Revolusi Seksual dan Polemik Tak Berkesudahan


Membincang politik tubuh dan seksualitas tidak akan lengkap tanpa membaca pemikiran seorang Katherin Murray Millett –atau yang lebih dikenal dengan Kate Millett, penulis sekaligus feminis Amerika. Dalam bukunya yang fenomenal berjudul Sexual Politics, Kate Millett secara detail membahas apa yang dimaksud dengan politik seksual, lengkap dengan teori dan aspek-aspek yang meliputinya.

Kate Millett via Jacobin

Pembahasan itu ia paparkan lewat analisisnya terhadap teks sastra (novel) dalam dua sub-bab di bagian pertama. Perlu diketahui
dalam mengawali pembahasannya mengenai politik seksual, Millett mencuplik sepenggal narasi dari Sexus, novel terbitan 1965 karya Henry Miller yang terkenal di Paris. Narasi tersebut berisi cerita pengalaman seksual tokoh laki-laki bernama Val ketika berhubungan intim dengan perempuan bernama Ida. Dalam penggalan narasi yang disodorkan oleh Millett tersebut, bisa dibaca bagaimana perempuan, ketubuhan dan seksualitasnya dikuasai, dikondisikan lewat imajinasi pengarang laki-laki (Millett, 2000).

Kemudian pada bagian kedua, Kate Millet fokus pada Historical Background. Setidaknya ada dua sub-bab juga yang ia bahas, terkait the Sexual Revolution, First Phase: 1830-1930 dan the Counterrevolution: 1930-60. Di sini Millett juga menggunakan beberapa contoh novel untuk membuktikan bahwa seksualitas perempuan masih terus dikondisikan, selain juga menjabarkan gerakan-gerakan perempuan awal yang–setidaknya sedikit berhasil–menuntut kesamaan hak dan politik. Adapun dalam tulisan ini, saya hanya akan fokus pada isi buku bagian kedua mengenai revolusi seksual.

Revolusi seksual jika dilihat dalam konteks politik seksual merupakan sebuah perubahan yang terjadi secara revolusioner, yang secara langsung berkaitan dengan relasi politik dengan jenis kelamin atau sex (Millett, 2000). Perubahan (revolusi seksual) yang terjadi bisa dibilang sangat drastis, mengingat sebelumnya Negara telah begitu lama melanggengkan sistem patriarkhi bagi seluruh masyarakatnya. Jadi bayangan untuk merubah sistem yang demikian telah melekat di masing-masing individu, tentu merupakan hal yang hampir mustahil. Tapi tidak bisa dipungkiri, langgengnya sistem yang patriarkhal tersebut juga telah membawa perlawanan dari banyak pihak.

Revolusi seksual menghendaki berakhirnya ketabuan akan seksualitas, termasuk pikiran-pikiran yang tradisional. Standar ganda, prostitusi dan aura negatif lain yang dihubungkan dengan seksualitas harus dihilangkan. Adapun tujuan dari revolusi yakni adanya standar tunggal mengenai kebebasan seksual yang permisif yang tidak ditunggangi oleh basis ekonomi dari seksualitas tradisional yang eksploitatif. Bagaimanapun, revolusi seksual dikatakan dapat mengakhiri institusi patriarkhi, menghapus ideologi supremasi laki-laki dan peran-peran tradisional yang berhubungan dengan status dan peran.

Hadirnya revolusi seksual di sini juga menandai adanya integrasi subkultur dan proses asimilasi dari pengalaman dan sifat-sifat laki-laki serta perempuan yang seringkali dikategorikan dalam konsep ‘maskulin’ dan ‘feminin’. Misalkan laki-laki selalu berkaitan dengan kekerasan dan perempuan lebih pasif. Konstruk semacam ini yang dibaca atau diperiksa ulang.

Dikatakan oleh Millett, kisaran tiga dekade terakhir abad ke-19 sampai tiga dekade awal abad k-20 menandai masa kebebasan seksual laki-laki dan perempuan. Dibuktikan dengan adanya kelompok perempuan yang berusaha mencapai standar moralitas tunggal. Mereka hadir di periode pertama menandai revolusi seksual dengan memecahkan masalah standar ganda dan prostitusi yang tidak manusiawi.

Intinya di fase pertama, masalah yang ditentang adalah struktur patriarkhal dan transformasi peran serta status. Hal penting yang perlu diperhatikan bahwa pembahasan revolusi seksual condong pada kesadaran individu manusia, bukan sekadar pada area institusi. Konstruk patriarkhi yang tertanam pada masing-masing individu sampai pada kondisi memengaruhi sifat dan karakter laki-laki dan perempuan dalam kebiasaan sehari-hari, cenderung pada cara hidup ketimbang sistem politik.

Tujuan utamanya lebih pada perubahan yang signifikan pada kualitas hidup, bersifat kultural, menyasar pola hidup individu dalam masyarakat. Kate Millet memandang, the first phase of revolusi seksual like a moving object arrested mid-course, could not proceed even to the expenditure of its initial momentum. Dan bukan berarti persoalan tersebut selesai dan tanpa eksploitasi lagi. Justru pada fase pertama ini, posisi perempuan masih sangat rentan tumbang dan menciptakan ruang atau karakter eksploitatif tersendiri.

Mungkin baru pada periode 1930-60-an, mulai banyak perubahan yang terjadi karena di fase ini teknologi lebih banyak berperan, seperti adanya alat kontrasepsi berbentuk pil yang didistribusikan secara luas. Sebelumnya pada dekade 1830, kita melihat ada gerakan reformasi di Inggris dan pada 1837 digelar konvensi anti perbudakan wanita pertama di Amerika. Kemudian pada 1848 pertemuan di Seneca Falls, New York, menandai dimulainya organisasi politik perempuan atas nama para perempuan sendiri. Agitasi perempuan di Inggris juga dimulai pada tahun 60-an.

Dalam tulisan Millet, diterangkan terdapat Gerakan Abolisionis yang merupakan salah satu gerakan perempuan pertama yang memberikan kesempatan kepada para anggotanya –perempuan Amerika, untuk melakukan aksi dan organisasi politik. Adapun generasi pertama feminis yang aktif dan berdedikasi di Abolisionis antara lain, Grimke Sisters, Lucy Stone, Elizabet Cady, Susan Anthony dan Lucretia Mott. Selain itu, urusan pekerjaan juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari gerakan perempuan. Persoalan perempuan yang masuk dalam wilayah profesi / industri is a spectacular case of the contradiction in the chivalrous mentality.

Paradoks dan Polemik Tak Berkesudahan
Meskipun perjuangan gerakan dan agitasi yang dilakukan oleh para feminis selama fase pertama telah mampu mereformasi status hukum perempuan –yang dianggap hina, akan tetapi sistem hukum patriarki belum bisa hilang sama sekali. Seperti ketika perempuan telah menikah, secara hukum umum ia akan kehilangan separuh haknya, bahkan lebih –tidak punya kendali atas penghasilan, tidak diijinkan memilih domisili, menandatangani surat dan menjadi saksi. Pada masyarakat feodal juga berlaku demikian. Suami memiliki hak dan kontrol penuh atas istri dan anaknya, industri yang dimiliki istri, dan hak atas harta warisan yang sepenuhnya jika istri meninggal. Tapi tidak berlaku sebaliknya, dsb.

Pada awal hadirnya revolusi seksual, dorongan agar perempuan dapat menempuh pendidikan sangat tegas disuarakan. Tapi fase setelahnya, dorongan agar perempuan diberikan kesempatan berpendidikan tinggi, agak redup. Pendidikan yang bernafaskan kesetaraan pun urung didapatkan. Tapi meski demikian, keresahan-keresahan yang dirasakan oleh para pemimpin gerakan perempuan di masa setelah fase pertama tersebut cukup besar untuk menggerakkan perempuan dalam mendapatkan edukasinya. Selain edukasi, aspek penting yang dituntut untuk diberikan kepada perempuan adalah pengetahuan soal organisasi dan apa itu politik organisasi dan mengenai ketenagakerjaan.

Millet juga sempat membandingkan dokumen sentral pada masa Victorian, yakni The Subjection of Women karya John Stuart Mill dengan Of Queen’s Garden karya John Ruskin, di mana Stuart Mill menggambarkan bagaimana realisme politik seksual dipandang secara aktual. Sementara Ruskin menggambarkan romansa dan aspek-aspek berupa mitos, yang mana beberapa bagian mitos seksual Victoria dimasukkan dalam sastra oleh Ruskin, untuk melengkapi fantasi sastra yang dikotomis.

Diibaratkan dengan dua kelas wanita –istri dengan pelacur, yang harus bertanggungjawab atas pembagian sosio-seksual di bawah standar ganda yang di konstruksikan. The Subjection of Women yang dilahirkan Stuart Mill pada akhirnya menjadi semacam penyataan yang cukup beralasan, mengingat posisi perempuan saat itu sangat penuh dengan keterbatasan, terutama dibatasi oleh hukum, pendidikan yang melemahkan, dikungkung oleh etika dan norma masyarakat dan ditundukkan sebagai istri.

John Stuart Mill memandang bahwa pengondisian (tubuh) yang dilakukan menghasilkan sifat tempramen seksual yang kemudian dinormalisasi sehingga sesuai dengan peran seksual yang ada. Ia memahami bahwa perempuan menjadi produk dalam sistem yang selama ini menekannya. Pendidikan yang selama ini diperoleh turut berkontribusi melanggengkan pengondisian perempuan.

Adanya perbedaan mental antara perempuan dan laki-laki juga merupakan dampak dari pendidikan yang dilalui keduanya. Adapun untuk persoalan rumah dan domestifikasi, baginya rumah merupakan pusat dari sistem yang mirip perbudakan domestik, karena di dalamnya perempuan hidup di bawah kekuasaan –ayah, suami, anak laki-laki, dalam sejarah tirani. Perempuan tidak lebih dari sebuah pengikat dalam pernikahan. Pernyataan / asumsi yang absurd mengenai perempuan yang tidak menyukai seks juga tentu bersifat patriarkhis.

Pada dasarnya revolusi seksual dan gerakan perempuan yang memimpinnya diharapkan berani membuka kedok-kedok sistem patriarkhal dan mengekspos segala bentuk manipulasi yang dilakukan selama ini. Para perempuan yang bergerak di dalamnya juga mesti menyasar seluruh kelas dan merangkul perempuan-perempuan yang bekerja di pabrik dan lain sebagainya. Gerakan perempuan ada untuk mengedukasi para perempuan mengenai sistem politik, ekonomi, keadilan sosial yang harus diberikan tidak hanya pada laki-laki tapi juga perempuan.

Agar revolusi seksual bisa melangkah lebih jauh, maka transformasi yang dilakukan juga harus secara radikal, yakni dengan merubah tatanan pernikahan dan konsep keluarga yang telah ada selama ini. Sementara itu, revolusi seksual yang komplit juga mengandaikan berakhir atau selesainya seluruh sistem yang patriarkhal, yakni dengan penghapusan ideologinya. Dengan begitu tidak bisa menyerang celah-celah seperti bidang pekerjaan, peran dan status.

Tapi bukankah Negara dan pemimpin Negara yang memiliki sifat otoriter cenderung menyukai langgengnya budaya patriarkhi? Terutama pemimpin-pemimpin yang diktator, kekuasaannya juga ditentukan atau bergantung pada karakter patriarkhalnya. Jadi, tidak ada yang salah jika saya mengatakan apa-apanya serba paradox dan semua urung selesai. Begitu.


Post a Comment

0 Comments