Kepada yang Sedang Singgah

“Kalau mau pisah sama aku, bilang ya!”

Kalimat itu lagi-lagi mampir di akhir pesan. Kukirim beberapa hari lalu tanpa alasan yang jelas, pukul 00.18 WIB. Aku tahu, saat itu aku sedang mengulang kesalahan yang sama. Tapi aku beruntung, kau tak langsung menanggapinya.

 

***

Hei, Koes. Apa kabar? Tiga hari lagi kita memeringati 28 untuk ke-11 kalinya. Senang masih bisa bersama denganmu, sosok yang sedang singgah —semoga sedia menetap lebih lama. Menjadi kekasihmu adalah salah satu perjalanan hidup yang luar biasa. Siapa sangka kita bisa sejauh ini? Anggapan buruk dan cemooh-cemooh yang terus membersamai kita, rasanya justru jadi ramuan paling mujarab. Aku tahu kau abai pada hal-hal itu, tapi beberapa waktu belakangan, aku mendapati kengerian lain, judgement dan labelling itu ternyata sedikit mengganggu.

 

Ketika sempit itu datang, aku nyalang ke tepian pekat yang membuatku sesak sendiri. Seperti sedang susah payah keluar dari labirin yang rumit dan kehabisan waktu lalu tak punya sisa nyawa untuk meneruskan permainan. Saat itu, tak ada seorang pun yang membuka telinga, sekadar mendengar satu dari sekian teriakan, mereka terkatup dalam-dalam. Susah payah mendongak ke langit pun percuma. Hanya ada pekat lagi, ditambah mendung abu-abu yang siap meluncurkan jutaan tetes hujan ke bumi. Sekali lagi, tak ada yang bisa menolongku, dari kengerianku sendiri.

 

Koes, kau percaya satu perkataan seseorang bisa mengubah laku hidup orang lain? Sayangnya aku percaya. Masuk akal jika perkataan yang kudengar itu, kemudian membuatku berpikir cukup keras, “aku sedemikian buruk, hingga tak ada satu kebaikan pun yang tersisa dariku, di ingatan mereka.”

 

Ada alasan kenapa aku memilih menepi. Aku masih berusaha untuk baik-baik saja dengan apa-apa yang kuketahui. Aku percaya ini hanya sebentar, seperti yang sudah-sudah, Koes. Tapi sesuatu yang awalnya kupercaya bisa mendadak padam. Aku terlalu takut mendengar yang lebih buruk dari ini. Ketika sempit, sesuatu yang biasa bisa sangat buruk dan menakutkan. Aku mengalaminya, lagi. Judgement yang keluar dari sebuah keberpihakan tampak membuat posisiku sangat salah. Aku hanya berharap segera menerima, bahwa aku tidak baik-baik saja dengan itu semua dan lekas bisa menceritakan detailnya dengan berani.

 


Kepada yang Sedang Singgah

Koes, hari ini aku mendengar keyakinan dalam diriku sendiri. Bahwa perjalanan yang telah kita pilih dan telah kita ketahui betul konsekuensinya ini, adalah perjalanan yang lebih serius dari yang pernah kita bayangkan sebelumnya. Aku ingin mengucapkan terima kasih atas penerimaan dan keyakinanmu selama ini.

 

Kita tidak hanya sedang bertumbuh bersama, tapi kita sedang menantang apa-apa yang tak berpihak pada keyakinan kita. Perjalanan yang hampir satu tahun ini bisa turut jadi saksi, betapa jalur yang kita lalui ngga mulus-mulus amat. Kalau boleh kembali ke pertemuan kita di awal Oktober tahun lalu, kita masih dua orang asing yang selalu akrab karena tinggal di satu lingkaran yang sama. Lalu mengizinkan diri masing-masing untuk melangkah. Pada akhir bulan selanjutnya, kita sempat membicarakan konsekuensi demi konsekuensi yang sangat mungkin kita dapatkan jika memilih untuk berjalan bersama. Betapapun berat konsekuensi itu, kita sepakat.

Hari-hari yang canggung, bulan-bulan yang berat, dan persoalan-persoalan yang rumit, sementara bisa kita lalui. Perbedaan genre musik, style berpakaian, soal makanan, kretek kesukaan, dan aspek-aspek personal lainnya bisa kita negosiasikan. Pada dasarnya, menjalin relasi denganmu cukup menyenangkan, tidak menguras tenaga dan pikiran untuk sesuatu yang tidak perlu. Komunikasi yang buruk, perlahan kau perbaiki. Aku sangat menghargai upayamu itu, Koes. Terima kasih. Beberapa prinsip hidup yang tidak bisa kita langgar satu sama lain, pun ternyata tidak lantas membuat kita berjarak. Aku menyukai setiap detailmu dan maafkan atas rusuhku.

 

Akhir Oktober tahun ini, lembar-lembar kosong buku biru yang keseluruhannya hampir tak pernah lepas dari namamu, habis. Sisa satu halaman. Aku harap halaman terakhir bergambar kupu-kupu itu masih melukiskan akarmu, deru napas, dan kesabaranmu menghadapiku. Aku berharap masih ada luang bagi kita untuk saling melipat jarak dan bercerita satu sama lain, atau biarkan aku diam sejenak dan mendengar suaramu lebih lama. Jika setelah itu kau memutuskan berpisah dari tubuhku, aku bisa siap. Meski tak lagi benar-benar siap melaluinya.

 

Koes, tahu kau kenapa aku selalu menyimpan kalimat yang sama (kalau mau pisah, bilang ya!) dan kuulang-ulang dalam kurun beberapa waktu? Sebab aku tak pernah siap kehilangan dan patah. Aku tak siap dengan segala yang tiba-tiba. Dengan mengatakannya, aku mengingatkan diriku sendiri, untuk nedes. Menahan agar tidak hanyut dalam perasaanku sendiri adalah perang setiap hari. Tidak lain, agar aku berani menghadapi pisah dan kalut-kalut itu.

 

Tapi mohon maaf, baik sekarang dan untuk waktu yang lebih panjang, aku tidak akan pernah siap.

 

Kepadamu yang sedang singgah, aku ingin berterimakasih karena telah memberi jeda untuk berpikir. Segala yang pernah kukatakan perihal ketidakmungkinan dan ketidakinginan, pada akhirnya kau buat cair. Aku dan kau tentu tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi di jam-jam setelah ini, hari esok, bulan depan, tahun depan, dan masa-masa yang akan datang. Hanya saja, untuk hari ini dan beberapa waktu mendatang, aku yakin masih bersamamu. Dan, jika Gusti memberi kita waktu lebih panjang untuk berjalan beriringan, aku harap kau tak sekadar singgah. Menetaplah. []

Post a Comment

0 Comments