Magenta


Oleh: Vima Naila Ulfina

Setiap kali menemukan ide-ide untuk menulis, aku mencatatnya dalam otakku. Lalu menuliskan kalimat demi kalimat dalam bukuku. Buku bersampul coklat dengan hiasan huruf di muka sampul. Huruf M sesuai huruf awal dari namaku, Magenta.

Nama pemberian bapak dan ibuku 24 tahun yang lalu. Seorang anak perempuan kebanggaan mereka berdua, kelak ingin menjadi perempuan yang mentransformasi energi negatif menjadi energi positif, memiliki keseimbangan, baik secara fisik, mental, spiritual, dan emosional. Seperti arti warna namaku.

Tapi sayang, ketika lekas kubuka laptopku untuk mengabadikan setiap bait kalimat. Kalimat itu mendadak hilang. Aku tak menemukan satu kata pun untuk aku ketik, untuk kuabadikan di layar laptopku. Peristiwa ini tidak hanya terjadi sekali atau dua kali. Sudah lebih dari jumlah jari tangan dan kaki.

Terlebih saat menjelang tidur, kalimat-kalimat itu asyik berkeliaran di dalam otakku. Berlarian dan berkejaran dengan kalimat lain. Seolah otakku adalah tempat bermain yang asyik untuk mereka.

“Sial, aku tak bisa membuka mata dan bangun untuk memerangkap mereka dalam buku.” umpatku dalam hati dan aku tak bisa bergerak untuk beranjak.

Mereka masih bermain di sana. Selang beberapa menit aku berhasil membuka mata, lalu melompat dari kasur, mengambil buku dan bolpoin. Aku hanya berhasil menuliskan sebagian dari kalimat-kalimat itu, selebihnya mereka hilang entah ke belahan planet mana.

“Damn! Mereka berhasil melarikan diri lagi. Ah, sial!”

Aku kembali mengumpat, kali ini cukup keras aku melafalkannya. Sehingga membuat ibuku yang tidur di kamar sebelah terbangun. Jarak kamarku dan ibu memang tidak jauh, bisa dibilang mepet, dan hanya berbatasan tembok saja.

“Kenapa teriak-teriak? Ini sudah malam. Segera tidur! Besok kau harus bangun lebih pagi, besok adikmu sudah mulai masuk sekolah, antarkan dia.” Teriaknya dari balik pintu kamarku yang kukunci dari dalam.

Meskipun ibu teriak-teriak lagi menyuruhku tidur, aku tak akan bisa tidur sebelum menemukan kalimat-kalimat itu. Aku mencoba kembali mengingat setiap gerak kalimat yang sempat berlarian di otakku.

“Beraninya dia injak-injak otakku tanpa permisi. Sudah ketangkap basah, nggak mau dikerangkeng pula.”

Aku tetap mencoba mengingatnya, dan sudah berkali-kali umpatan kubisikkan. Hasilnya tetap nihil, aku tak menemukan satu pun kalimat itu. Aku memilih untuk tidur dengan hati yang dongkol.

***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 15.35, dan aku berjanji pada ibu untuk pulang sebelum adikku selesai jam pelajaran terakhir. Aku sudah terlambat 20 menit untuk menjemputnya.

Memacu gas dengan kecepatan 80 km/jam bukan kebiasaanku berkendara. Namun ini harus kulakukan agar adikku tidak lebih lama menunggu di sekolah. Perjalanan antara kos teman dan sekolah adikku cukup jauh, kira-kira membutuhkan waktu 30 menit dengan kecepatan sedang. Dan aku memilih memacu dengan kecepatan cukup tinggi.

PxHere

Di tengah-tengah perjalanan, kalimat-kalimat itu muncul lagi. Menghantui pikiranku, bermain ayunan, prosotan, tertawa riang. Awalnya hanya beberapa saja, lama-lama mereka berdatangan yang entah jumlahnya. Mungkin kalau berhasil aku salin di lembaran, sudah dapat dua sampai tiga lembar.

Ah kenapa kalian bermain di saat yang tidak tepat. Tetapi kali ini kau harus kuperangkap,tidak bisa tidak. Kunyalakan sen ke kiri, dan aku berhenti di pinggir jalan raya. Aku mencoba meraih ponselku dalam tas untuk memerangkap kalimat-kalimat indah itu.

“Bangsat! Kalian berhasil lari lagi.”

Tiba-tiba datang seorang ibu menghampiriku. Berusia paruh baya, sekitar 50 tahun. Dia menyapaku dengan nada lirih dan bertanya ada apa gerangan denganku. Berbicara sendiri dengan nada kesal dan berekspresi murung. Ibu paruh baya itu mengira aku sedang kena tipu atau kecopetan. Sebab beberapa hari ini banyak berita beredar yang mengabarkan tentang kecopetan. Aku menjawab dengan menggelengkan kepala dan tersenyum. Lalu ibu itu memberikan nasihat untuk berhati-hati dalam keadaan apapun. Aku melanjutkan perjalanan.

***
"Kehidupan di bawah laut semakin sunyi. Atau mungkin lebih tepat lagi kehidupan sesudah mati adalah hidup tanpa bunyi dan rasa. Tetapi kita tidak boleh kehilangan kepercayaan pada kebaikan. Betapapun tengah melalui hinaan dan kekejian. Maka, hiduplah sampai mati. Betapapun hidup teramat keras, kau harus tetap hidup dan bernafas. Sebab yang mampu hidup adalah mereka yang lebih keras daripada hidup itu sendiri.” – Laut Bercerita, Leila S. Chudori.

“Kamu siapa?”

“Aku lelaki yang sudah menikmati pukulan, menyruput segarnya darah asin mengucur dari hidung, gelinya disetrum listrik, dan bahkan tidur di dasar laut dalam waktu yang sangat lama.”

Aku pikir dia juga seorang pemuja sastra, jawabannya sungguh dramatis. Tapi aku tidak bisa menangkap maksud yang dia ucapkan barusan.

“Lantas kau dari mana, tiba-tiba duduk di sampingku tanpa permisi?”

“Aku dari dasar laut.”

Majalah Ayah

Mana mungkin dia dari dasar laut? Kulihat dia manusia biasa yang tidak memiliki sirip di kakinya. Apa dia mencoba menjadi seorang yang humoris, menganggap dirinya sebagai seorang duyung yang akan jatuh cinta pada manusia? Ha ha ha ini lucu sekali.

“Namaku Wibisana.” Dia mengenalkan diri, lalu mengulurkan tangannya.

“Aku Magenta.”

“Mau mendengar ceritaku tentang Laut yang tertidur di dasar laut?”

Aku seperti akan mendengar dongeng sebelum tidur yang dibacakan mama waktu aku kecil.

“Eemm… boleh. Hanya gurauan ombak berlarian yang kudengar dari tadi.”

“Dia seorang lelaki seusiamu, kurang lebih. Lelaki kebanggaan kedua orangtuanya, yang hilang entah kemana. Bahkan dunia tidak pernah tau keberadaannya hingga sekarang. Beredar dari mulut ke mulut, dari dugaan demi dugaan. Ia ditenggelamkan di dasar laut dengan cara dimasukkan dalam tong yang disemen. Eemm tidak hanya Laut, teman-temannya lebih dulu ditenggelamkan.”

Aku tercengang mendengar cerita itu, ada gambaran yang melintas bersahutan dikepalaku.

“Dia juga punya adik yang teramat cantik. Seorang dokter. Tak pernah bosan mengingatkannya untuk pulang dan memasak bersama keluarga di rumah, yang menjadi rutinitas setiap akhir pekan dan momen yang ditunggu-tunggu setiap minggu. Laut adalah lelaki yang pandai memasak. Bahkan ibunya hampir tidak pernah memasak jika Laut di rumah. Lelaki pandai dan pemberani itu juga kerap menjadi juru masak saat bersama kawan-kawannya, mendekam di sarang persembunyian.”

“Persembunyian? Apa dia seorang buron?”

“Iya, buronan para wanita cantik yang mengincar ketampanannya.” Ucapnya sambil tersenyum

“Ah, kau ini!” aku sedikit meledek.

“Dia hanya mencintai seorang perempuan mungil bermata indah, yang kerap kali membuatnya kelu saat beradu pandang. Penuh semangat, tidak pernah takut apapun kecuali perpisahan dan kematian. Dan kudengar, perempuan itu tetap menunggu kekasihnya pulang meski ia tak pernah tahu keberadaan kekasihnya itu. Dia tetap menyangkal bahwa kekasihnya sedang berada di negeri entah dan sedang melakukan penyamaran untuk sebuah strategi perlawanan terhadap penindasan. Meski ia mendengar pengakuan dari salah satu temannya yang juga teman kekasihnya, bahwa kekasihnya itu tidak sekali dua kali dipukuli, disetrum, tidur di atas balok es selama berjam-jam, dan tentunya hal itu dilakukan saat….”

“Magenta, sayang!” Dari jauh aku melihat seorang lelaki berteriak memanggilku sembari melambaikan tangan, lalu berjalan menuju ke arahku.

Belum sempat lelaki itu selesai mendongeng, suamiku memanggil dari jauh. Aku dan suamiku memang sedang bulan madu, kami baru saja menikah 6 bulan yang lalu. Kebetulan dia sedang ditugaskan di daerah yang tak jauh dari pantai yang kita kunjungi. Dan kami memanfaatkannya utuk bulan madu. Kebetulan, aku juga juga baru saja resign dari pekerjaanku sebagai presenter di salah satu stasiun tv lokal.

Aku berusaha mencari lelaki pendongen itu, tapi tak kudapati satu orang pun selain suamiku yang sedang bejalan ke arahku.

Aku ingat sesuatu. Air mata berlinang dari pelupuk mataku saat menyadari bahwa lelaki pendongen itu adalah Laut. Gambaran yang melintas bersahutan di kepalaku adalah pesan dari Laut yang sempat ia berikan. Sepanjang ia mendongeng, aku juga ikut merasakan setiap emosi yang ia rasakan. Sakit, bahagia, rasa asin darah yang mengucur dari sudut bibir, dingin, sesak, gelap dan entah apalagi. Ceritanya tadi adalah tentang dirinya sendiri, tentang pengalamannya sebelum mati. Ia sempat meminta tolong kepadaku menjelang kematian. Namun aku tak bisa menerka pesan itu darinya. 

Aku mendengar lolongan minta tolong bersahutan dari arah laut. Bersahutan, bergantian dan ada lebih dari tiga orang, laki-laki dan perempuan.

Saat itu usiaku masih delapan tahun, saat mama dan papa mengajakku ke pantai untuk liburan akhir pekan. Kau kah itu Laut? Maaf, aku tak bisa menerka itu kau. Aku hanya menangkap lolongan minta tolong darimu dan teman-temanmu. Semoga namamu abadi, nyenyaklah di dasar laut. Tidak akan ada siksaan lagi untukmu dan kawan-kawanmu. Sampaikan maafku untuk mereka yang sempat kutangkap suaranya saja. Maafkan aku. []




Vima Naila Ulfina 
Member diskusi di sarang Forum Perempuan Filsafat.
Bisa bertahan hidup bukan dengan menjual ginjal. Dan percaya bahwa “ide tulisan muncul menjelang tidur.”
Bisa disapa di Instagram @vimafim__ dan twitter @pimahtralala

Post a Comment

0 Comments