kusam sebab berselimut mendung. Sinarnya empot-empotan menembus kanopi kaca apartemen. Ah, tak masalah, memandang interior bohemian sudah cukup merakit senyum yang mencabik awan mendung; ditambah sinar neon memancar ke segala penjuru dan sedikit menghambur ke teras, mengarsir separuh longue chair-ku. Malam yang laksmi untuk lelaki yang subtil.

Kucoba membuang wajah ke kanan, pandangan terjun dari lantai tiga apartemen. Nuansa malam berbeda 180 derajat. Di sana, malam beraroma durjana, keji, dan gelap; meskipun karunia purnama menyirami tempat itu. Tidak ada yang patut dibanggakan di sana. Kalau takdir bisa kupesan dan harus hidup di sana, aku akan memilih terlahir sebagai tikus.

 

Mataku nanap ketika mendapati seorang bocah dekil berdiri di balik cagak rumah, seperti memburu jangkrik—atau menghindari salak anjing. Kenapa ia teguh di sana, bersanding dengan hamparan sampah yang sebenarnya bantaran sungai? pikirku.

 

Aku menebak dia akan segera masuk rumah dan melarikan diri dari malam di perkampungan kumuh itu. Tapi yang terjadi sebaliknya, ia bergerak tiga langkah menjauhi rumah itu. Tak berselang lama, bocah dekil itu kembali menyentuh cagak dengan gelagat penuh selidik.

 

Seteguk coklat Belgia hangat sudah meluncur ke tenggorokanku, untuk mengendurkan pikiranku yang menegang. Aku yakin tebakanku yang kedua tidak meleset, benakku jengkel.

 

Bocah dekil itu masih di posisi yang sama, tapi dengan kuda-kuda yang lebih kuat. Sedangkan pintu rumah yang tak rekat setengah terbuka oleh angin, sehingga mataku mendapat bocoran ruang tamu. Terdapat bohlam kuning yang menjadi satu-satunya penerangan di ruang tamu itu. Di ujung meja tergeletak setoples jajanan pasar. Ah, mungkin anak itu pencuri amatir yang sangat kelaparan, ia rela berjibaku dengan sampah dan pelataran rumah kumuh asal mendapatkan apa saja yang menjinakkan deram perutnya.

 

Ya, bocah itu pencuri—amatir. Tebakanku kali ini pasti benar.

Jogjapolitan

Siapapun bisa menjadi kriminal ketika harus hidup di tempat durjana itu, ketika pilihan hidup semakin sempit dan harus berbagi ruang dengan nasib. Tak terkecuali bocah dekil. Ia pasti telah menentukan pilihan bijak di bawah sana.

 

Sembilan menit berlalu dan mataku hampir silap, bocah itu belum juga melakukan aksinya. Mulutku menyerapah, tak mau tebakanku meleset lagi.

 

“Mencurilah, curi; atau kau akan mati kelaparan. Jadilah pencuri yang bijak terhadap perut,” desisku.

 

Lima detik kemudian pintu rumah itu terbuka penuh, dan seorang pria gempal seperti menguar dari balik pintu. Tangan kanannya menggenggam sapu kipas yang diacung-acungkan ke arah bocah itu; sedangkan dari gerak-gerik mulutnya seperti memaki-maki, mengeja semua jenis binatang di Padang Savana. Sejurus kemudian, bocah itu lari menjauhi rumah dan langkahnya hilang ditelan sisi gelap perkampungan.

 

Sial, bocah itu ketahuan. Ah, tapi siapa peduli, tebakanku kali ini benar, meskipun bocah itu gagal mendapatkan barang curiannya.

 

Tak lama kemudian, seorang dengan tampilan kacau, rambut acak-acakan dan daster robek sana-sini, berjalan—bukan, dia ngesot—mendekati pria gempal itu. Mulutnya menjerit. Tangannya seperti berusaha memetik mangga yang terlalu tinggi. Sorot matanya putus asa. Wanita itu tampak kalut marut.

 

Gemuruh guntur saling beradu. Lalu hujan turun. Akhirnya orang yang kunantikan tiba.

 

“Maaf, saya telat empat menit dari janji pukul 21.00. Jadi bagaimana?” tanyanya.

 

“Sepertinya saya berjodoh dengan bantaran sungai yang dipenuhi sampah itu untuk pabrik saya,” telunjukku menitik sungai di perkampungan kumuh. Sedetik kucuri pandang rumah kumuh tadi, pria gempal itu baru saja menutup rapat-rapat pintu rumah.

 

Yogyakarta, 1 Oktober 2020


Miftahul Huda. Hai, saling sapa saja via twitter: @huda_serdadu

Post a Comment

0 Comments