Filsafat Kritisisme Immanuel Kant

FILSAFAT KRITISISME IMMANUEL KANT
Makalah Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Kuliah
Filsafat Umum
Dosen Pengampu :

Akhol Firdaus

Disusun Oleh :
1.            Rizka Hidayatul Umami        (1731143040)
2.            M. David Wardani                  (1731143031)
3.            Nur Fatku Rohman                 (1731142060)


Pustaka Bergerak


BAB I
PENDAHULUAN

A.              Latar Belakang
Manusia melihat kemajuan ilmu pengetahuan (ilmu pasti, fisika, biologi, filsafat dsb) telah  mencapai hasil yang menggembirakan. Disisi lain, jalannya filsafat justru tersendat-sendat. Untuk itu diperlukan upaya agar filsafat dapat berkembang sejajar dengan ilmu pengetahuan alam. Issac Newton memberikan dasar-dasar berpikir dengan induksi, yaitu pemikiran yang bertitik tolak pada gejala-gejala dan mengembalikan pada dasar-dasar yang sifatnya umum yang mana dibutuhkan analisis. Gerakan ini dimuali di Inggris, kemudian ke Prancis, dan selanjutnya menyebar keseluruh daratan Eropa terutama Jerman. Di Jerman pertentangan antara kaum rasionalis dan empiris semakin berlanjut. Masing-masing memperebutkan masalah otonomi. Kemudian timbul masalah diantara keduanya. Siapa yang sebenarnya dikatakan sebagai sumber pengetahuan? Apakah pengetahuan yang benar itu melalui rasio atau justru empiri?.
Pendirian aliran rasionalisme dan empirisme memang sangat bertolak belakang. Rasionalisme berpendirian bahwa akal merupakan sumber pengenalan atau pengetahuan, sedangkan empirisme berpendirian sebaliknya bahwa pengalamanlah yang menjadi sumber tersebut. Immanuel Kant (1724-1804 M) berusaha mengadakan penyelesaian atas pertikaian itu dengan filsafatnya yang dinamakan Kritisisme (aliran yang kritis). Untuk itulah, ia menulis tiga bukunya berjudul : Kritik der Reinen Vernunft (kritik atas rasio murni), Kritik der Urteilskraft (kritik daya pertimbangan).

B.              Rumusan Masalah
1.               Apakah pengertian dari kritisime?
2.               Bagaimanakah pemikiran Immanuel Kant?

C.              Tujuan
1.               Untuk menjelaskan pengertian dari kritisisme
2.               Untuk menjelaskan pemikiran Immanuel kant

BAB II
PEMBAHASAN

A.              Pengertian Kritisisme
Kritisisme berasal dari kata kritika yang merupakan kata kerja dari krinein yang artinya memeriksa dengan teliti menguji, dan membedakan. Adapun pengertian lebih lengkap mengenai kritisisme ialah suatu pengetahuan yang memeriksa dengan teliti, apakah suatu pengetahuan yang di dapat sesuai dengan realita kehidupan atau tidak. Selain itu, kritisisme juga dapat diartikan sebagai pembelajaran yang menyelidiki batasan-batasan kemampuan rasio sebagai sumber pengetahuan manusia.
Sebagai sebuah hasil pemikiran, tentunya kritisisme memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan hasil pemikiran yang lain diantaranya ialah menganggap bahwa objek pengenalan berpusat pada subjek, Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia dalam mengetahui realita atau hakikat sesuatu karena sebenarnya rasio hanya mampu menjangkau gejala atau fenomenanya saja, kemudian menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas segala sesuatu itu diperoleh atas perpaduan antara peranan unsur anaximenes priori yang berasal dari rasio serta berupa ruang dan waktu dan peranan unsur apesteriori yang berasal dari pengalaman yang berupa materi.

B.              Biografi Pelopor Kritisisme
Pelopor filsafat kritisisme ialah Immanuel Kant. Ia adalah seorang filosof besar yang muncul dalam pentas pemikiran filosofis zaman Aufklarung Jerman menjelang akhir abad ke 18. Ia lahir di Konigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur pada tanggal 22 April 1724.[1] Immanuel Kant lahir sebagai anak ke empat dari suatu keluarga miskin. Ia seorang anak yang cerdas. Karena bantuan sanak saudaranyalah ia berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Konigsberg. Selama studi di sana ia mempelajari hampir semua mata kuliah yang ada. Kant memulai pendidikan formalnya di Collegium Fridericianum, sekolah yang berlandaskan semangat peitisme. Pada tahun 1740, Kant belajar di Universitas di kotanya dan karena alasan keuangan ia kuliah sambil bekerja sebagai guru privat dari beberapa keluarga kaya di Konigsberg.
Perjalanan hidup Immanuel Kant dapat dibagi menjadi dua tahap yaitu tahap pra-kritis dan tahap kritis. Pembatas dari ke dua tahap ini ialah ketika Kant menjadi guru besar di Universitas Konigsbergen kira-kira tahun 1770. Sebelumnya Kant dipengaruhi oleh filsafat Rasionalisme, kemudian ia dipengaruhi oleh Empirisme. Immanuel Kant (1724-1804) memiliki pengaruh sangat luas bagi dunia intelektual. Pengaruh pemikirannya merambah dari wacana metafisika hingga etika politik dan dari estetika hingga teologi. Lebih dari itu, dalam wacana etika ia juga mengembangkan model filsafat moral baru yang secara mendalam mempengaruhi epistemologi selanjutnya. Telaah atas pemikiran Kant merupakan kajian yang cukup rumit, sedikitnya karena dua alasan.
Pertama, Kant membongkar seluruh filsafat sebelumnya dan membangunnya secara baru. Filsafatnya itu oleh Kant sendiri disebut Kritisisme untuk melawankannya dengan Dogmatisme. Dalam karyanya berjudul Kritik der reinen Vernunft (Kritik Akal Budi Murni, 1781/1787) Kant menanggapi, mengatasi, dan membuat sintesa antara dua arus besar pemikiran modern, yakni Empirisme dan Rasionalisme. Revolusi filsafat Kant ini seringkali diperbandingkan dengan revolusi pandangan dunia Kopernikus, yang mematahkan pandangan bahwa bumi adalah datar.[2]
Kedua, sumbangan Kant bagi Etika. Dalam Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797), Kant membuat distingsi antara legalitas dan moralitas, serta membedakan antara sikap moral yang berdasar pada suara hati (disebutnya otonomi) dan sikap moral yang asal taat pada peraturan atau pada sesuatu yang berasal dan luar pribadi (disebutnya heteronomi).
Pada 1775 Kant memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul “Penggambaran Singkat dari Sejumlah Pemikiran Mengenai Api” (Meditationum quarunsdum de igne succinta delineatio). Sejak itu ia mengajar di Univensitas Konigsberg untuk banyak mata kuliah, di antaranya metafisika, geografi, fisika dan matematika, logika, filsafat, teologi, ilmu falak dan mineralogi. Kant dijuluki sebagai “der schone magister” (sang guru yang cakap) karena cara mengajarnya yang hidup bak seorang orator.[3]
Pada Maret 1770, ia diangkat menjadi profesor logika dan metafisika dengan disertasi Mengenai Bentuk dan Azas-azas dari Dunia Inderawi dan Budiah (De mundi sensibilis atgue intelligibilis forma et principiis). Kant meninggal 12 Februari 1804 di Konigsberg pada usianya yang kedelapan puluh tahun. Karyanya tentang Etika mencakup sebagai berikut: Grundlegung zur Metaphysik der Sitten (Pendasaran Metafisika Kesusilaan, 1775), Kritik der praktischen Vernunft (Kritik Akal Budi Praktis, 1778), dan Die Metaphysik der Sitten (Metafisika Kesusilaan, 1797).[4]

C.              Pemikiran Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “Pencerahan”, yaitu suatu masa dimana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Pada masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru dibidang ilmu, dan terutama paradigma ilmu fisika alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473 – 1543) di bidang ilmu astronomi yang membutuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasikan pandangan duniannya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu paham yang kemudian melahirkan apa yang disebut Natural Religion (agama alam) atau agama akal. Deisme adalah suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab Ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan sesuai dengan hukum-hukumnya. Manusia dapat menunaikan tugasnya dalam berbakti kepada Tuhan dengan hidup sesuai dengan hukum-hukum akalnya. Maksud paham ini adalah menaklukkan wahyu ilahi beserta dengan kesaksian-kesaksiannya, yaitu buku-buku Alkitab, mukjizat, dan lain-lain kepada kritik akal serta menjabarkan agama dari pengetahuan yang alamiah, bebas dari pada segala ajaran Gereja. Singkatnya, yang dipandang sebagai satu-satunya sumber dan patokan kebenaran adalah akal. Kant berusaha mencari prinsip-prinsip yang ada dalam tingkah laku dan kecenderungan manusia. Inilah yang kemudian menjadi kekhasan pemikiran filsafat Kant, dan terutama metafisikanya yang dianggap benar-benar berbeda sama sekali dengan metafisika pra kant.

Metode –  Metode Immanuel Kant.
Pada periode kritis, Kant menerima sebagai titik tolak bahwa ada pengertian tertentu yang obyektif. Metodenya merupakan analisa kriteriologis mengenai titik pangkal itu. Analisa itu dibedakan kedalam beberapa macam yaitu :
a.                Analisa psikologis : yaitu penelitian proses atau jalan yang factual.  Yang didapat dari daya-daya dan potensi-potensi  yang main peranan. Dengan memperhatikan peningkatan taraf kegiatan, inferensi, asosiasi, proses belajar dan sebagainya.
b.                Analisa logis : dengan cara meneliti hubungan antara unsur-unsur isi pengertiansatu sama lain.
c.                Analisa ontologis : yaitu analisa yang meneliti realitas subyek dan realitas objek menurut adanya  dan hubungan keduanya yang riil (kausalitas).
d.               Analisa kriteriologis : yaitu analisa yang hanya menyelidiki relasi formal antara kegiatan subjek sejauh ia mengartikan dan menilai hal tertentu, dan objek sejauh itu merupakan fenomin yang ditanggapi. Jadi obyek dan kegiatan subyek hanya diambil dalam kebersamaan dan relasinya. Kemudian dicari syarat-syarat manakah yang minimal harus dipenuhi pada pihak subyek.[5]

Tujuan Filsafat Immanuel Kant.
Setiap pemikiran yang dicetuskan oleh seseorang pasti mempunyai tujuan, tidak beda dengan Immanuel kant, yang dari filsafatnya ia bermaksud memugar sifat objektifitas dunia ilmu pengetahuan. Agar maksud itu terlaksana, maka orang harus menghindarkan diri dari sifat sepihak dengan rasionalis dan sifat sepihak dengan empirisme. Rasionalis mengira bahwa telah menemukan kunci bagi pembukaan realitas pada diri subyeknya, lepas atau tanpa pengalaman (empirisme). Sementara empirisme mengira telah memperoleh pengetahuan dari pengalaman saja, dan tanpa akal (rasio).ternyata bahwa empirisme, sekalipun juga dimulai dengan ajaran yang murni tentang pengalaman, tetapi melalui idealisme subyektif bermuara pada suatu skeptisme yang radikal.
Melalui pemikiranya kant bermaksud mengadakan penelitian yang kritis terhadap rasio murni. Menurut Hume, ada jurang lebar antara kebenaran-kebenaran rasio murni dengan realitas dalam dirinya sendiri. Akan tetapi menurut kant, syarat dasar ilmu pengetahuan adalah bersifat umum dan mutlak, serta memberi pengetahuan yang baru.[6]

D.              Karya-Karya Immanuel Kant
1.               “Kritik der reinen Vernunft” (Kritik atas Rasio Murni) tahun 1781
Dalam kritik ini, Kant menjelaskan bahwa ciri pengetahuan adalah bersifat umum, mutlak, dan memberi pengertian baru. Untuk itu ia terlebih dulu membedakan adanya tiga macam putusan.
a.                putusan analitis a priori; di mana predikat tidak menambah sesuatu yang baru pada subjek, karena sudah termuat di dalamnya (misalnya, setiap benda menempati ruang).
b.               putusan sintesis aposteriori; misalnya pernyataan "meja itu bagus", di sini predikat dihubungkan dengan subjek berdasarkan pengalaman indrawi.
c.                putusan sintesis a priori; di sini dipakai sebagai suatu sumber pengetahuan yang kendati bersifat sintetis, namun bersifat a priori juga. Misalnya, putusan yang berbunyi "segala kejadian mempunyai sebabnya". Putusan ini berlaku umum dan mutlak (jadi a priori), namun putusan ini juga bersifat sintetis dan aposteriori, Sebab di dalam pengertian "kejadian" belum dengan sendirinya tersirat pengertian "sebab". Maka di sini baik akal ataupun pengalaman indrawi dibutuhkan serentak. Ilmu pasti, mekanika dan ilmu pengetahuan alam disusun atas putusan sintetis yang bersifat a priori ini. Menurut Kant, putusan jenis ketiga inilah syarat dasar bagi apa yang disebut pengetahuan (ilmiah) dipenuhi, yakni bersifat umum dan mutlak serta memberi pengetahuan baru.[7]
2.               “Kritik der Praktischen Vernunft ” (Kritik atas Rasio Praktis) tahun 1788.
Dalam kritik atas rasio praktis, Kant berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi. Pengetahuan moral , misalnya dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut kenyataan yang ada (das Sein), melainkan kenyataan yang seharusnya ada (das Sollen). Pengetahuan macam ini bersifat a priori sebab tidak menyangkut tindakan empiris, melainkan asas – asas tindakan. Kritik atas rasio praktis ini melahirkan etika. Maxime (aturan pokok) adalah pedoman subyektif bagi perbuatan orang perseorangan (individu), sedangkan imperative (perintah) merupakan azas kesadaran obyektif yang mendorong kehendak untuk melakukan perbuatan. Imperatif berlaku umum meskipun ia dapat berlaku dengan bersyarat (hypothetical) atau dapat juga tanpa syarat (categorical). Imperatif kategorik tidak mempunyai isi tertentu apapun, ia merupakan kelayakan formal (solen). Menurut kant, perbuatan susila adalah perbuatan yang bersumber paa kewajiban dengan penuh keinsyafan. Keinsyafan terhadap kewajiban merupakan sikap hormat (achtung). Sikap inilah penggerak sesungguhnya perbuatan manusia.
Sebenarnya Kant ingin menunjukkan bahwa kenyataan adanya kesadaran susila mengandung adanya pra-anggapan dasar. Pra-anggapan dasar ini oleh Kant disebut “postulat rasio praktis”, yaitu kebebasan kehendak, immortalitas jiwa dan adanya Tuhan. Pemikiran etika ini, menjadikan Kant dikenal sebagai pelopor lahirnya “argumen moral” tentang adanya Tuhan. Sebenarnya, Tuhan dimaksudkan sebagai postulat. Sama dengan pada rasio murni, dengan Tuhan, rasio praktis bekerja melahirkan perbuatan susila.
3.               “Kritik der Urteilskraft” (Kritik atas Daya Pertimbangan) tahun 1790
Kritik atas Daya Pertimbangan terdiri dari sebuah pendahuluan. Kant mengemukakan delapan pokok persoalan di antaranya adalah bagaimana cara ia berusaha merukunkan dua karya kritik sebelumnya di dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Bagian pertama dari karya itu berjudul “Kritik atas daya penilaian estetis” dan terbagi menjadi dua bagian yang terkait dengan penilaian estetis yaitu analisa daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian estetis. Analisa putusan estetis dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu analisa tentang cantik (beautiful) dan analisa tentang agung (sublime). Kritik atas daya pertimbangan, dimaksudkan oleh Kant adalah mengerti persesuaian kedua kawasan itu. Hal itu terjadi dengan menggunakan konsep finalitas (tujuan). Finalitas bisa bersifat subjektif dan objektif. Kalau finalitas bersifat subjektif, manusia mengarahkan objek pada diri manusia sendiri. Inilah yang terjadi dalam pengalaman estetis (kesenian). Dengan finalitas yang bersifat objektif dimaksudkan keselarasan satu sama lain dari benda-benda alam.[8]


BAB III
KESIMPULAN

Filsafat Kritisisme adalah penggabungan antara aliran filsafat sebelumnya yaitu Rasionalisme yang dipelopori oleh Rene Descartes dan Empirisme yang dipelopori oleh David Hume. Kritisisme Immanuel Kant sebenarnya telah memadukan dua pendekatan dalam pencarian keberadaan sesuatu yang juga tentang kebenaran substansial dari sesuatu itu. Kant seolah-olah mempertegas bahwa rasio tidak mutlak dapat menemukan kebenaran, karena rasio tidak membuktikan, demikian pula pengalaman, tidak dapat dijadikan tolak ukur yang paling utama, karena tidak semua pengalaman benar-benar nyata, tapi “tidak-real”, yang demikian sukar untuk dinyatakan sebagai kebenaran.
Adapun ciri-ciri dari kritisisme Immanuel Kant yaitu menganggap bahwa objek pengenalan itu berpusat pada subjek, bukan pada objek, menegaskan keterbatasan rasio manusia untuk mengetahui realitas atau hakikat sesuatu, dan rasio hanyalah mampu  menjangkau gejala atau fenomena suatu keadaan saja.[9]


DAFTAR PUSTAKA
Zubaedi., dkk. 2010. Filsafat Barat: Dari Logika Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
http://loe-kita.blogspot.com/2012/11/kritisisme-immanuel-kant_30.html





[1] Zubaedi., dkk, Filsafat Barat: Dari Logika Baru Rene Descartes hingga Revolusi Sains ala Thomas Khun, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), cet.II, hlm.67
[2] http://ozziexdanuarta.blogspot.com/2009/10/kritisisme-filsafat-ilmu.html./2014/12/10
[3] http://ozziexdanuarta.blogspot.com/2009/10/kritisisme-filsafat-ilmu.html./2014/12/10
[4] ibid
[5] http://loe-kita.blogspot.com/2012/11/kritisisme-immanuel-kant_30.html
[6] Ibid.,
[7] http://hudanuralawiyah.wordpress.com/2012/01/02/makalah-filsafat-kritisisme-immanuel-kant/2014/12/10
[8] http://afdholhanaf.blogspot.in/2011/03/makalah-kritisisme-immanuel-kant.html?m=1./2014/12/10
[9] http://satuhati-satukisah.blogspot.in/2013/05/filsafat-rasionalisme-empirisme-dan.html?m=1/2014/12/10

Post a Comment

2 Comments