Harusnya #GerakBersama

 

Pernah nggak kalian merasa sangat tidak beruntung dilahirkan ke bumi Tuhan ini hanya karena kalian perempuan? Pertanyaan ini masih sering keluar dan diulang-ulang. Bagiku ini bukan sekadar pertanyaan, tapi penegasan, bahwa sampai detik ini, masih banyak perempuan yang menjawab, ‘yaa, aku pernah dan sampai sekarang’ dan dengan model jawaban lain yang intinya, sama.

 

Yaa, kadang aku masih tidak paham. Apa yang salah pada tubuhku sampai orang-orang melarangku melakukan ini dan itu. Mereka (orangtua dan tetangga) sepertinya lebih mengerti tentang aku daripada diriku sendiri. Mereka lebih paham apa-apa yang mesti kukenakan, kulakukan, bahkan kupikirkan.

 

Pada umur sekian, ibu dan bapak belakangan sampai minta bantuan beberapa orang, hanya untuk mencarikanku calon suami. Alasan yang disampaikan macam-macam. Beberapa yang kudengar mereka takut aku nadi ‘perawan’ tua, tidak laku, jadi gunjingan orang atau mendadak jadi binal karena tidak kunjung kawin.

 

Sebentar, binal? Karena tidak kawin? Maaf-maaf, sebentar. Aku berusaha mencerna maksud kata-kata bapak, yang terakhir. Darimana pikiran itu muncul, pak? Aku yang tidak lain adalah anakmu sendiri, kau samakan binatang yang minta kawin begitu? Oh mungkin aku salah paham.

 

Di lain tempat aku mendengar desas-desus tetangga yang resah ketika aku lewat di depan rumah mereka. Mereka khawatir aku menggoda suami-suami mereka. Pikiran itu bahkan muncul dari dua sahabat kecilku sendiri. Apa setelah menikah, mereka sudah tidak mengenali sifat sahabatnya sendiri?

 


Lebih kacau lagi ketika seorang perempuan dari desa sebelah, menuduhku menjadi penyebab munculnya sikap kasar sang suami. Ketika suaminya memukul, aku yang dilaporkan. Ketika ia mengalami kekerasan di dalam rumah tangga, aku yang jadi sasaran. Dalihnya, aku telah membuat rumah tangga mereka retak, sehingga suaminya sampai hati memberikan bogem tiap kali percekcokan terjadi.

 

Padahal –sekadar informasi, bukan membela diri– aku kerap menyaksikan tindakan kekerasan fisik sering dilakukan si laki-laki, bahkan ketika mereka masih pacaran.

 

Yaa, harusnya waktu itu aku tidak ikut campur, jika peringatan yang kuberikan justru membuatku disebut-sebut ingin menghancurkan hubungan keduanya. Tapi mana bisa aku tidak ikut campur melihat tangan sok kuasa itu menampari perempuan, sementara aku juga sama-sama perempuan? Sayangnya saat itu aku hanya mengandalkan nurani, sehingga tak memikirkan nasibku selanjutnya.

 

Mungkin, ini memang nasib yang tidak mujur buatku. Tapi setidaknya aku tahu, bahwa semua tidak baik-baik saja. Kehendak orangtua yang dipaksakan terhadap anak, kuasa laki-laki atas perempuan atau suami kepada istrinya, stigma dan labeling yang dilekatkan pada perempuan yang memilih tidak menikah, dan persepsi-persepsi yang mengitari itu semua adalah bukti kalau lingkungan tempat tinggalku, sama seperti di tempat tinggalmu, yang masih patriarki.

 

Tubuhku, tubuh sahabat-sahabatku, diatur sedemikian rupa sampai kami hampir kehilangan jati diri kami masing-masing. Oh tidak, aku tidak bisa mewakili pikiran sahabat-sahabatku. Pengaturan dan mendisiplinan itu membuatku hampir kehilangan diriku sendiri.

 

Dan sayangnya, aku tidak bisa mengubah tatanan yang langgeng itu sendirian. Kesadaranku saja tidak akan cukup. Bagaimana dengan cara pandang dan persepsi-persepsi yang selama ini mengakar dan subur di pikiran ibu bapakku, suami-suamimu, tetangga kita, teman tidur, sahabat-sahabat dan perempuan-perempuan korban kekerasan di luar sana yang justru memilih menyalahkan perempuan lain, hanya karena tidak sanggup menyuarakan kebenaran dari dalam dirinya?

 

Hei. Aku saja tidak cukup. Aku butuh kalian semua untuk bisa #GerakBersama dan saling menyadarkan, saling mendukung dan mendorong perlindungan untuk diri kita, perempuan. Kebenaran tidak akan menjadi kebenaran jika kita hanya diam. Untuk beberapa hal, kebenaran mesti diupayakan dan disuarakan. Kita bisa, jika kita #GerakBersama. []


#GerakBersama #JanganTundaLagi #SahkanRUUPKS


Penulis

Pariyem Nuna

Post a Comment

0 Comments