Memoar Sajak Tuan Gerimis

Semua yang terasa berbeda tetap saja sama. Pagi tersuguhkan dengan buai manja sang fajar. Alunan adzan pun perlahan selesai mengumandang. Kemudian kucuran air yang begitu dingin mulai dapat membelalakkan raga. Sejenak kutolehkan diri menuju jendela 219. Di luar sana, pagi mulai benar-benar terasa pagi.
kompasiana.com

Beriring melodi para kenari, aku memulai hari. Aku mulai melangkahkan kaki keluar dari pintu penjara suci. Kutatap langit yang biru berawan putih kala itu, sungguh, indah menawan tanpa guratan. Aku berkata pada sang langit, “Hei langit, kejutan apa yang akan kau berikan padaku hari ini?”

Detik demi detik dalam masamu, seperti air yang terjun tanpa berkesudahan. Bila kuingat lagi, hari itu semilir angin menghangat di antara dingin yang mencengkeram kuat. Bila aku mengawang lagi, ada goresan tinta dalam lembar pertama di masamu, yang mana mengawali ceritaku di masa ketika hari itu berlalu. Seakan ingin lebih kuhiperbolakan lagi kisah kala itu. Namun sadarku belumlah mampu.

Hari itu, untuk kedua kalinya kumasuki ruang kelas di kampus baru. Aku mulai belajar mengenali satu persatu dari mereka yang akan menjadi kerabat dekatku selama menjalani perkuliahan. Aku belajar sedikit demi sedikit menghafalkan nama, dan cara mereka berbicara. Dan hari itu, aku mengenal sosok baru. Sosok bermata sayu yang tampak sederhana. Begitu sederhananya hingga di hari itu pula, aku mampu menghafalkan suara dan logat bicaranya.

“Langit... Inikah kejutan yang kau simpan untukku?”

Aku mulai memperkenalkannya ketika Ia masih berdiri mematung di luar ruangan. Selagi waktu belum jauh dari 08:40, ia dengan tenang menikmati sisa rokok yang dihisapnya. Kukira ia adalah salah satu dari sekawananku, nyatanya bukan.

Aku masih mengingatnya, sosok jangkung dengan kemeja yang terbalut jaket coklat serta celana jeans. Aku pun masih mengenangnya, ia yang berkulit sawo matang, bermata sayu, memiliki rahang yang agak panjang dengan pipi tirus, dan rambut yang cepak. Namun, aku tidak bisa memperkirakan usianya saat itu. Mungkin karena aku tak lantas mengaguminya, tak mempedulikannya, sama sekali.

kumparan.com

Masih dengan Selasa dan gerimis manjanya. Seberapa seringkah kau datang di masaku, hingga kurasa begitu cepatnya waktu berlalu? Terlalu seringnya kau mengunjungiku, hingga mampu kurasakan kekaguman singkat pada sesosok sayu. Ketika masamu berlalu, aku hanya mampu mengenal sesosok sayu itu sebagai pujangga, tak lebih. Aku tahu ia pun mampu mengenang segalanya lewat bait-bait kata.

Benar, ibarat sang pujangga dengan segenap syair-syair melankolisnya. Akhirnya aku mengenalnya, sebagai pemilik dan pengagum riak-riak lembut. Sepertiku, aku lega mendengar kata gerimis darinya. Ia tak mengeluh ketika kukabarkan bahwa gerimis itu romantis. Ia ibarat penyair mahir pecandu gerimis. Sosok yang pada akhirnya lebih sering kusebut sebagai tuan gerimis. Aku tak akan lupa bahwa di setiap gerimis menyapa, ia pasti datang membawa sebuah pesan.

Apabila detik demi detik di masamu mungkin berlalu, aku ingin ia mengenangku sebagai sesosok ringkih yang tak mampu mengenalnya. Ketika gerimis tak lagi mampu menegur sapa, kuharapkan gerimis singgah di mimpi. Aku tak menginginkan gerimis sebagai candu. Aku mengharap gerimis mampu menghantar beribu pesan-pesan rindu. Hingga pada masa tertentu, ia akan pahami gerimisku sebagai gerimis rindu, bukan candu.

Hari itu, 31 Desember 2014. Pukul 20:30, gerimis datang bersama gelap yang membenamkan. Jika ia melangkah lebih jauh, bukan untuk mengenalku dan meng-iba atas diriku, tentu aku tidak akan lagi memahat tumpukan batu dan tanah yang keras ini dalam-dalam. Bersama gerimis yang datang malam itu, aku memikul harap semu atas kegilaanku memujanya.

Namun sampai pada berakhirnya perayaan tahun baru di masa itu, aku hanya diam mematung, dan bahwa tidak ada lagi sesuap kata yang mampu terucap lewat lisan sebagai wujud perpisahan pada awal libur panjang, adalah sebuah keniscayaan. Ia, terlalu dingin untuk sekedar menyapa, menengok, dan mengerti.

Sampai suatu hari ia mendapatiku telah membaktikan diri untuk mengukir kembali namanya dalam selembar kertas bergaris, dengan tinta merah. Benar, ia memang sadar lebih awal sehingga aku tak perlu lagi membuang muka ketika ia begitu enggan mengucap sapa. Ia berpesan padaku dengan sengaja, bahwa mencintai gerimis bukan sekedar menunggu kehadirannya, akan tetapi memaknai setiap tetesnya dengan sajak penuh makna.

tuan kopi

Yaa, benar. Ia yang mengajariku membuat setiap detik yang kulalui bersama gerimis semakin bermakna. Ia torehkan dalam setiap tetes gerimis yang ia temui dengan puisi. Dan aku, ia memintaku berjanji, dan kami pun akhirnya sama-sama berjanji.

“Kita akan berjanji, setiap kali gerimis turun, di manapun, dan kapanpun, dalam keadaan apapun, aku akan membuat sajak sederhana dan kukirimkan padamu, begitu sebaliknya.”

Dan hanya perjanjian singkat itu yang menguasai keyakinanku, memaksaku memenjarakan kepalsuan, keengganan, dan kesungkananku terhadapnya.

Berawal dari 13 Januari, dan gerimis manis itu di mulai. Aku tengah menyingkirkan diri dari menghuni jendela 219, di mana sejauh mata memandang, hanya akan kutemui deretan tebu dan daunnya yang menjulang melambai padaku setiap angin membangunkannya. Kali ini aku bersemayam dalam kedamaian dan kenyamanan sebuah gubuk tua yang tak lagi terbaharui cat dindingnya.

Aneh… sungguh terasa asing, karena deru mesin kereta api yang berlalu lalang di balik rimbun tebu, tak lagi kudapati bisingnya. Namun, ada kebahagiaan yang tiba-tiba menyusup di dalam bilik hati ketika kuutarakan bahwa gerimis tengah menyapaku, di malam yang tak terduga dan 13 Januari kala itu menjadi nampak istimewa, meski hanya sejenak.

“Makanya bilang sama gerimis, Jangan terlalu sebentar menyapa. Sebab sapaannya dapat menentramkan jiwa. Sampaikan juga padanya, Tetesnya sungguh mempesona.” –Tuan Gerimis

titikdua.net

Sesuai dengan perjanjian yang telah kubuat dengannya, mulai kutulislah sajak pertama tentang gerimis, yang akhirnya mampu menjadi pelipur lara, penawar rindu, dan penghapus duka. Bahkan ketika kini ia telah memilih enyah dari perjanjian yang telah dibuatnya.

Aku tidak pernah berharap ia benar-benar ada dan sudi merangkaikan kata untuk sekedar perjanjian tak berharga. Aku tak pernah menyangka ia adalah manusia yang nyata. Bagiku malaikat hanya fatamorgana yang bahkan menjelmapun tak akan mampu kusentuh. Namun, ia memang ada. Ia nyata, dan ia menepati janji. Dan justru ia tak pernah ingkar janji. Sajak pertama ini kudapat darinya di tanggal yang sama dengan sajak yang kutuliskan.

“Kau tahu kenapa gerimis romantis? Karena setiap tetesnya. Memaksa kita merangkai kata-kata puitis. Gemerciknya meminta jiwa. Melukis senja. Meraba makna, dalam dunia kata.” –Tuan Gerimis

Pun aku tidak lagi mampu mengingat setiap kejadian yang terjadi saat gerimis datang menyapa dengan begitu tiba-tiba. Aku hanya mampu merangkumnya dalam 21 puisi yang telah ia kirimkan padaku, ketika ia tengah bercumbu dengan gerimis. Di manapun ia berada, sebagaimana janjinya, ia akan dengan segera menuliskannya.

Senja itu di Mato Kopi, 13 Januari, “Meski setiap gerimis aku harus merangkai kata-kata puitis, yakinlah, bahwa kata-kataku tak akan pernah habis. Gerimis ini menyediakan ribuan kata. Untuk aku rangkai menjadi serpihan makna. Bila gerimis ini tak kunjung berhenti. Percayalah bahwa di setiap tetesnya mengisyaratkan arti. Aku berjanji, disini, bersama secangkir kopi, tetes gerimis ini akan menjadi saksi.” –Tuan Gerimis

gramho.com

Mato Kopi, siapa yang tidak kenal dengan tempat itu? Jogja memiliki kenangan manis, baginya. Ia menghabiskan masa mudanya di sana, menuntut ilmu dan mencari jati diri, yang tentunya bukan menjadi hakku untuk mengetahui segala kenangannya di masa itu. Dan kali kedua masih di tanggal yang sama, ia kembali menuliskan sajak gerimisnya, yang tak lupa ia kirimkan padaku, sosok yang telah ia ketahui kekagumanku padanya.

Kemudian kopi, minuman ini menjadi satu-satunya minuman yang mampu mengakrabkanku dengannya di awal perjumpaan. Jika Marx pernah mengatakan agama sebagai candu, maka baginya kopi adalah candu. Sebagaimana gerimis yang tak pernah membuat para penikmatnya bosan kemudian pergi, begitulah kopi menjadi candu yang dengan sadar ia nikmati.

Tidak banyak hal yang dapat kuketahui dari sosoknya. Aku terlalu takut membuatnya merasa kembali enggan, bahkan tidak lagi merasa nyaman dengan keberadaanku. Menyadari posisiku yang tak seberapa penting dalam hidupnya, maka aku hanya diam. Aku hanya mampu menjadi pendengar pasif ketika ia mulai tak segan untuk bercerita. Aku terlalu muda untuk mengerti segala hal yang ia kisahkan. Pergulatannya dengan orang-orang hebat tak mampu lagi kuanggap remeh. Hal itulah yang kemudian semakin membuatku mengaguminya tanpa sengaja.

“Orang-orang hebat pastilah memiliki mimpi dan tujuan yang sama, yakni menjadi hebat pula.” –Morfa

Dan aku masih mengeja, mempelajari setiap diksi agar tak melukainya, atau melukai diriku sendiri. Ketakutanku bukan sekedar menciderai kebijakannya, akan tetapi ketika nantinya aku justru menodai makna hakiki dari sang gerimis yang kupelajari darinya. Gerimis adalah cinta yang abadi dari Tuhan bagi para penyukanya. Dan ia adalah manusia setengah dewa yang Tuhan kirimkan untuk menerjemahkan setiap rintik gerimis yang tak pernah menua.

Aku tidak pernah benar-benar memahami setiap sajak yang ia kirimkan. Ia tak pernah memberikan kenyataan sebagaimana yang ia tuliskan. Sementara aku, hanya mampu menafsirkan dengan rasa yang begitu suci tersimpan. Sehingga tak ayal sering membuatku merasakan kebahagiaan semu yang bisa jadi bukan tertuju padaku.

sahabatnesia

“Tapi aku yakin, tiada insan Tuhan yang tak menaruh rasa pada sosok yang dikagumi meski begitu sederhana. Dan hanya dengan tangan Tuhan semua akan jelas tak terduga.” –Morfa

Kala itu, aku mulai gagal dalam memposisikan diri. Aku mulai mengungkung kebebasanku sendiri di depannya. Aku pernah sangat gagal dan menyalahkan gerimis atas tangis yang tak mampu lagi kubendung. Ketika Ia jarang dan bahkan menjadi sangat jarang menepati janji.

Aku menyalahkan jarak, aku menyalahkan perpindahan, aku menyalahkan waktu yang tak lagi mampu membuatnya mengirimkan sajak untukku. Aku mulai egois, mulai menganggap bahwa aku istimewa, aku menganggap sajak yang ia kirimkan adalah nyata tertuju padaku, dan bukan sekedar pengobat rindu di kala gerimis tak lagi menyapaku.

Namun kemudian aku kembali tersadar, bahwa perjanjianku dengannya terbatas. Ia bukan tempatku merajuk, bukan tempatku menjenakakan diri, dan bukan tempatku menuai benih kasih. Aku dan ia adalah pecandu gerimis yang memangku janji untuk memaknai setiap tetes gerimis dengan manis, bukan membuatnya penuh dengan rasa cinta, yang justru akan menjauhkanku dengannya.

Seperti malam itu, gerimis menyapa. Sedari siang menjelang, gerimis tak henti-hentinya menuai kecaman dari orang-orang yang takut terusik oleh tetesnya. Pekan Seni dan Kreasi Mahasiswa di tahun pertamaku memang nampak megah. Kusingkap rasa malu dan berteriak lantang agar setiap pengunjung menengok kearahku, lebih-lebih jika sudi mampir untuk membeli jajanan yang telah kusediakan bersama teman seperjuanganku.

Dan lagi-lagi, ia menepati janjinya. Ia datang bersama gerimis tipis malam itu. Dan aku merasakan benar kehadirannya. Malam yang terasa begitu dingin meski suara gemuruh dan kemeriahan kampus semakin tak terkendali. Kubuatkan ia jus buah naga, jika aku tak salah dalam mengingatnya. Dan itulah minuman setelah kopi yang berhasil kuhidangkan untuknya secara diam-diam.

kompasiana.com

Dalam jeruji 219, aku memintanya untuk menuliskan puisi yang sempat tertunda akibat keramaian kampus. Dengan tanpa ragu, ia meng-iyakan permintaanku. Tak segan-segan, aku memintanya menuliskan lima puisi sebagai bentuk permintaan maaf atas ketertundaan sebelumnya. Dan akhirnya lima puisi pun ia kirimkan padaku di pagi buta, yang tak sempat kubaca makna sebenarnya.

Itulah tuan gerimis, yang membawa cahaya dikala temaram menyapa. Membawa air dikala dahaga menguliti separoh raga. Namun tak bertahan lama. Dua bulan, ketika gerimis semakin jarang menyembul di balik awan yang berbuku-buku, ia menghilang. Sosok yang terkadang menjadi alasanku merindu, seakan lenyap di antara pinus yang lebat. Di akhir pergulatan batinku, kutegaskan padanya lewat sebuah pesan singkat.

“Jika aku mampu, pasti kudaki gunung-gunung yang mengitari persemayamanmu, tuan. Tapi apalah aku yang mampu mendaki seterjal itu. Aku hanya rindu, itupun jika kau sudi kurindu.”

“Jangan menyimpan rindu terlalu lama. Rindu yang disimpan, hanya jadi harap yang tak terungkapkan. Harap yang tak terungkapkan, hanya jadi beban perasaan.” Balas tuan gerimis atas pesanku.



Tulungagung, 2016

Post a Comment

0 Comments