Dilarang Bicara Soal Kesepian

Seorang perempuan tua menggamit lengan kiriku dari belakang. Aku menoleh, berharap mengenalinya. Tapi setelah bersusah payah mengingat, aku malah tidak yakin pernah bertemu dengannya. Lagipula di tempat ini jarang sekali ada ibu-ibu rela mampir, bahkan sosialita sekali pun. Dan ia masih menatapku. Matanya kosong tapi mengharapkan sesuatu. Kami saling diam sampai lirik terakhir lagu When My Guitar Gently Weeps selesai diputar dengan perasaan menyerah, seperti biasa. 


IDN Times


Flores, tujuan baru. Meninggalkan pulau ini dan berdiam di tempat yang asing. Minggu kau berangkat. Aku diberi kabar kekasihmu di rantauannya soal itu. Ia sesenggukan lagi sambil berusaha menuntaskan cerita kepergianmu. Ingin sekali rasanya memutar fakta bahwa perempuan yang sedang menangis itu justru pergi lebih dulu buat menyambung hidupnya, meninggalkanmu. Tapi kuurungkan, sebab ia makin keras sesenggukan.

Beberapa jam setelah drama sesenggukan itu berakhir, kau menghubungiku dan kita bicara panjang lebar soal hasrat bermain seorang anak manusia. Aku selalu cemburu sebab kau lebih fasih meralat hampir semua argumentasi yang kubangun. Yaa, aku tidak pernah serius menanggapi pembicaraan. Kukira setiap obrolan yang kita lakukan hanya basa basi dan sarana menghabiskan waktu yang sama sekali tidak efektif.

Tapi lain lagi bagimu. Kau bilang tiap-tiap obrolan adalah sarana kita hidup lebih lama. Kau tak mau dipinang kesepian yang lamat-lamat akan membuat orang segera melupakanmu dengan gampangnya. Kubilang kita bisa menulisnya, membaginya dan membuat orang membaca apa-apa yang sulit kita sampaikan. Lewat lirik lagu? Seperti yang dilakukan banyak musisi kenamaan, membuat orang menerka sekenanya tentang getirnya kesepianmu, yang membuat lakon makin compang camping. Tapi lagi-lagi kau kesulitan melakukannya.

“Saya ingin bicara sebentar dengan nak Rokis, bisa?” kalimat pertama yang kudengar, bukan sapaan atau perkenalan diri. Dia mengenalku, itu pasti. tapi sejak kapan ia tahu namaku dan mengenaliku, tahu keberadaanku di sini?

“Ibu kenal saya? Maaf ibu siapa? Kita pernah bertemu?” bodoh sekali seperti biasa. Ini adalah pertanyaan klasik yang hanya bisa membuat orang jenuh ketika membaca. Tapi aku terlanjur mengatakannya dengan nada sedikit pelan, sebelum akhirnya mempersilakan perempuan berkacamata itu duduk di kursi depan. Baiklah, kami memang harus saling berhadapan sampai pembicaraan yang segera terjadi itu berakhir.

“Maryam, nama saya Maryam Kusuma, ibunda Vallis. Kita pernah bertemu di Sine sebelum pasang, beberapa minggu lalu. Nak, saya sedang mencari keberadaan Vallis.” Suaranya lembut, tapi Ia bicara penuh tekanan.

Vallis, aku tidak ingat kapan terakhir kali seranjang dengannya. Pertemuan yang kesekian di stasiun Jogja membawa kami ke sebuah losemen tepi jalan, jauh dari riuh kota. Ia menepati janjinya, mentraktirku sebotol anggur yang pada akhirnya kita minum berdua. Kami berbagi sloki, selepas ia bercerita perihal keinginannya pergi dari Jawa dan menepi sejenak. Aku tidak banyak bertanya, sebab kesepian menjelma batu besar yang menutup celah keintimannya.

Tugasku hanya mendengar semua keluhan dan sesekali ratapan. Itu pun jika ia benar-benar merasa jengah dengan pyoyek-proyek palsu yang terpaksa dikerjakan. Malam itu kubiarkan ia menghabiskan tiga sloki terakhir dan mendengarkannya bercerita sampai pagi. Mengantarkannya keluar dari kesepian yang ia anggap selalu berusaha mencekiknya.


Pexels

Ia selalu banyak bicara soal hasrat keutuhan yang nisbi. Mempertanyakan relasi yang ia bangun sendiri bersama kekasihnya beberapa tahun terakhir. Di samping ia kehilangan minat pada surat kabar elektronik yang kerap ia minta dariku, kehilangan keharusan untuk menjenguk rumah atau sekadar memberi kabar bahwa ia masih hidup tanpa bantuan alat pernapasan. Ia kembali meragukan segala yang ia dapat selama ini.

Tapi aku tidak berbohong jika ia dan kekasihnya baru saja menghubungiku. Kukatakan pada perempuan sepuh di depanku untuk tidak perlu mengkhawatirkan anak lanangnya itu. Ia akan kembali dengan sendirinya, entah dengan niat apa. Aku pesimis bisa membujuknya pulang, bahkan jika harus lebih dulu menawarkan beberapa jenis Wine sulingan karibnya.

“Saya tidak bisa menunggu lagi. Bisakah nak Rokis memintanya pulang?” matanya nanar tapi aku tak punya rasa belas kasihan padanya.

“Saya usahakan, bu.”

Perempuan itu berdiri, mengucapkan terimakasih. Aku ingin menjabat tangannya, tapi ia buru-buru membalik badan dan pergi begitu saja. Rok hitam di bawah lutut itu sedikit bergoyang mengikuti langkah kakinya menuju pintu. Kukira ia akan berbalik lalu tersenyum seperti adegan yang sering terjadi di serial drama televisi. Tapi kali ini tidak. Perempuan itu sama sekali tidak menoleh.

Keluarga yang aneh. Apa yang dilakukannya mirip Vallis selepas kami bertemu. Tiba-tiba pergi. Tidak ada kata-kata manis atau basa-basi karena itu selesai ia lakukan sejak awal. Kuputuskan menghubunginya sekali lagi dan memberitahu kedatangan ibunya. Tapi ia sudah tidak menjawab panggilanku. Beberapa kali kucoba dan nihil. Kukirim pesan singkat soal pertemuanku dan ibunya, sedikit permintaan agar ia bersedia pulang.

Satu hari Vallis membalas pesan itu. Ia katakan aku salah orang. Seminggu kemudian kekasihnya menghubungiku. Ia sesenggukan bahkan sebelum bercerita. Ia katakan Vallis memutuskan hubungan mereka setelah bercerita panjang soal tragedi menusuk ibu di malam 22 Juni, hari ulang tahun sang ibu, dua hari sebelum pertemuanku dengan perempuan itu.

Bagi orang lain, Flores mungkin jadi tujuan baru Vallis untuk menepi dari proyek-proyeknya. Atau malah mencari proyek baru untuk pembangunan tol dan penjarahan hutan yang dilegalkan Negara. Pun jika ada orang yang tahu keberadaannya. Tapi bagiku, ia tetap seorang anak asing yang selalu sembunyi dari kesepiannya. Mencoba membunuh kesepian-kesepian itu satu persatu, termasuk ibunya.

“Bukankah kesepian itu kita sendiri yang buat?”

“Dilarang bicara soal kesepian lagi di sini.” Kata Vallis ketika kami bertemu di Labuan Bajo. []

Post a Comment

0 Comments