Puisi-puisi Primo Levi - Terj. Hari Niskala

 

Senin

 

Adakah yang lebih sedih ketimbang kereta api?
Ia pergi tepat waktu,
Ia hanya melontarkan satu suara,
Ia melaju hanya pada satu jalur.
Kiranya tak ada yang lebih sedih ketimbang kereta api.

 

Lain halnya dengan kereta kuda.
Ia terkunci di antara dua kutub.
Ia bahkan tak tampak mencurigakan.
Keseluruhan hidupnya lamban saja.

 

Dan seorang lelaki? Tidakkah seorang lelaki bersedih?
Jika ia hidup sendiri cukup lama
Jika ia pikir waktunya sudah tamat
Seorang lelaki adalah satu hal sedih juga.

 

17 Januari 1946

*diterjemahkan dari “Monday”.

 

 

 

Senin yang Lain

 

“Akan saya beritahu kau siapa-siapa yang bakal masuk neraka:
Jurnalis Amerika,
Guru Matematika,
Senator dan sakristan,
Akuntan dan apoteker
(Kebanyakan dari mereka, atau tidak sama sekali);
kucing, pengelola keuangan,
Eksekutif,
Siapa pun yang bangun pagi
Tanpa melakoni kewajiban

 

“Dan siapa-siapa yang layak masuk suargaloka:
Nelayan dan tentara,
Bayi, tentu saja,
Kuda, pecinta,
Juru masak dan pegawai kereta api,
Orang Rusia, ilmuwan penemu;
Pencicip anggur;
Tabib dan bocah tukang semir sepatu,
Orang-orang di kereta pertama di pagi hari
yang menguap dengan syal mereka.”

 

Maka Minos[1] menggeram mengerikan
Dari corong megafon di Porta Nuova
Dalam kesedihan Senin pagi
Seseorang harus tahu untuk mengerti.

 

Avigliana, 28 Januari 1946

*diterjemahkan dari “Another Monday”.

 

All Poetry

Crescenzago[2]

 

Barangkali tak pernah terpikirkan olehmu,
Namun matahari terbit dan tenggelam di Crescenzago.
Ia terbit, memandang pada sepetak ladang,
Atau hutan, bukit, atau danau;
Dan tak mendapati mereka. Dengan wajah buruk rupanya.
Ia mengisap kabut dari Naviglio yang kering.

 

Angin berkesiur di gunung-gunung,
Melintas bebas pada dataran tak berujung.
Namun ketika ia melihat pada cerobong di sini
Ia tiba-tiba memutar ekor dan lari
Sebab asap itu hitam dan beracun
Angin itu gusar, asap hendak mencekik napasnya.


Si wanita tua duduk dan habiskan waktu
Dan menghitung titik hujan.
Wajah anak-anak adalah warna dari
Debu kematian di lorong-lorong jalan,
Dan di sini si wanita tua tak pernah bernyanyi,
Hanya peluit trem, keras, tak mau berhenti.

 

Di Crescenzago terpampang jendela,
Dan di sana berdiri seorang gadis yang jadi pucat.
Ia selalu memegang jarum dan benang,
Menjahit dan menambal dan senantiasa mengawasi detak jam.
Dan ketika bunyi peluit kembali naik di pengujung hari itu
Ia mendesah dan menangis; begitulah hidupnya.

 

Ketika sirene menguing saat fajar
Mereka keluar dari kasur-kasur kusut.
Mereka turun ke jalan dengan mulut-mulut telah penuh,
Dengan mata sembap dan telinga berdenging;
Mereka memompa ban sepeda
Dan menyalakan sisa rokok setengah pemadatan.

 

Pagi hingga petang mereka membuat
Kapal uap hitam yang berat nan mengancam
Atau menghabiskan sepanjang waktu, sekadar melihat
Tangan yang bergetaran pada tombol.
Sabtu malam mereka bercinta di parit
Di samping rumah penjaga perlintasan.

 

Crescenzago, Februari 1943

*diterjamahkan dari “Crescenzago”.

 

Nusantara News

Nyanyian Gagak #1

 

“Saya datang dari antah berantah
Untuk membawa kabar buruk
Saya telah melintasi gunung-gunung,
Terbang rendah melintas awan,
Perut saya tercermin pada telaga.


Saya terbang tanpa lelah,
Ratusan mil tanpa istirahat,
Untuk menyapamu lewat jendela,
Menemukan telingamu,
Untuk memberimu kabar buruk
Untuk mencaplok kenikmatan tidurmu,
Untuk mencecap roti dan anggurmu,
Untuk bersinggasana dalam hatimu tiap malam.”

 

Maka dia bernyanyi cabul, menari
Ke luar jendela, di atas hamparan salju.
Berhenti, dia menatap murka,
Mengukir salib di tanah dengan paruhnya,
Dan membuka sepasang sayapnya yang hitam.

9 Januari 1946

*diterjemahkan dari “Song of the Crow I”.

 

 

 

Nyanyian Gagak #2

“Berapa banyak siang yang meliputimu? Saya telah menghitungnya:
Sedikit dan singkat, dan masing-masing berat dengan perhatian;
Dengan kesedihan perihal malam tak terelakkan,
Saat tak satu pun dapat melindungimu dari kejahatan dirimu sendiri;
Dengan ketakutan akan fajar yang mengekor,
Dengan menunggu saya, yang menunggumu,
Dengan saya yang (putus asa, putus asa mencari jalan keluar!)
Akan mengejarmu hingga ujung dunia,
Menunggang kudamu,
Menggelapkan jembatan kapalmu
Dengan sekadar bayang hitam,
Menduduki meja yang pernah kau duduki
Bertamu di setiap pelabuhan,
Mengawani setiap lelapmu dalam kepastian.

 

“Sampai apa-apa yang dinubuatkan telah tercapai,
Sampai kekuatanmu sirna,
Sampai kau berakhir juga
Tidak dengan letupan melainkan dalam senyap,
Sebagaimana pohon-pohon meranggas pada November,
Sebagaimana seseorang mendapati detak jam berhenti.”

22 Agustus 1953

*diterjemahkan dari “Song of the Crow II”.

**) Puisi-puisi di atas diterjemahkan Hari Niskala dari versi bahasa Inggris “Primo Levi Collected Poems”, terjemahan dari bahasa Italia oleh Jonathan Galassi.

 

Tentang Penulis

Primo Levi (31 Juli 1919 – 11 April 1987) adalah ahli kimia berkebangsaan Yahudi-Italia. Ia telah menulis sejumlah buku, kumpulan cerita pendek, esai, puisi, dan novel. Ia pernah ditahan di kamp konsentrasi Auschwitz pada 1944 – 1945.



[1] Sesosok makhluk aneh dalam bab Inferno (Divine Comedy) gubahan Dante Alighieri.

[2] Salah satu kawasan industri di utara kota Milan.

Post a Comment

0 Comments