Gunretno; Lantang Menggugat Tambang

“Ia tidak anti terhadap perkembangan teknologi, tidak antipati terhadap pertambangan apalagi pabrik semen. Ia hanya menyesalkan korporasi yang sudah over produksi, tidak ada niat memperbaiki yang rusak, tapi punya hasrat tinggi melebarkan pabrik di kawasan lindung, terutama pegunungan Kendeng. Apa ini yang namanya mensejahterakan masyarakat?”

Mobil merah berisikan tiga laki-laki menjemput kami di sebuah halte warna biru, mirip warung pinggir jalan. Dengan canggung kami masuk dan berangkat menuju desa Baturejo. Pukul 20:35 kami sampai di depan rumah mirip joglo dengan pondasi agak tinggi –satu meter(an). Tepat di samping kiri kami berdiri terdapat sebuah pohon mangga tua yang sedang tidak berbuah. Di depan rumah yang memiliki dua pintu tengah berdiri seorang laki-laki dengan celana cekak dan kaos berkerah warna hijau. Ia adalah pemilik rumah –orang yang ingin kami temui– Gunretno.

Ia menyambut kami dengan rasa cemas yang mulai digantikan semburat senyum, “aku khawatir e, mung wadon loro gek wes wengi, makane njaluk tulung konco-konco iki.” Lalu kami masuk, duduk sembari melihat seisi ruang tamu yang tidak asing menerima kehadiran banyak orang. Ruang yang turut menjadi saksi adanya pergumulan Gunretno bersama masyarakat peduli Kendeng. Obrolan santai dengan Gunretno kemudian membuat kami lekas merasa nyaman berada di lingkungan baru. Percakapan demi percakapan pun terjadi, dan ini kali pertama kami mengenal lebih dalam sosok Gunretno.

Gunretno adalah salah satu warga sedulur sikep yang aktif dalam mengawal isu lingkungan. Ia memulai perjuangan melestarikan lingkungan sejak tahun 1999. Ia bersama sang istri, Hartatik juga sedulur sikep yang lain berusaha melakukan aksi pelestarian lingkungan dengan mengolah lahan kosong menjadi lahan produktif. Mulai tahun 2002, ia membentuk serikat petani dan berhasil melakukan beberapa pengembangan. “Lahan kuwi ngunu kurang produktif, walaupun ono sumber air tapi ora iso memanfaatkan. 27 hektar 1,5 tahun aku mimpin banyak petani, ya berhasil, pas iku durung ono tolak semen, tapi aku wis ngerti ape enek semen. Aku mulai mlebu, ngajak petani, piye carane lahan iku produktif, lek produktif kan eman di dol (dijual; red),” ujar Gunretno.

Aksi yang dilakukan oleh Gunretno juga sedulur sikep, merupakan sebuah ajaran moyang yang sakral. Kepercayaan terhadap ajaran moyang sedulur sikep tentang pemberian ibu bumi atau alam kepada manusia, sangat dipegang teguh oleh Gunretno dan Hartatik. Mereka meyakini bahwa semesta akan merespon segala tindakan manusia, baik yang bertujuan melindungi dan melestarikan, maupun yang berusaha merusak alam. Termasuk perjuangan pelestarian alam yang dilakukan Gunretno.

Scientiarium

Gunretno Menggugat

Perjuangan Gunretno dalam melestarikan lingkungannya tidak semudah menancapkan winihan padi untuk kemudian tumbuh subur. Tahun-tahun yang sulit, menakutkan, dan menegangkan sempat dialami oleh laki-laki yang saat ini menjabat sebagai koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK). Di awal 2006, ia menyadari bahwa lahan subur yang ada di sepanjang wilayah pegunungan Kendeng sedang menjadi incaran tambang. Hal tersebut tentu tidak tiba-tiba. Sebelumnya ada beberapa pihak yang mencari tahu, mengamati dan meneliti lahan subur di sepanjang pegunungan Kendeng. 

Gunretno paham bahwa dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh penambangan semen sangat signifikan, dan tidak dapat dikendalikan. Selain mengancam pertanian, dampak yang paling mungkin terjadi adalah hilangnya sumber mata air di Kendeng. Dilansir dari salah satu artikel di Desantara.or.id berjudul Potensi Gunung Kendeng Utara, menyebutkan bahwa di sepanjang wilayah pegunungan Kendeng setidaknya terdapat 172 sumber mata air, yang mana 79 diantaranya terletak di kecamatan Sukolilo. Jika area tersebut ditambang, sistem hidrologi kawasan tersebut akan terganggu. Dampak jangka panjangnya adalah masyarakat sekitar akan kekurangan bahkan kehilangan sumber air bersih.

Kekhawatiran Gunretno menjadi pasti, setelah di pertengahan bulan di tahun yang sama, pihak Semen Gresik melakukan sosialisasi kepada masyarakat Sukolilo, Pati, dan mengatakan akan membangun pabrik semen di kawasan itu, dengan iming-iming kesejahteraan warga. Gunretno berpikir itu hanya dalih, karena baginya dan kawan-kawan sedulur sikep ukuran kesejahteraan adalah kedaulatan hidup, bukan dihitung dari nilai materi seperti uang, derajat bahkan kekuasaan (Kompas, 24 Agustus 2014).

Gerakan awal yang Gunretno lakukan adalah memasuki satu persatu rumah warga di lingkungan tempat tinggalnya, kemudian memberi penjelasan terkait alasannya menolak pendirian pabrik semen di Pati. Respon yang ia dapatkan dari para tetangganya beragam, mulai dari tidak didengarkan, diabaikan, dan dianggap omong kosong. Sehari, sebulan, dan berbulan-bulan Gunretno berusaha meyakinkan tetangga dan kerabatnya sampai ke lain desa. Meskipun banyak warga yang akhirnya menerima penjelasan dan ajakan Gunretno, tetapi banyak pula warga yang justru menuduh Gunretno mengambil keuntungan dari ajakan penolakannya terhadap pendirian pabrik semen. Perdebatan sengit juga sempat terjadi antara Gunretno dengan kepala desa Kedu Mulyo. Karena pihak desa menerima begitu saja tawaran pabrik semen ketika ingin membeli lahan seluas 80 hektar milik warga.

Kejadian itu terjadi pada saat Gunretno masih berada di luar kota. Dia mendapatkan kabar dari salah seorang temannya. Lalu ia meminta bantuan kepada salah satu warga Kedu Mulyo bernama Darto, untuk mengadakan proses negosiasi dengan warga pro-semen. Darto pun memberikan penjelasan sebagaimana yang diintruksikan oleh Gunretno. Setelah melalui perdebatan yang panjang, tanah seluas 80 hektar yang sempat akan dibeli –bahkan sudah melalui tahap pematokan atau pemberian tapak batas– oleh pihak semen, dapat terselamatkan.

Selain itu pada tahun 2010, Gunretno dan para sedulur sikep yang lain juga sempat melayangkan gugatan hingga ke Mahkamah Agung. Gugatan itu, dimenangkan oleh pihak sedulur Sikep sehingga PT Semen Indonesia benar-benar dipukul mundur dari PatiNamun imbas dari itu adalah PT tersebut mengalihkan wilayah incarannya ke daerah Tambakromo, dan Kayen Rembang. Bahkan dua tahun kemudian terjadi peletakan batu pertama di wilayah Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih, Rembang. Hal ini pun kembali memicu Gunretno turut serta gerakan penolakan pendirian tambang. Meskipun ia sendiri tahu bahwa wilayah tesebut bukan bagian dari karst Sukolilo, akan tetapi rasa solidaritas untuk menyelamatkan tanah yang akan dirusak, menjadikan sikapnya berdasar (omahkendeng.org, 24 Agustus 2014).

Sampai pada tahun 2017 pergulatan Gunretno dan sedulur sikep terhadap tambang semen belum menemui titik akhir. Tidak terhitung banyaknya cacian dan hujatan bahkan somasi yang dilayangkan kepada Gunretno atas sikap kukuh penolakannya. Tidak terhitung pula aksi-aksi yang nekat dilakukan oleh Gunretno dan kawan-kawan peduli Kendeng. Mulai dari demo di sekitar pabrik, longmarch yang dilaksanakan pada November 2015, hingga mengecor kaki di depan istana negara pada April 2016 oleh Sembilan Kartini Kendeng. Bahkan sampai ada yang meninggal dunia di aksi mengecor kaki yang terakhir, yakni pada Maret 2017. Semua itu dilakukan hanya demi keberlangsungan hidup, demi keseimbangan alam, demi kesejahteraan jangka panjang (Kompas, 22 Maret 2017).

Koran Sulindo

Menjabat Sedulur

Gunretno hampir tidak pernah menjawab seluruh pertanyaan yang diajukan oleh wartawan, atau orang-orang yang datang dan bertanya terkait perjuangannya menolak keberadaan pabrik semen. Ia lebih suka mengajak berkeliling tamu-tamunya. Menunjukkan kepada mereka lahan-lahan yang telah berhasil dikelola dan yang sempat menjadi incaran tambang. Sebagaimana pagi itu, Gunretno mengajak kami menuju desa Kedu Mulyo.

Di sepanjang jalan Gunretno menunjukkan lahan-lahan yang pernah menjadi sasaran pendirian pabrik. Sementara tempat yang menjadi tujuan kami adalah sebuah lahan di atas bukit yang akan dibeli oleh Gunretno. Ia memang jarang membeli lahan jadi. Ia berusaha melihat peluang pada setiap lahan yang dianggap tandus, dan tidak mampu menghasilkan sesuatu apapun. Ia percaya bahwa satu keyakinan akan membawa dampak yang positif.

Selain itu Gunretno juga mengajak rombongan menikmati keindahan sebuah sumber mata air “Gua Wareh” di kawasan desa Kedu Mulyo. Tempat yang pernah menjadi saksi bahwa perempuan-perempuan sedulur sikep juga ikut berjuang melawan pihak yang menciderai alam mereka. Mereka berkumpul untuk kemudian mendiskusikan berbagai cara agar dapat menghentikan pabrik semen di kawasan lindung pegunungan Kendeng. “Awal pertemuane nek tengah sawah, podo wedi. pas nglumpuk ngunu diparani preman, dibubarne soko semen. Nek kene iku yaa ono ibu-ibu iku dari awal bentuk yasinan tolak semen, lek pas ono preman ngunu dungo, tapi lek premane lungo ngunu rembukan.  Nganti saiki urunan rungewu, kase kanggo tolak semen.” Tutur Hartatik.

Gunretno bercerita, bahwa sumber mata air yang sedang mereka saksikan pernah berhenti total selama satu jam, ketika orang-orang dari pihak semen datang untuk mengambil alih sumber mata air tersebut. Alam merespon tabiat baik sedulur sikep yang ingin melindungi sumber mata air. Respon alam yang demikian itulah yang kemudian juga membuat orang-orang Kedu Mulyo menjadi turut serta menolak pendirian pabrik.

Bagi Gunretno, adalah tantangan tersendiri ketika membuat orang yang pada awalnya pro terhadap pihak semen, kemudian beralih menjadi pihak yang menolak pendirian semen. Tentu dengan argumennya sendiri, bukan karena ajakan dari Gunretno dan kawan-kawan. “Sing apik kuwi yo gawe wong sing asale pro semen, maleh podo tolak semen. Kuwi ngunu lek ditakoni wes podo duwe alasane nolak semen. Daripada wong sing asale wis nolak semen tapi mung melu-melu, ora ngerti alasane tolak iku opo. Kan bahaya nek nggak weruh ngunu kuwi.” Ujar Gunretno.

Dalam pemaparan selanjutnya, Gunretno menegaskan tidak anti terhadap keberadaan pabrik semen, atau dengan berdirinya pabrik-pabrik lain di kawasan pegunungan Kendeng, atau bahkan di Jawa Tengah. Namun hal yang ia sesalkan adalah ketika produksi dari semen sudah membeludak –dalam istilah yang dipakai Gunretno, over produksi– sudah tidak ramah terhadap lingkungan, bahkan mengesampingkan dampak buruk yang terjadi di lingkungan sekitar pabrik, maka tidak seharusnya pabrik tersebut beroperasi, apalagi mengusahakan pengembangan dengan mendirikan pabrik baru di wilayah yang sama.

Dampak buruk itulah yang menjadi tujuan dari aksi-aksi yang didengungkan oleh Gunretno. Bukan semata-mata menjaga kecamatan Pati dari pendirian pabrik semen, akan tetapi Gunretno ingin agar lingkungannya, terutama sepanjang pegunungan Kendeng yang memiliki kekayaan alam melimpah, dapat tetap terjaga kelestariannya, dapat terpelihara lumbung pangannya. Tidak habis direnggut oleh pemodal yang menginginkan terus adanya produksi tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.

Begitulah Gunretno dengan semangatnya menjaga ibu bumi. Ia tidak pernah absen mengingatkan sesamanya –sebagaimana yang pernah ia katakan di film dokumenter Samin Vs Semen, “aku ndak opo-opo ono pabrik semen. Tapi Jawa iku penduduk.e wis padat. Nek mikire untuk pemerataan pembangunan, taruhlah di Irian jaya sing satu sak semen iku diregani 1.700. nah buatlah pabrik semen disana. Nek mikire sek Jawa, iki pokok.e wes dudu masyarakat, nek enek sing jek pengen ono pabrik semen di Jawa, iki bukan pikirane masyarakat, ini mayoritas pikirane kapitalis.” []

Penulis:         Rizka Umami
Reporter:      Dian Kurnia - Rizka Umami

Pernah Diterbitkan Majalah DIMeNSI 38 / September 2017.

 


Post a Comment

0 Comments