Berjalan Lurus - Cerpen Alfin Saifudin

 

Aku berjalan menuju supermarket untuk membeli barang-barang kebutuhan bulanan dapur bersama istriku yang amat kucintai. Masuk parkiran kami berjalan lurus menuju pintu masuk, dua pintu yang terbuat dari kaca.

 

Penjaga pintu yang selalu di situ, dengan tegak memberi salam pada siapapun yang lewat di depannya, entah orang miskin atau kaya, entah pejabat atau pegawai kantor rendahan, semua ia beri hormat, layaknya presiden. Karena di negara kami, hirarki tertinggi di negara adalah rakyat.

 

Aku dan istriku berjalan lurus, setelah pintu kami lewati, menuju bagian supermarket yang megah itu. 8 lantai menjulang tinggi. Dan lebarnya mungkin 3 kali lapangan sepak bola. Kami membeli barang-barang yang kami butuhkan dan pulang. Kami masih berjalan lurus.

 

Ia berkata padaku, “suamiku, bolehkan kita belok sebentar ke toko bunga?” Tentu saja kujawab tidak.

 

"kita nanti menyimpang dari jalan yang lurus istriku. Kuatkan batinmu ya, itu akan membuat batinku menjadi kuat pula." Ia hanya melihat toko bunga dengan mata berkaca-kaca, ketika kami melewati begitu saja toko bunga itu.

 

anak panah berjalan lurus - pixabay/geralt

Kami menyusuri jalan yang berkelok, berlubang, dan mendaki, dengan berjalan lurus, untuk kembali ke rumah kami di pojok kota yang metropolitan. Aku berjalan lurus bersama istriku, dan ketika kami merasa ada yang aneh dengan pejalan kaki di jalan yang lurus ini, seketika langkah kami berhenti.

 

Ternyata ada lubang galian pinggir jalan yang mengaga. Kulihat masih basah, mungkin baru di gali beberapa waktu lalu. Para pekerja mungkin juga masih beristirahat, karena sekarang jam menunjuk pada angka 12, sedang adzan berkumandang dimana-mana.

 

Kami masih diam tak bersuara, takut kalau-kalau tak dapat menjawab azan yang hukumnya wajib itu. Satu jam, dua jam, tiga jam, hingga matahari tenggelam, aku dan istriku masih berdiri menunggu para pekerja itu menutup seluruh galian, agar kami dapat pulang tanpa terjerembab di lubang galian pinggir jalan.

 

Isyak berkumandang, ketika aku berada sedikit di depan istriku untuk memasukkan kunci rumah, di lubang kunci rumah kami. Pintu terbuka, aku dan istriku berjalan lurus masuk di rumah yang berbentuk segi panjang. Rumah kami.

 

Di ruang pertama, ada kamar mandi. Karena setiap kami pulang, pasti celana dalam dan celana luar kami basah, sebab tak kuat menahan laju air dan ampas sisa kami makan dan minum pagi hari. Cukup umum di kalangan pekerja seperti keluarga kami, sebab di kota kami, tak ada toilet umum. Toilet umum hanya akan mengganggu hidung para pejalan, sebab bau kamar mandi umum tak dapat ditolerir. Tak disediakan toilet di mushola atau masjid, karena orang-orang harus khusyuk tanpa ada suara kucur-kucur orang kencing, dan bret-brot-bret orang berak.

 

Katanya dulu, 50 tahun yang lalu, pom bensin pasti ada toiletnya, bulu kudukku merinding, juga leherku bergidik saat membayangkan, bagaimana rasanya orang-orang kaya itu membau kotoran-kotoran itu.

 

Namun aku menjadi tenang, ketika pencerita itu bilang itu hanya mitos, jadi aku tak perlu takut hingga terbawa mimpi, mimpi horor akibat pom bensin yang ada kamar mandinya. Jaman sekarang adalah zaman dimana perasaan manusia di atas segalanya, bahkan di atas manusia.

 

Tuhan berada di dalam perasaan kami. Pun dalam kitab suci umat manusia, tak diperbolehkan untuk bersuudzon dan berniat jahat. Jika melanggar akan diadili di muka hakim, lalu dijebloskan ke penjara untuk kurungan paling sedikit 1 bulan dan yang paling lama, adalah selamanya.

 

Di kota kami polisi memiliki hak dan wewenang untuk membawa seseorang, atau menyeret seseorang, atau bahkan menembak mati di tempat, orang yang memiliki perasaan jahat. Pernah suatu hari, aku hampir merasai bahwa orang di depanku jahat, karena ia telah menyerobot tempat dimana aku antri untuk mengambil sumbangan orang kaya di kota kami.

 

Alhasil, alat deteksi perasaan polisi tau aku berprasangka begitu. Namun, karena yang kurasai adalah kali pertama dan semoga terakhir dalam hidupku, aku hanya diberi sanksi oleh polisi tersebut.

 

***

Istriku mandi dan aku menunggu di luar rumah. Di dekat pintu, sambil menyalakan rokok kretek, dan tangan kiriku membawa gelas yang diisi kopi, hasil belianku di supermarket yang mewah tadi.

 

Aku selalu menunggu di depan pintu, sebab jika terlanjur masuk, aku tak dapat mundur untuk kembali ke toilet rumah kami. Karena hukum di negara ini mengatakan, “dilarang mundur, karena itu adalah sebuah bentuk pengkhianatan.”

 

Jadi, semua rakyat di negara ini hanya diperbolehkan berjalan lurus ke depan, tak boleh belok, atau berjalan mundur. Kecuali, para pejabat dan keluarga pejabat dan orang yang punya perusahaan besar. Mereka memiliki kendaraan untuk menghindari berjalan mundur dan belok. Suatu kecanggihan yang luar biasa, dan ketika aku kaya nanti, aku ingin membeli alat itu.

 

Istriku keluar dari kamar mandi, masih memakai handuk, dan berjalan menuju kamar tidur untuk berganti pakaian dan istirahat. Lalu aku masuk kedalam kamar mandi untuk mandi dan mencuci bajuku, serta celanaku yang bau pesing.

 

Aku kencing saat menunggu para pekerja memperbaiki jalan. Bersama banyak orang yang menunggu, kami diaba-aba untuk kencing di celana bersama. Agar tak menimbulkan ketidakadilan di antara sesama rakyat negara. Sebab, ketidak-adilan adalah sebuah bentuk penghianatan.

 

Kamar mandi kami berpintu dua, depan dan belakang. Terbuat dari kayu jati, dan beratap genteng. Di samping tangan kiriku, ada wadah berisi sabun pencuci baju, sabun pencuci badan, pasta gigi, sikat gigi, dan sampo, juga yang terakhir, berada di paling bawah wadah, sikat pakaian. Kulepas celanaku, semua pakaian yang menempel di tubuhku dan aku mandi.

 

Ketika masuk kamar, istriku telah berbaring. Ia tertidur sebelum sempat memakai pakaiannya. Mungkin ia terlalu lelah bekerja hari ini, ditambah sepulang kerja kami berjalan-jalan di supermarket untuk membeli kebutuhan kami. Aku menyusulnya untuk tidur, setelah memakai pakaian tidurku.

 

Aku bangun ketika bau masakan istriku masuk ke dalam lubang hidungku. Aku batuk-batuk, istriku sedang masak cabai dan bawang di minyak panas untuk sambel, dan ikan asin sebagai lauk sarapan pagi ini.

 

Aku suka paduan sambel dan ikan asin, itu masakan istriku yang menjadi favoritku, sebab jika ia masak ayam, pernah suatu hari, gigi depanku lepas akibat dagingnya yang begitu keras. Aku tak tahu bagaimana cara istriku memasak, sebab dapur rumah kami berada di ruang depan, yang otomatis, aku tak dapat melihat apalagi mencicipi masakan istriku saat masih di dapur.

 

Setiap pagi, ia bangun pagi-pagi, berjalan lalu naik bis agar tak ketinggalan pesawat di bandara. Seluruh ibu-ibu di negara kami memang seperti itu. Karena dengan kecanggihan pesawat, para ibu-ibu tak perlu susah-susah berjalan mengelilingi bumi untuk kembali ke ruang masak, yang ada di bagian belakang kamar tidur, depan kamar mandi.

 

Seluruh rumah di negara kami didesain oleh pemerintah. Mereka begitu berjasa, sebab rancangan modern itu. Dengan alasan, agar seluruh keluarga di negara ini, dapat makmur dan sejahtera. Istriku terlihat begitu semangat, ketika berjalan lurus dari dapur hingga ruang makan yang ada di depan kamar tidur kami.

 

Aku berjalan lurus dengan senyuman cinta kepadanya, ia balas dengan kecupan di pipiku. sebelum kami duduk di kursi masing-masing untuk makan pagi bersama. Kami berjalan lurus dengan langkah kaki berpaduan, dengan mesra.[]


Alfin Saifudin. Mahasiswa UIN SATU Tulungagung.
Aktif di Sastra Jendra.
Bisa disapa via IG: @alfin_ne


Post a Comment

0 Comments