MODEL PENELITIAN SEJARAH PEMBARUAN ISLAM AZYUMARDI AZRA


A.      Latar Belakang Masalah

Haramayn merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut dua kota yang disucikan oleh umat Islam, yakni Makkah dan Madinah.[1] Lewat dua kota ini sejarah Islam dimulai, mengalami perkembangan, pasang surut hingga semangat pembaruan. Pada abad ke-15 menuju abad ke-16, Haramayn juga mulai dikenal sebagai pusat pertemuan para ulama dan intelektual muslim yang berasal dari berbagai negara. Pertemuan tersebut tidak hanya dalam rangka berhaji, akan tetapi juga dalam rangka membentuk jaringan yang berusaha menghadirkan wacana-wacana segar dengan semangat pembaruan Islam.[2] Selain dari ulama Timur Tengah, banyak ulama yang berasal dari Nusantara juga terlibat dalam jaringan ulama di Haramayn tersebut. Jika ditelusuri lebih lanjut, persebaran nilai-nilai dan semangat pembaruan Islam yang dilakukan oleh jaringan ulama mulai berkembang ketika memasuki abad ke-17.[3]

Namun dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa semangat pembaruan dalam Islam baru terlihat ketika sudah memasuki abad ke-19.[4] Hal ini ditandai dengan mulai munculnya tokoh-tokoh pembaharu yang membawa banyak kontribusi, baik dalam pemikiran, perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Di wilayah Timur Tengah, wajah baru Islam tampil dalam pemikiran yang dibawa oleh Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha. Keduanya berupaya menghadirkan gagasan mengenai Islam yang mampu berjalan beriringan dengan semangat modern.[5]

Sementara di Nusantara, adanya pembaruan Islam baru muncul di awal abad ke-20, yakni dengan kembalinya para sarjana muslim Indonesia dari Timur Tengah.[6] Para sarjana tersebut pulang dengan membawa gagasan modernis yang dipelajari dari Muhammad Abduh.[7] Namun demikian, beberapa sumber kebanyakan hanya mencatatkan perkembangan dan kemajuan dalam bidang politik, sehingga belum sampai lebih jauh menyentuh penyebaran gagasan mengenai pembaruan pemikiran Islam itu sendiri.

Menurut Azyumardi Azra, ada beberapa hal yang luput dari fakta kesejarahan pembaruan Islam. Sebenarnya jauh sebelum itu, gagasan mengenai pembaruan Islam sudah muncul, yakni telah dimulai pada paruh kedua abad ke-17 dengan adanya jaringan ulama global. Keberadaan jaringan ulama tersebut, yang pada saat itu berpusat di Haramayn atau Makkah dan Madinah, membawa proses pengembangan dan penyebaran pembaruan pemikiran Islam yang sangat dinamis. Berangkat dari hal tersebut, Azyumardi Azra merasa perlu membongkar fakta sejarah Islam yang terjadi pada paruh kedua abad ke-17 dan 18, yang kerap dianggap sebagai masa kemunduran dan sejarah gelap umat Islam, hanya karena saat itu entitas politik mengalami kemerosotan.[8] Padahal di masa itu, juga tengah terjadi proses sejarah yang berkaitan dengan aspek sosial-intelektual di antara umat muslim, yang juga berkaitan erat dengan keberadaan ulama-ulama dari Nusantara.

Dalam desertasi yang telah diterjemahkan yakni ‘Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII’, Azyumardi Azra memang fokus pada upaya melacak sejarah Islam lewat transmisi gagasan ulama Timur Tengah pada murid-murid yang berasal dari Nusantara. Ia mengungkapkan bahwa relasi intelektual-keagamaan antara ulama Timur Tengah dengan ulama Nusantara ini penting dan harus dikaji secara lebih komprehensif. Hal tersebut untuk mengetahui peran jaringan ulama dalam penyebaran gagasan pembaruan Islam di masa awal, sekaligus untuk mengetahui sumber-sumber yang berkaitan dengan pembaruan Islam di Nusantara.[9] Kaitannya dengan hal tersebut, dalam makalah ini penulis akan berusaha menguraikan model penelitian yang digunakan oleh Azyumardi Azra, untuk mengetahui sejarah Islam, utamanya yang berkaitan dengan pembaruan pemikiran Islam oleh jaringan ulama sebagaimana di bahas di atas.

B.       Rumusan Masalah

  1. Bagaimana Azyumardi Azra melacak akar-akar pembaruan pemikiran Islam?
  2. Apa kontribusi keilmuan yang ditawarkan oleh Azyumardi Azra?

C.      Tinjauan Pustaka

Sebelum penelitian yang dilakukan oleh Azyumardi Azra, ada beberapa karya yang membahas mengenai pembaharuan Islam. Akan tetapi kebanyakan fokus pada gerakan pembaharuan Islam dalam bidang politik, sehingga bisa dikatakan sama sekali tidak membahas mengenai jaringan ulama yang ada di abad ke-17 dan ke-18. Dua di antara karya yang dimaksud adalah buku ‘Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam’ karya Taufik Adnan Amal. Dalam buku tersebut salah satu pembahasannya yakni mengenai revivalisme beragama.[10] Selain itu Fazlur Rahman dalam bukunya, ‘Islam dan Modernitas, Tantangan Transformasi Intelektual’ juga membahas mengenai pembaharuan Islam, akan tetapi lebih fokus pada kritik terhadap gerakan kaum muslim yang mengadopsi secara mentah gagasan-gagasan modern dari Barat.[11]


D.      Metodologi Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan makalah ini berupa library research (penelitian kepustakaan) dengan metode deskriptif-analitis. Setelah melakukan pengumpulan dan telaah terhadap data primer maupun sekunder, data yang didapat akan ditulis secara detail sesuai hasil interpretasi. Terkait dengan data atau sumber primer, penulis menggunakan buku karya Azyumardi Azra yang berjudul, “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaruan Islam di Indonesia”. sementara untuk sumber sekunder, penulis mengambil beberapa literatur, baik buku maupun jurnal yang isi pembahasannya berkaitan dengan sumber utama.

E.       Pembahasan

  1. Jaringan Ulama di Haramayn
Sebagaimana dikatakan Azyumardi Azra dalam pendahuluan bukunya, sejarah keberadaan jaringan ulama tidak bisa dipisahkan begitu saja dengan Makkah dan Madinah (Haramayn), bahkan sejak dasawarsa terakhir abad ke-15.[12] Dari kedua tempat tersebut, bertemu ulama-ulama dari seluruh wilayah di dunia. Awal kedatangan mayoritas memang untuk berhaji, tapi kemudian para ulama yang memiliki latar belakang dan tradisi keilmuan yang berbeda tersebut berkumpul dan membuat semacam jaringan satu dengan yang lain. Lewat jaringan itulah mereka berhasil menghadirkan wacana-wacana segar terkait pembaruan Islam yang kemudian juga disambut berbagai tanggapan dari masyarakat muslim yang lain. Gagasan awal yang berhasil para ulama di Haramayn tersebut cetuskan yakni membarui dan merevitalisasi ajaran Islam dengan cara merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim secara keseluruhan.[13]

Sebelumnya, perkembangan madrasah yang ada di Haramayn tidak begitu dilirik, selain karena dari segi keuangan mayoritas hanya mengandalkan waqaf, kebanyakan kegiatan pengajaran lebih banyak dilakukan di masjid-masjid. Hal tersebut membuat diskursus keilmuan tidak banyak berkembang di madrasah-madrasah. Baru kemudian pada abad ke-16 menuju 17,  kebangkitan madrasah di Haramayn mulai terlihat, terutama setelah pemerintahan ‘Ustmani Mesir rutin mengirimkan bantuan keuangan. Hal tersebut pada akhirnya juga berpengaruh pada perbaikan sarana dan prasarana di tanah suci, termasuk ribath, madrasah, sampai asrama haji. Ini juga mendorong semakin banyaknya ulama dan para murid yang singgah ke Haramayn, baik untuk menunaikan haji, menuntut ilmu atau meningkatkan kapasitas keilmuan.[14]

Kemajuan ilmu pengetahuan di Haramayn tidak terlepas dari pengaruh ulama-ulama yang ada di Timur Tengah seperti Muhammad bin Ala al-Din al-Babili al-Qahiri al-Azhari, yang telah berkontribusi menghubungkan ulama-ulama Mesir dengan Haramayn. Sejarawan Makkah, Taqi al-Din al-Fasi al-Makki al-Maliki juga mengatakan bahwa perkembangan diskursus ilmiah di madrasah yang ada Haramayn tidak terlepas dari pengaruh kebangkitan madrasah di Timur Tengah.


  1. Hubungan Ulama Timur Tengah, Haramayn dan Nusantara
Sejarah telah mencatat bahwa relasi yang dibangun antara Timur Tengah dengan wilayah Nusantara sudah terjadi sejak periode awal Islam. Hal tersebut juga dapat dijelaskan dengan beragam teori mengenai kedatangan Islam di Nusantara. Setelah para pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, maupun India datang dengan misi penyebaran ajaran Islam, proses penetrasi Islam kemudian kiranya lebih banyak dilakukan oleh para sufi yang melakukan pengembaraan sejak abad ke-12 M.[15] Setelah itu, pada abad ke-13 ketika beberapa kerajaan muslim yang ada di Nusantara mulai bangkit, hubungan yang terjalin dengan Timur Tengah menemui momentum yang tepat, tidak hanya berkaitan dengan pertalian agama, tapi juga diperkuat dengan adanya unsur politik. Meski dengan kata lain relasi yang terjalin sedikit mengalami pergeseran dari sebelumnya, akan tetapi membuat penyebaran Islam ke wilayah Nusantara semakin intensif.[16] Relasi religio-kultural[17] yang kemudian terbentuk dari hubungan pertalian yang lebih akrab antara agama dengan kebudayaan masyarakat, membuat unsur tasawuf dalam penyebaran Islam di Nusantara semakin kental.

Hubungan lanjut antara muslim di Nusantara dengan Timur Tengah setelah kebangkitan kerajaan muslim di Nusantara, memberi kesempatan para tokoh muslim Nusantara untuk pergi ke pusat keilmuan di Timur Tengah. Perjalanan keagamaan yang di kemudian hari semakin meningkat –didukung oleh pemerintahan ‘Ustmani yang memberi pengamanan pada jalur haji– pada akhirnya mendorong keberadaan komunitas Ashhab al-Jawiyyin tumbuh subur di Haramayn. Hal inilah yang turut melatarbelakangi munculnya ulama Nusantara dalam jaringan ulama global.[18]


  1. Gagasan Pembaruan dan Neo-Sufisme
Ciri yang paling menonjol dari keberadaan jaringan ulama yakni adanya interaksi antara ulama yang berorientasi pada syariat dan para sufi. Pendekatan yang terus terjadi antara syariat dan sufisme, ditambah dengan masuknya para ulama ke dalam tarekat, mengakibatkan munculnya Neo-sufisme. Jika mengacu pada pandangan Fazrul Rahman, ulama muslim yang berkontribusi dalam merealisasikan kebangkitan neo-sufisme tidak lain adalah para ahli hadis. Hal ini tidak bisa dilepaskan lagi dari pengaruh beberapa sufi yang juga tidak asing dalam tradisi ilmiah penelaahan hadits di Mesir dan Afrika Utara. Misalnya saja al-Qusyasyi, al-Kurani dan al-Nakhli. Masing-masing ulama tersebut juga kerap melakukan pelacakan hadits mengenai ajaran-ajaran yang ada dalam tasawuf, dan lain sebagainya, lewat ketersambungan guru dengan murid.[19]

Adapun mengenai neo-sufisme, Azyumardi Azra membeberkan secara detail bahwa ini berbeda dengan tasawuf di masa sebelumnya. Menurutnya neo-sufisme memberikan penekanan yang lebih besar kepada para penganutnya untuk menaruh kesetiaan dan kepatuhan pada syari’at. Sebenarnya penekanan ini sudah dimulai oleh al-Ghazali dan al-Qusyairi, tapi baru menemukan momentumnya lewat jaringan ulama.[20] Jika di ajaran tasawuf sebelumnya menuntut manusia (sufi) harus pasif, maka di neo-sufisme manusia dianjurkan untuk bisa bersikap lebih aktif dalam upaya menjadi sufi. Kebangkitan neo-sufisme ini juga tidak dari ruang kosong. Seperti yang disebutkan sebelumnya, gerakan ini muncul akibat adanya interaksi antar tradisi, baik dari ulama Mesir, Yaman, India, Syria, termasuk juga Haramayn.

Pada gilirannya keberadaan neo-sufisme tersebut juga menjadi ciri khas dari keberadaan jaringan ulama baik di Timur Tengah maupun di Nusantara. Wacana ilmiah yang berkembang selalu terkait dengan hadits dan tarekat. Keterkaitan antara guru dengan murid atau ulama dengan murid-muridnya diprakarsai dari proses telaah terhadap hadits. Hasil dari proses telaah tersebut kemudian dijadikan rujukan atau wawasan baru dalam rangka merekonstruksi sosio-moral masyarakat muslim, sebagaimana cita-cita awal terbentuknya jaringan ulama. Konsepsi-konsepsi yang timbul dari adanya telaah terhadap hadits tersebut juga mendorong relasi yang seimbang antara hukum dengan tarekat, yang pada akhirnya sedikit demi sedikit merubah doktrin-doktrin yang awalnya hanya berdasar pada spekulasi mistis, menjadi ajaran moral yang berbasis syariat.[21]

  1. Jaringan Ulama Nusantara Abad 17 dan 18
Adanya jaringan ulama di Haramayn, sebagaimana disebutkan di atas, telah banyak memengaruhi umat muslim yang ada di Nusantara.  Adanya pertukaran gagasan mengenai pembaruan pemikiran Islam, dalam perjalanannya menjadi penting sebagai wacana keagamaan Islam di Nusantara. Setidaknya efek tersebut telah dirasakan dan direalisasikan oleh beberapa ulama perintis gerakan pembaruan Islam yang berasal dari Nusantara. Mereka menjadi tokoh paling menonjol dari sekian banyak ulama yang ada pada saat itu. Beberapa nama ulama Nusantara tersebut antara lain:

a.      Nur al-Din al-Raniri

Sosok al-Raniri selalu dilekatkan sebagai salah satu ulama yang berasal dari Nusantara, yakni Aceh. Sebagai tokoh perintis di abad ke-17, kontribusinya sangat nyata dalam penyebaran ilmu pengetahuan. Hal ini ditunjukkan dengan kehadiran Nur al-Din al-Raniri yang dianggap membawa periode baru. Sebelumnya di Aceh dan juga wilayah lain di Nusantara, praktik-praktik Islam yang mistik, yang dibawa oleh aliran Wujudiyyah pada saat itu masih sangat massif berkembang. Persepsi syariat yang lebih dulu diupayakan, nyatanya tidak membuat praktik tersebut berkurang intensitasnya.

Kedatangan al-Raniri dianggap membawa jawaban atas fenomena tersebut. Al-Raniri dengan sikap tegasnya juga menyatakan bahwa doktrin-doktrin yang diajarkan dan dibawa oleh aliran Wujudiyyah yang ada pada saat itu tidak perlu diikuti, bahkan ia menyebut mereka sebagai ‘sufi gadungan’. Kemampuan al-Raniri dalam menjelaskan ke-alphaan syariat yang dibawa oleh doktrin Wujudiyyah, juga mendorong salah seorang ulama bernama al-Attas  menyebut al-Raniri sebagai ‘pembawa kebijaksanaan dan pengetahuan yang otentik’.[22] Lebih jauh kontribusi al-Raniri juga terlihat pada pengutipan nama-nama ulama, baik gurunya maupun ulama Haramayn dan Timur Tengah lain yang menjadi rujukan pada tiap-tiap tulisannya. Secara tidak langsung hal yang rutin dilakukan oleh ulama ini membantu muslim lain di Nusantara mengetahui, mengenal dan memahami nama-nama ulama ahli beserta dengan pemikiran yang dibawanya.

b.      ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili

Satu lagi ulama neo-sufisme Melayu-Indonesia yang berasal dari Aceh adalah al-Sinkili. Ia merupakan sosok ulama yang paling menonjol dari yang lain. Hal itu karena al-Sinkili sudah 19 tahun lebih membangun relasi dengan jaringan ulama di Timur Tengah, sehingga dari segi kekuatan relasi, ia cenderung lebih kuat jika dibandingkan dengan al-Raniri. Meski demikian baik al-Raniri maupun al-Sinkili, keduanya sama-sama aktif dalam kesultanan. Di mana al-Sinkili juga menjadi Qadi Malik al-Adil sekaligus khalifah utama di tarekat yang menjadi jalan hidupnya, yakni Syattariyyah. Al-Sinkili memiliki beberapa murid yang sangat dekat dengannya, antara lain Syech Abdul Muhyi yang ada di Jawa Barat dan Shaikh Burhanuddin Ulakan yang berasal dari Minangkabau. Dua orang tersebut juga menjadi tokoh sentral di daerah masing-masing.[23]

c.       Muhammad Yusuf al-Maqassari

Tokoh sentral yang disebutkan Azyumardi Azra selanjutnya adalah al-Maqassari. Ia merupakan salah satu tokoh yang sekembalinya dari Timur Tengah, justru diasingkan ke beberapa negara karena menyatakan perang terhadap kolonialisme. Al-Maqassari sempat diasingkan ke Belanda, lalu dipindahkan ke Sri Lanka, sampai akhirnya ia diasingkan ke Afrika Selatan.[24] Konflik perang yang menuntut keterlibatannya, dikatakan tidak membuat semangatnya untuk menyebarkan apa yang telah didapatkan dari Haramayn, luntur. Sebagaimana dua tokoh sebelumnya, al-Maqassari juga merupakan sorang neo-sufisme yang gigih. Menurut Azyumardi Azra, ia bahkan memiliki hubungan yang kompleks dengan jaringan ulama Timur Tengah.

Selain ketiga nama di atas, ada beberapa nama lain yang juga memiliki kontribusi dalam penyebaran neo-sufisme dalam lingkaran jaringan ulama. Misalkan saja Syihab al-Din, Kemas Fakhr al-Din, ‘Abd Shamad al-Palimbani, Muhammad Nafis al-Banjari, Abd al-Wahab al-Bugisi, Abd al-Rahman al-Mashri al-Batawi, Abd Allah al-Fatani dan beberapa nama lain.[25] Adapun dari beberapa nama tersebut, neo-sufisme juga menjadi aspek penting yang dibawa dalam rangka pembaruan pemikiran Islam. Dalam proses penyebarannya, selalu terjadi rekonsiliasi antara syariat dengan tasawuf. Hal tersebut misalnya terjadi pada pembaruan Islam di Minagkabau. Jamal al-Din yang merupakan ulama asli Minangkabau setelah pulang dari Bayt al-Faqih, Aden Haramayn, Mesir, memperkenalkan tarekat Naqsyabandiyyah kepada masyarakat Minangkabau. Sebagaimana yang diketahui, di Minangkabau juga terdapat tarekat Syattariyyah. Maka disitu terjadi pendekatan dan usaha yang berbeda dari Jamal al-Din, agar tarekat yang diajarkannya dapat diterima dengan jalan yang damai.[26]

F.       Sumbangan Keilmuan

Dari apa yang telah dipaparkan oleh Azyumardi Azra dalam bukunya tersebut, setidaknya ada beberapa poin penting yang menjadi bukti baru sekaligus menunjukkan adanya kontribusi keilmuan yang disumbangkan oleh Azyumardi Azra. Adapun beberapa temuan dan kontribusi tersebut yakni dari rentetan sejarah yang dijabarkan, dapat diketahui bahwa relasi yang terjalin antara Nusantara dengan Timur Tengah sudah terjadi sejak lama. Azyumardi Azra juga berhasil membantah asumsi mengenai sejarah umum yang berkembang. Ternyata pada abad ke-17 dan 18, gagasan mengenai pembaruan Islam sudah mulai digaungkan oleh jaringan ulama internasional. Sehingga menjadi tidak benar jika di kedua masa itu Islam mengalami kemunduran.

Lewat pelacakan yang dilakukan, pada abad ke-17 ditemukan bahwa orientasi ulama sudah bukan lagi murni tasawuf yang didominasi unsur mistis, akan tetapi sudah mulai bergeser pada hukum atau syari’at. Bahkan di paruh kedua abad ke-17 tersebut, jaringan ulama di Nusantara sudah mengenal neo-sufisme yang kemudian mulai disebarkan secara massif di seluruh wilayah Melayu-Indonesia. Selain itu ia juga menemukan bukti dan fakta bahwa banyak tokoh pembaruan Islam di Nusantara yang lahir dan merupakan bagian dari jaringan ulama sejak abad ke-17 dan ke-18. Mereka sudah lebih dulu mentransmisikan wacana-wacana ilmiah yang dibawa oleh jaringan ulama di Timur Tengah, melalui kitab, buku, serta majalah-majalah.


G.      Kesimpulan

Dari apa yang telah dipaparkan di atas, kiranya ada dua kesimpulan yang dapat diambil dari makalah ini. Pertama, Azyumardi Azra berhasil melacak akar pembaruan pemikiran Islam. Selain lewat teori kedatangan Islam, juga lewat hubungan antara jaringan ulama Timur Tengah dengan ulama di kepulauan Nusantara pada abad ke XVII dan ke XVIII. Selain itu pelacakan yang dilakukan juga menunjukkan bahwa ulama Nusantara memiliki kontribusi yang besar dalam penyebaran Neo-sufisme ke wilayah Nusantara, bukan pada abad ke-19 melainkan sejak abad ke-17. Kedua. sumbangsih yang diberikan Azyumardi Azra dalam keilmuan Islam adalah bahwa pada abad ke XVII dan XVIII yang dianggap sebagai kemunduran Islam, justru menyimpan relasi yang harmonis dan penyebaran tarekat berbasis syariat yang massif. Pembaruan Islam berbasis Neo-Sufisme yang berhasil dijabarkan oleh Azyumardi Azra tersebut menjadi penanda yang penting dalam sejarah pengkajian Islam.


DAFTAR PUSTAKA

Aisyah, Sitti. Dunia Islam Abad ke-19 M, Jurnal Adabiyah, Vol. XIII, No. 1, 2013
Amal, Taufik Adnan. 1987. Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam,   Bandung: Mizan
Ansharuddin, Upaya-upaya Pembaharuan dan Dasar-dasar Modernisasi di  Dunia Islam, Cendekia, Jurnal Studi Keislaman, Vol. III, No. 2, Desember, 2017.
Azra, Azyumardi. 1994. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia. Bandung: Mizan
Dewi, Rusmala. Isu-isu Pembaharuan Islam di Beberapa Negara Perspektif Sejarah, dalam Jurnal Nurani, Vol. XVI, No. 1, Juni, 2016
Nasuha, Model Penelitian Sejarah Islam, Jurnal Saintifika Islamica, Vol. I, No. 2,  Juli-Desember, 2014.
Rahman, Fazlur. 1985. Islam dan Modernitas, Tantangan Transformasi Intelektual. Bandung: Pustaka
Fathurrahman, Oman. Jaringan Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi dalamTradisi Intelektual Islam di Dunia Melayu-Indonesia, dalam Studia Islamika; Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. XI, No. 2, 2014
Ismail Amin, Antara Haramain dan Kerajaan Monarki Arab Saudi, dalam            https://arrahmahnews.com/2015/04/17/antara-haramain-dan-kerajaan-monarki-arab-saudi/ diakses pada 27/12/2019





[1] Ismail Amin, Antara Haramain dan Kerajaan Monarki Arab Saudi, dalam https://arrahmahnews.com/2015/04/17/antara-haramain-dan-kerajaan-monarki-arab-saudi/, diakses pada 27/12/2019
[2] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII; Melacak Akar-akar Pembaruan Pemikiran Islam di Indonesia, (Bandung: Mizan, 1994), h. 16
[3] Ibid,.
[4] Rusmala Dewi, Isu-isu Pembaharuan Islam di Beberapa Negara Perspektif Sejarah, dalam Jurnal Nurani, Vol. XVI, No. 1, (Juni, 2016), h. 20
[5] Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi dalam Tradisi Intelektual Islam di Dunia Melayu-Indonesia, dalam Studia Islamika; Indonesian Journal for Islamic Studies, Vol. XI, No. 2, (2014), h. 365
[6] Sitti Aisyah, Dunia Islam Abad ke-19 M, dalam Jurnal Adabiyah, Vol. XIII, No. 1 (2013), h. 75
[7] Ansharuddin, Upaya-upaya Pembaharuan dan Dasar-dasar Modernisasi di Dunia Islam, Cendekia, Jurnal Studi Keislaman, Vol. III, No. 2, (Desember, 2017), h. 55
[8] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 15
[9] Ibid… h. 19
[10] Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, (Bandung: Mizan, 1987)
[11] Fazlur Rahman, Islam dan Modernitas, Tantangan Transformasi Intelektual, (Bandung: Pustaka, 1985)
[12] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 75
[13] Ibid… h. 16
[14] Ibid… h. 62-75
[15] Nasuha, Model Penelitian Sejarah Islam, Jurnal Saintifika Islamica, Vol. I, No. 2, (Juli-Desember, 2014), h. 114
[16] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 45             
[17] Adapun contoh dari terbentuknya relasi religio-kultural ini, dapat dilihat dari konsepsi penciptaan alam yang dipercaya oleh masyarakat Minangkabau. Di mana dalam konsep tersebut sangat dipengaruhi oleh teori emanasi dalam tasawuf. Baca Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 45
[18] Ibid… h. 17
[19] Ibid… h. 110-115
[20] Ibid… h. 18
[21] Ibid… h. 295
[22] Ibid… h. 169
[23] Oman Fathurrahman, Jaringan Ulama; Pembaharuan dan Rekonsiliasi… h. 374
[24] Ibid… h. 375
[25] Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII… h. 243
[26] Ibid… h.  291

Post a Comment

0 Comments