Metodologi Penafsiran Ahmad Mustafa Al-Maraghi dalam Tafsir Al-Maraghi




A.           Latar Belakang

Berangkat dari apa yang sempat diutarakan oleh Manna’ Khalil al-Qattan, bahwa di dalam al-Qur’an terdapat puncak dari fashahah dan balaghah bahasa Arab, yang mana uslub-uslub di dalamnya merupakan karakter unik dan tidak akan mungkin dimiliki oleh bahasa selainnya.[1] Maka jika diperhatikan, penafsiran al-Qur’an dalam setiap periodenya selalu memiliki gaya bahasa khas, yang mencerminkan situasi pada saat itu sekaligus mengindikasikan adanya pendekatan kebahasaan yang kuat pada tiap-tiap penafsiran. Hal tersebut lumrah, namun terkadang membuat sebagian masyarakat –utamanya non Arab, ditambah yang tidak semasa dengan periode di mana kitab tafsir tersebut lahir, merasa kesulitan dalam memahami maksud dari tafsir ayat-ayat al-Qur’an, karena terlalu banyak disisipi ilmu nahwu, balaghah, dan lain sebagainya.

Berkaca dari hal tersebut, salah satu ulama tafsir kontemporer berusaha memberi sentuhan yang berbeda, yakni dengan menyederhanakan gaya bahasa dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Ia adalah Ahmad Mustofa al-Maraghi. Dalam penafsirannya, al-Maraghi berusaha untuk tidak menggunakan pendekatan yang rumit dan istilah-istilah yang sulit dipahami awam. Lewat tafsirnya, al-Maraghi justru berusaha memberikan kemudahan kepada para pembaca yang notabene berasal dari beragam latar belakang untuk memahami al-Qur’an.

Sebagaimana tafsir pada umumnya, tentu dalam penulisan Tafsir al-Maraghi terdapat metode dan corak khusus yang digunakan oleh pengarang. Kaitannya dengan hal tersebut, untuk dapat lebih mengenal Tafsir al-Maraghi, penulis akan memaparkan secara singkat mengenai biografi Ahmad Mustofa al-Maraghi, karya-karya beliau, dilanjutkan dengan pengenalan terhadap kitab tafsir al-Maraghi, metode dan corak penafsiran yang digunakan al-Maraghi dalam karya tafsirnya sekaligus beberapa contoh penafsiran. 


B.          Biografi Singkat al-Maraghi

Ahmad Mustafa al-Maraghi lahir dan besar di kawasan kota al-Maraghah pada 1883 M atau 1300 H dan wafat pada 9 Juli 1952 di Hilwan, Kairo. Nama lengkapnya adalah Ahmad Mustafa Ibn Musthafa Ibn Muhammad Ibn Abd al-Mun’im al-Qadhi al-Maraghi. Ia merupakan anak dari Syekh Musthafa al-Maraghi yang tak lain merupakan ulama besar, dikenal karena ketaatan dan telah menguasai banyak ilmu, terutama dalam bidang hukum dan agama. Adapun penisbatan ‘al-Maraghi’ sebagai nama belakang keluarga, bukan berasal dari nama marga atau keturunan, melainkan berasal atau dikaitkan dengan nama daerah yang menjadi tempat tinggal keluarga besar al-Maraghi pada waktu itu.[2]

Semasa kecil –sebagaimana saudara-saudaranya yang lain– adik kandung dari Muhammad Mustafa al-Maraghi ini sudah mulai mempelajari ilmu agama. Bahkan sejak usia kurang dari 13 tahun, Ahmad Mustafa al-Maraghi sudah berhasil menghafalkan keseluruhan al-Qur’an. Selain itu ketika sudah mulai mengenyam pendidikan dasar di madrasah, ia pun belajar dasar-dasar ilmu syari’ah, ilmu tajwid dan beberapa ilmu dasar lain, sampai lulus pendidikan di tingkat menengah. Setelah itu pada 1897, al-Maraghi mulai menempuh pendidikan tinggi di Universitas Al-Azhar. Dan bersamaan dengan itu, ia juga mengenyam pendidikan di Universitas Darul Ulum. Karena sama-sama bertempat di Kairo, sehingga pada 1909 M, al-Maraghi dapat menyelesaikan pendidikan di dua universitas tersebut sekaligus dalam waktu hampir bersamaan.[3]

Dalam perjalanannya menempuh pendidikan, banyak cabang ilmu yang kemudian ia tekuni dan kuasai seperti, ilmu tafsir, balaghah, bahasa arab, ushul fiqh, fiqh, ilmu falak dan lain sebagainya. Penguasaan al-Maraghi terhadap berbagai disiplin ilmu agama tersebut, juga tidak dapat dilepaskan begitu saja dari peran beberapa ulama sekaligus gurunya, seperti Muhammad Abduh, Ahmad Rifa’I al-Fayumi, dan beberapa nama lain. Ulama-ulama tersebut juga sangat berpengaruh terhadap cara pandang al-Maraghi, termasuk ketika nantinya mulai menafsirkan al-Qur’an.[4]

Setelah lulus dari dua universitas di atas hingga 1919, al-Maraghi didapuk menjadi hakim di daerah Sudan. Baru kemudian pada 1920 al-Maraghi diminta menjadi salah satu dosen tamu di Fakultas Filial Al-Azhar. Sebelumnya selama menjadi hakim, al-Maraghi juga mulai mempelajari secara serius bahasa non-Arab, seperti bahasa Inggris guna mempertajam pembacaannya terhadap literatur-literatur yang berbahasa Inggris. Kemudian selain menjadi dosen tamu, di tahun yang sama al-Maraghi juga resmi diangkat sebagai dosen ilmu balaghah dan kebudayaan di almamaternya, yakni Universitas Al-Azhar. Baru pada Mei 1928 al-Maraghi diangkat menjadi rektor di universitas yang sama pada usia 47 tahun.[5]

Sebagai seorang ulama terkemula, al-Maraghi juga merupakan sosok yang produktif. Hal tersebut terbukti dari keberadaan beberapa karya besarnya seperti Ulum al-Balaghah, Risalah fi Mustalah al-Hadits, Risalah fi Zawjat al-Nabi, al-Hisbah fi al-Islam, Sharh Tsalaatsin Haditsah, Tahdhib al Tawdih, Wajiz fi Ushul al-Fiqh, Hidayah al-Thalib, Mursyid al-Tulab, al-Mu’jaz fi al-Adab al-‘Arabi, Tafsir Juz Innama Al-Sabil dan Tafsir al-Maraghi, serta masih banyak karya yang lain.[6]


C.           Mengenal Kitab Tafsir al-Maraghi

Salah satu karya monumental al-Maraghi di bidang tafsir tak lain adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim atau yang lebih familiar dengan nama Tafsir al-Maraghi. Tafsir ini dibuat dalam kurun waktu 10 tahun, dimulai sejak awal 1940 hingga 1950-an.[7] Menurut beberapa sumber menyatakan bahwa tafsir ini sendiri terbit untuk yang pertama kali pada 1951 dengan jumlah total 30 volume. Namun dalam beberapa literatur lain menyebutkan bahwa Tafsir al-Maraghi pertama kali terbit lebih awal yakni pada 1946 atau sekitar 1365 H, diterbitkan oleh Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babiy al-Hallaby, Kairo, Mesir.

Meski sangat terpengaruh dengan pemikiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha, akan tetapi ada sedikit perbedaan antara tafsir garapan al-Maraghi dengan Tafsir al-Manar. Aspek yang paling terlihat yakni dari sistematika penulisan dan gaya bahasa sederhana yang digunakan oleh al-Maraghi. Adapun sistematika penulisan Tafsir al-Maraghi, sebagaimana yang ia sebutkan dalam muqaddimah tafsirnya di juz awal, diantaranya, menyebutkan satu atau beberapa ayat sekaligus pada awal pembahasan, memaparkan mufradat (kosa kata), menjelaskan makna ayat secara global, menyebutkan sebab-sebab turunnya ayat (jika ada), berusaha mengesampingkan istilah yang berhubungan dengan teknologi atau ilmu pengetahuan, berusaha menggunakan gaya bahasa yang mudah dipahami oleh pembaca, melakukan kajian tafsir terdahulu untuk kemudian menyajikan pemahaman yang lebih mudah diterima, melakukan penyeleksian terhadap beberapa kisah untuk tidak terjebak pada israiliyyat, dan membagi kitab tafsirnya menjadi 30 jilid (1 jilid 1 juz) untuk memudahkan pembaca.[8]

Masih dari muqaddimah tafsirnya, al-Maraghi menyebutkan bahwa dalam proses penafsirkan al-Qur’an, ia juga merujuk pada beberapa kitab tafsir karya mufassir sebelumnya. Jika ditotal setidaknya ada 18 mufassir dengan masing-masing kitab tafsirnya yang dijadikan rujukan oleh al-Maraghi. Beberapa diantaranya yakni kitab tafsir at-Thabari, al-Jawahir fi Tafsir al-Qur’an, tafsir al-Kasyaf, Mafatihul Ghaib, al-Manar, dan lain sebagainya. Selain itu al-Maraghi juga menggunakan sumber-sumber yang berasal dari kitab syarah hadits ditambah dengan tiga kitab kamus, tiga kitab yang berisi biografi tokoh ulama, sampai dengan muqaddimah Ibn Khaldun.[9]


D.           Metodologi Tafsir al-Maraghi

Berbicara mengenai kitab tafsir tentu juga perlu membahas mengenai metodologi penafsirannya. Adapun yang dimaksud dengan metodologi penafsiran di sini adalah seperangkat ilmu atau pembahasan ilmiah mengenai metode-metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an. Dalam perkembangan sejauh ini, setidaknya ada empat metode tafsir. Pertama, metode Ijmali yang menafsirkan al-Qur’an secara global. Kedua, metode Tahlili yang menafsirkan al-Qur’an secara analitis. Ketiga, metode perbandingan (Muqarin) yang membandingkan hasil penafsiran dari dua kitab tafsir atau lebih. Keempat, metode Maudu’I yang menafsirkan al-Qur’an sesuai dengan tema-tema tertentu.[10]

Kaitannya dengan Tafsir al-Maraghi, metode tafsir yang digunakan yakni tahlili. Adapun ciri khas metode ini antara lain, mufassir memaparkan secara detail atau terperinci mengenai aspek-aspek yang ada di dalam al-Qur’an, disusun berdasarkan tartib ayat dan surah, menjelaskan kandungan tiap ayat dan hubungan antara ayat, surah dan atau keduanya, memaparkan sebab-sebab turunnya ayat atau surah dalam al-Qur’an, serta bisa mengambil bentuk riwayat (ma’tsur) atau pemikiran (ra’yu).[11] Hal ini dapat dilihat dari sistematika al-Maraghi dalam menuliskan kitab tafsirnya.

Selain metode, ada corak penafsiran yang perlu diidentifikasi dalam tiap kitab tafsir. Sebagaimana yang dikatakan Quraish Shihab, bahwa keberadaan corak penafsiran merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Sebab adanya corak penafsiran tidak bisa dilepaskan dari kecenderungan dan keberagaman ilmu yang dimiliki oleh seorang mufassir.[12] Jika ditinjau dari penggunaan bahasa dan orientasi al-Maraghi yang lebih condong pada kehidupan kemasyarakatan, maka corak tafsir al-Maraghi tidak lain adalah al-adabi al-Ijtima’I. Corak ini memiliki kecenderungan pada pemahaman kebahasaan dan perkembangan peradaban tanpa meninggalkan aspek-aspek lain seperti hukum bahkan ilmu pengetahuan.[13]


E.            Perbedaan al-Maraghi dengan al-Manar
Keberadaan al-Maraghi memang kerap dianggap sebagai penyempurna kitab tafsir karangan Rasyid Ridha yakni al-Manar. Hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat Ahmad Mustafa al-Maraghi merupakan murid yang dekat dengan Muhammad Abduh dan juga Rasyid Ridha, sehingga dalam segi pemikiran, jelas sangat dipengaruhi keduanya. Meskipun sama-sama merupakan bagian dari tafsir modern[14] akan tetapi jika dicermati, ternyata ada perbedaan mendasar antara kitab tafsir al-Maraghi dengan kitab tafsir al-Manar. Dari segi penulisan, tafsir ini ternyata tidak hanya menggunakan metode tahlili, akan tetapi dalam beberapa tafsirannya juga menggunakan metode komparatif. Selain itu, corak tasawuf juga tidak bisa dihilangkan dari tafsir ini, meskipun memang didominasi oleh al-adabi al-ijtima’i.[15]
Aspek lain yang membedakan antara tafsir Ahmad Mustafa al-Maraghi dengan tafsir-tafsir sebelumnya adalah, ia berupaya memisahkan pembahasan-pembahasan dalam tafsirnya, dengan kata lain sengaja membuat kategori-kategori dalam menguraikan tafsirnya. Jika dilihat, dalam tafsir al-Manar, metode yang dipakai memang hanya tahlili dengan pembahasan detail dan rasional. Namun dalam uraian tafsir al-Maraghi ada pemisahan antara penjelasan umum dengan yang terperinci. Jadi tidak semua ayat diuraikan secara analitis (ma’na tahlili) akan tetapi masih dengan pemaknaan yang global (ma’na ijmali).[16] Inilah yang mendasari perbedaan tafsir al-Manar dengan al-Maraghi.


F.            Contoh Penafsiran

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّن قَوْمٍ عَسَىٰ أَن يَكُونُوا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِّن نِّسَاءٍ عَسَىٰ أَن يَكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّ ۖ وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ ۖ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ ۚ وَمَن لَّمْ يَتُبْ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ  

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan sekumpulan yang lain. Boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya. Boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri, dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.
Sharh Mufrodat:

لَا يَسْخَرْ diartikan dengan ‘jangan mengolok-olok’. Adapun  يَسْخَرْ merupakan fi’il madhi dari سخر yang mengandung arti menyebut aib, mengolok, menyebut kekurangan orang dengan mengejek dan menimbulkan tawa. Kemudian السخرية juga bisa terjadi dalam keadaan seseorang menirukan perkataan maupun perbuatan orang lain dengan menggunakan isyarat. Atau bisa juga ketika menertawakan perilaku orang lain yang tidak sengaja keliru, dan lain sebagainya.[17] Sebagaimana kata التنابز yang juga mengandung pengertian saling mengejek atau memanggil dengan gelar atau julukan yang tidak disukai oleh orang.[18]

Selain itu, dalam Tafsir al-Maraghi tersebut juga dijelaskan mengenai larangan mencela mukmin lain. Bahwa relasi antara mukmin yang satu dengan mukmin yang lain tak berbeda dengan satu rangkai tubuh manusia. Di mana ketika ada mukmin yang mengolok, mencela atau menghina maka berarti ia telah lalim kepada dirinya sendiri. Sebab telah ikut menganiaya dirinya lewat celaan yang terlontar kepada mukmin lain –yang mungkin justru lebih dekat dengan Allah SWT. Hal tersebut tercermin dalam salah satu sabda Nabi yang dirujuk oleh al-Maraghi, bahwa orang mukmin itu ibarat satu tubuh. Jika satu anggota tubuh sakit, maka seluruhnya akan ikut merasakan sakit, entah demam atau tidak bisa tidur.[19] Secara umum dalam QS. al-Hujurat: 11 ini, ada beberapa petunjuk bagi umat muslim khususnya, untuk menciptakan etika bergaul yang baik dengan tidak saling menyakiti perasaan. Sebagaimana khasnya al-Maraghi, ia berupaya memberikan pemaparan hasil penafsiran yang mampu dibaca oleh seluruh lapis pembaca. Bahasa yang digunakan tidak bertele-tele dan gaya bahasa yang digunakannya disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat modern saat itu.


G.           Kontribusi al-Maraghi dan Tafsirnya

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa lewat tafsirnya, Ahmad Mustafa al-Maraghi berusaha memberikan nuansa yang berbeda, yakni dengan mengesampingkan pembahasan-pembahasan yang rumit dan bahasa-bahasa yang sulit dimengerti oleh awam. Ia berusaha memberikan apa-apa yang dibutuhkan oleh masyarakat kontemporer, sehingga lahirlah tafsir al-Maraghi tersebut. Adapun kontribusi nyata al-Maraghi dalam dunia tafsir tidak lain adalah berupa karya tafsir moderen yang ditulis dengan sangat sistematis namun dengan bahasa yang simpel dan efektif, sehingga mudah dipahami.[20] Ide pembaharuan dalam tafsir al-Maraghi juga bisa terlihat pada penggabungan beberapa metode tafsir sekaligus dalam proses penafsiran dengan tidak melupakan pada sumber-sumber terdahulu.[21]


H.           Kesimpulan

Ahmad Mustafa al-Maraghi merupakan salah satu ulama tafsir terkemuka. Lahir dan besar di kawasan kota al-Maraghah pada 1883 M atau 1300 H dan wafat pada 9 Juli 1952 di Hilwan, Kairo. Salah satu karya monumentalnya di bidang tafsir tidak lain adalah Tafsir al-Qur’an al-Karim atau yang lebih familiar dengan nama Tafsir al-Maraghi. Tafsir ini dibuat dalam kurun waktu 10 tahun dengan total 30 jilid, di mana masing-masing juz terwakili dalam satu jilid.

Pemikiran al-Maraghi lebih banyak dipengaruhi oleh gurunya yakni Muhammad Abduh sampai pada caranya menafsirkan al-Qur’an. Sementara mengenai metode dan corak tafsir dalam karya al-Maraghi, tafsir ini menggunakan metode tahlili yakni dengan analisis yang detail dan terperinci. Sementara corak penafsirannya lebih mengarah ke adabi al-Ijtima’i. Al-Maraghi juga membawa ide pembaruan dalam tafsirnya dengan memadukan beberapa metode dan corak tafsir sehingga lebih beragam dan tetap menyesuaikan dengan kebutuhan masyarakat kontemporer.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1946.  Tafsir al-Maraghi jilid 1, (Kairo: Syirkah Maktabah wa  Mathba’ah al-Babiy al-Hallaby
Al-Qattan, Manna’ Khalil. 2011. Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir ASBogor: Pustaka Litera AntarNusa.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (ed.). 1994. Ensiklopedi Islam; ‘Al-MaraghiJakarta: Ichtiar  Baru Van Hoeve
Hadi, M. Khoirul. 2014. Karakteristik Tafsir al-Maraghi dan Penafsirannya tentang Akal, dalam    Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. XI, No.1.
Loeis, Wisnawati. 2011. Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tafsir Ahmad  Musthafa al-Maraghi: Studi Analisis terhadap al-Qur’an Surat al-Fiil, dalam Jurnal Turats, Vol. VII, No.1
Rosyanti, Imas. 2018. Penggunaan Hadits dalam Tafsir al-Maraghi, dalam  Diroyah: Jurnal Ilmu   Hadits, Vol.II, No.2.
Shihab, M. Quraish. 1996. Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Sanaky. Hujair, A.H. 2008. Metode Tafsir, Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin, dalam Jurnal al-Mawarid, Edisi VIII.
Siregar. Rahmayani. 2018. Nilai-nilai pendidikan multicultural dalam al-Qur’an: Studi Analisis   Tafsir al-Maraghi, dalam Jurnal At-Tazakki, Vol. II, No.2.
Khimatiar, M. Azkiya. Ahmad Mustafa al-Maraghi; Ahli Tafsir Kontemporer,         https://islami.co/ahmad-mustafa-al-maraghi-ahli-tafsir-kontemporer/
diakses pada 07/12/2019.
Saefudin, H. Ace. 2003. Metodologi dan Corak Tafsir Modern; Telaah terhadap Pemikiran J.J.G. Jansen, dalam jurnal al-Qalam, Vol. XX, No. 96.




[1] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS (Bogor: Pustaka Litera AntarNusa, 2011), cet. 14, h.444
[2] M. Khoirul Hadi, Karakteristik Tafsir al-Maraghi dan Penafsirannya tentang Akal, dalam Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol. XI, No.1, (Juni, 2014), h. 156
[3] Imas Rosyanti, Penggunaan Hadits dalam Tafsir al-Maraghi, dalam Diroyah: Jurnal Ilmu Hadits, Vol.II, No.2, (Maret, 2018), h. 140
[4] Wisnawati Loeis, Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tafsir Ahamd Musthafa al-Maraghi: Studi Analisis terhadap al-Qur’an Surat al-Fiil, dalam Jurnal Turats, Vol. VII, No.1, (Januari, 2011), h. 77
[5] Rahmayani Siregar, Nilai-nilai pendidikan multicultural dalam al-Qur’an: Studi Analisis Tafsir al-Maraghi, dalam Jurnal At-Tazakki, Vol. II, No.2, (Juli-Desember, 2018), h. 171
[6] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam (ed.), Ensiklopedi Islam; ‘Al-Maraghi’ , (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), h. 165
[7] Lihat M. Azkiya Khimatiar, Ahmad Mustafa al-Maraghi; Ahli Tafsir Kontemporer, dalam https://islami.co/ahmad-mustafa-al-maraghi-ahli-tafsir-kontemporer/ diakses pada 07/12/2019.
[8] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi jilid 1, (Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babiy al-Hallaby, 1946), h. 15-19
[9] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi jilid 1… h.20-21
[10] Hujair, A.H. Sanaky, Metode Tafsir, Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau Corak Mufassirin, dalam Jurnal al-Mawarid, Edisi VIII, (2008), h. 266-268
[11] Ibid,. h. 274
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996), cet.13, h. 72-73
[13] Imas Rosyanti, Penggunaan Hadits dalam Tafsir al-Maraghi… h. 140
[14] H. Ace Saefudin, Metodologi dan Corak Tafsir Modern; Telaah terhadap Pemikiran J.J.G. Jansen, jurnal al-Qalam, Vol. XX, No. 96, (Januari-Maret, 2003), h. 62
[15] Wisnawati Loeis, Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Tafsir Ahamd Musthafa al-Maraghi… h. 79
[16] Lihat bagian Metodologi Tafsir al-Maraghi dan Ide Pembaharuan dalam Tafsir al-Maraghi, dalam http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html, diakses 27/12/2019
[17] Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi jilid 26, (Kairo: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah al-Babiy al-Hallaby, 1946), h. 132
[18] Ibid,.
[19] Ibid,... 134
[20] M. Khoirul Hadi, Karakteristik Tafsir al-Maraghi dan Penafsirannya tentang Akal… h. 161-162

Post a Comment

0 Comments