Puisi-puisi Ummi Ulfatus Syahriyah

 Penjaja Buku

 

“Selamat hari buku, hari ini buku yang saya jajakan gratis!”

Wahai Paman, Bibi, Bapak, Ibu, Adik buku hari ini gratis

Perut yang menuntut balas pada kalian

akhirnya tak mendemo uang buku karena buku hari ini gratis

Buku apa pun akan kalian temukan

tak akan terlewatkan

Mulai dari merias wajah yang kusam

untuk menjadi muda sampai cara mencari uang di negeri sendiri

atau kalian ingin menghibur diri?

membaca cerita tentang Ramayana dan Sinta untuk kau impikan

dalam tidur malam?

Tokoh mana yang kau sukai? Puntadewa, sang sulung para pandhawa

Werkudara dengan kutang antakusuma-nya

Arjuna, pandawa yang memiliki wajah rupawan atau si kembar Nakula-Sadewa?

Gatutkaca pahlawan dari Pringggondani?

Atau ingin baca puisi sejenak sambil ngopi di teras rumah sendiri?

 

Hari ini buku gratis meski tiada yang menawar

Lelaki setengah tua itu, iya aku sendiri duduk di bantaran sungai

barangkali ikan-ikan akan mendengar serenade yang aku bunyikan

atau tertarik mengambil buku dalam keranjang.

 

Hari ini buku gratis rupanya burung camar yang bertengger

di ranting pohon jayanti itu hendak mengambilnya

Ikan-ikan bergerumbul di bawah kakiku yang mulai tua

menyisakan kulit yang tak lagi muda

 

Rupanya hari ini bukuku laris semua, di bantaran sungai bawah jembatan kota

Tak lama lagi anak-anak muda dengan baju compang-camping berlarian

“Pak aku mau baca! Haruskah aku membelinya dengan daun kelor?”

“Hari ini buku gratis kalian ambil semaunya saja!”

Para emak datang,

”Cepat cari uang saja, apa urusannya dengan lembarang usang itu. Tinggalkan saja!” katanya.

Hari ini buku gratis, kenapa kalian tak mencoba?

 

Seorang anak memilih diam, duduk bersama di atas batu

“Apa kabar sekolah hari ini, Pak?”

Sekolah hari ini di dalam gedung yang mewah nan nyaman

Dilengkapi perpustakaan sejuta buku baru

Sampai berdebu mereka tetap baru

tak pernah kusut dan layu

 

“Apakah kau sekolah?”

Menjajakan nyanyian dengan ukulele menjadi sekolahku

bersama kawanan di atas rumah bambu itu

Sekolahku dibangun dalam ukulele dan jejak kaki yang tak kenal waktu

mengais kehidupan dalam buku meski hanya sobekan kertas tak bermutu

Sudikah kau memberiku satu? Jangankan satu

semua akan kuberikan padamu

bernyanyilah dan jangan lupakan kebahagiaanmu

karena engkau akan lekas menemukan jendela dunia baru

 

Sampai jumpa anak muda, nasibku ada dalam dirimu!

 

Malang, 27 Juli 2020

 

Popbela.com


Aku Sudah Terlalu Tua

 

Aku sudah terlalu tua untuk mendengar remuk redamnya alam. Meluapnya air sungai ke dalam rumah perlindungan. Aku sudah renta untuk memikul beban, tak sanggup lagi kutopang. Mereka terlalu berani menjamah dataran dan lautanku hingga tak ada lagi yang tersisa, raib. Tangisanku, tak ada yang mendengar. Jangankan rintihan, pun jeritan tak digubris. Aku renta dan sudah tua, waktunya kembali ke negeri asal. Aku tak bisa lagi berbicara dengan jelas. Apalagi berjalan tegak dengan gagah, memberikan pelajaran bagi para pemberontak dan begal. Aku telah tua renta, tak bisa diandalkan. Tulang-tulangku remuk, seperti kayu dimakan rayap, hancur. Beterbangan bersama angin topan. Darahku membusuk, tak lagi segar. Penuh luka dan cacat, butuh waktu lama untuk dipulihkan. Aku sakit parah, tiada yang peduli. Memang aku terlalu tua, tak lagi muda. Lebih baik aku mati saja, dan mereka, pastinya ikut mati juga.

 

(2020)


 

Penjaja Kaleng Kosong

 

Sekujur perjalanan dipenuhi rumor tentang seorang anak kecil

penjaja kaleng di teras kota

Tertatih lemah sembari memegang kaleng kecil dan bermain ukulele

“Aku anak sehat tubuhku kuat.”

Tapi keadaannya lemah

jalannya sempoyongan

Perut kosongnya segera saja menuntut balas, haknya

menyanyikan luka yang tersayat

Orang-orang iba dan memasukkan gopek mereka dalam kaleng

“Nasibmu sedang tak bagus, jangan menyanyi itu!” katanya.

Anak itu pergi, hilang entah ke mana

Tahu-tahu mobil polisi, mengangkutnya.

 

Malang, 24 Juli 2020


PNGEgg

Penyair atau Bukan

 

Penyair bukan penyair apa salahnya membuat syair?

Malam telah membuatku mabuk dengan gemerlapnya

Memasukkan kepada lembah isyq penguasa-Nya

Pertemuan abadi yang tak akan terhapus dari masa

Ketika tengadah tangan menimang doa

Awan hadir sebagai saksi

Pepohonan melambai mengisyaratkan genderang doa mengguncang alamnya

Angin mengabarkan tiada kisah terindah selain bersimpuh

bersimbah peluh di atas sajadah bersama kedamaian

 

Wahai malam, janganlah beranjak dan menjelang fajar!

Karena damai ingin bersetubuh dengan petang

Apakah rindu masih bisa ditambatkan atau hanya akan terperam

dalam samudera kepedihan?

Tuhan, jika ajal masihlah panjang inginku bersimpuh lebih lama bersama angin dan hujan.

Malam, janganlah risau dengan serenade yang kubunyikan

kerana kaulah pusara segala nyanyian

Tiada nada seindah malam ini yang menyeruakkan kesejukan

 

Wahai malam, jika  pagi telah menjemput pulang. Elaklah!

Dedaunan yang berguguran mampir ke jendela ruang

Kubaca bait demi bait pinta dalam kesunyian

Lampu telah tinglur dengan kegelapan, gulita petang

Namun derasnya hujan dalam raga tetap merembes dalam alur kehidupan.

 

Jombang, 29 Juli 2020

 

 

Ibadah Hari Ini Diliburkan Katanya

 

Hari ini ibadah di masjid libur dulu

sementara mendekam di dalam rumah untuk bersama sanak keluarga

Masjid-masjid sepi, terkunci

 

Syukur nya, aku tak kehilangan akal

Kubuat rumah masjid kecil bersama Ibu

tarawih pun tak masalah

di dalam rumah

 

Toh meski dulu tanah pedesaan kami sama

rumah dan masjid berawal dari hutan belantara

Konon katanya, masjidku berdiri di atas pemakaman para korban penjajahan

Miris mendengarnya

 

bukan aku benci

hanya jangan sampai terulang kembali

menindas persatuan negeri kami.

 

(2020)


Ummi Ulfatus Syahriyah
Manusia biasa yang sedang mencari rumah peraduan.
Menulis yang perlu ditulis di LPM DIMeNSI. Puisi-puisinya menyebar dalam berbagai buku antologi.


Post a Comment

0 Comments