Hari Itu Aku Berbagi Banyak Hal, Kecuali Satu


Morfo Biru – Bagaimana rasanya memiliki kekasih yang sangat tulus? Pertanyaan itu seperti anai-anai di awang-awang, sulit kugapai jawabnya. Tapi itu dulu. Sebelum akhirnya aku bertemu satu orang yang sedia membagi pilu dan tawanya denganku.

Namanya Sulung, laki-laki 29 tahun yang biasa-biasa saja. Ia mantan pacar temanku −aku harus mengungkapkan ini berkali-kali, supaya apa? Entah. Sejak problem itu, kami pun sepakat untuk terus menjalani hubungan romantis ini. Tidak terasa, sudah satu tahun.

Aku memanggilnya Sulung, karena ia anak pertama. Seorang anak muda pekerja keras dan sayang pada keluarganya. Pertama kali bertemu dengannya saat kami sama-sama mengikuti pelatihan jurnalistik tingkat dasar, 2015 silam.

Kami berteman setelahnya. Pertemanan yang biasa-biasa saja karena kami jarang bertegur sapa. Biasa-biasa saja karena kami juga jarang bertemu. Biasa-biasa saja, karena tak ada hal yang bisa kuceritakan saat pertemanan itu dimulai.

Aku katakan ia pekerja keras karena sejak duduk di bangku kuliah, ia sempatkan bekerja di salah satu kedai kopi di Tulungagung. Pagi kuliah, sore sampai malam ia habiskan di kedai kopi. Ia adalah sosok kakak tingkat teladan, mungkin.

Pertemuan kami mulai intens sejak ia dekat dengan teman satu angkatanku, temanku yang sangat baik. Kami ada di satu ruang organisasi yang sama. Percakapan demi percakapan yang biasa-biasa saja akhirnya membuatku mulai mengenal pribadinya, sedikit demi sedikit.

Tahun demi tahun berlalu, Sulung dan teman baikku ternyata telah menjadi sepasang kekasih. Aku senang mendengar relasi mereka yang demikian.

 

patah - pixabay

Doa Nenek, Aneh dan Lain

Aku pernah ada di belakang jok motor Sulung saat masih kuliah dulu. Ketika ia dengan basa basi mengajak pergi ke kondangan saudaranya, tapi kuiyakan dengan serta merta. Sebab aku sedang tidak ada kegiatan lain.

Kami pergi berdua di sore yang biasa-biasa saja. Acara pernikahan yang seperti pada umumnya, dengan tamu dan tuan rumah yang asing, buatku. Di sana, aku berkenalan dengan adik laki-lakinya, ayah dan ibu sambungnya, serta adik kembar yang manis.

Perkenalan yang biasa-biasanya saja, ditambah foto keluarga. Lepas dari acara itu, aku mengekor Sulung pergi ke rumah seorang nenek. Samar-samar aku ingat wajahnya, aroma tubuhnya, dan perkataannya ketika aku menjabat tangan keriputnya.

Seorang sepuh itu bicara padaku, mengenalkan bahwa beliau bagian dari keluarga Sulung. Mengucapkan hal yang mentah-mentah kubantah dalam hati, waktu itu. Nenek bertanya sekaligus memutuskan sepihak, aku kekasih Sulung. Beliau mendoakan kami langgeng.

Doa nenek memang agak lain. Bagiku yang baru menginjak semester tiga, itu doa yang aneh. Tapi setelahnya, hal yang terjadi di rumah nenek cepat menjadi guyonan kami dalam perjalanan pulang.

Tapi benar, pertemanan kami memang langgeng bahkan sampai ia lulus, sampai aku lulus, sampai kami punya pekerjaan masing-masing, sampai hari ini.

Pertemanan kami langgeng karena kami ada di lingkaran yang sama. Circle yang tidak biasa itu membuatku sering bertemu dengannya. Aku percaya tidak ada sesuatu yang kebetulan. Cara kerja semesta di luar prediksi manusia.

Kealpaan kami, membuat aku dan Sulung tak lagi berjarak. Kami tetap sebagai rekan yang biasa-biasa saja. Dengan bumbu humor dan nakal yang tidak jauh dari umumnya.

Aku percaya, tak ada yang kebetulan. Ketika satu tahun sebelum hari ini, relasi yang kami jalin lebih dari sekadar teman dekat, Tuhan pun tahu, itu tidak pernah kami prediksi. Jika ini adalah kebetulan, campur tangan semesta memang tiada dua.

 

Kecuali Satu

Hari ini aku sangat mencintainya. Lebih dari apapun di hidupku, sekarang ia jadi satu-satunya alasan kenapa aku tidak jadi mati muda.

Terlepas dari betapa rumit jalan yang kutempuh saat ini, aku merasa nyaman mengutarakan apapun, aneka macam teriakan dalam kepala, aku bisa ceritakan padanya.

Lalu hari itu datang, di mana kami harus duduk berhadapan dan mengeja satu demi satu perkara yang perlu kami pertegas, bagaimana selanjutnya.

Ya, hari itu aku dan Koes menyepakati sesuatu, memulai kompromi demi kompromi. Ia juga memberiku ruang untuk mengutarakan sesuatu, terima kasih. Kami benar-benar menyepakati sesuatu yang tidak pernah bisa kubayangkan sebelumnya.

Hari itu juga aku kembali berbagi banyak hal dengannya kecuali satu, diriku sendiri.[]


Tulungagung, Agustus 2023

Post a Comment

0 Comments