Kita yang Gagal Saling Peduli


Koesno sampai di halaman ke-200 ketika menyadari hujan belum selesai mengantar rindu-rindu masuk ke perkampungan para penyair, di gang-gang kota yang istimewa. Seperti biasa hujan di kota ini terasa lebih sendu, meski membawa uap panas dan menggiring manusia-manusia urban membeli lebih banyak alat pendingin ruangan. Dan mungkin ia juga akan segera melakukannya, jika tak tahan dengan suhu yang selalu di atas 25°C, bahkan mencapai 33°C di siang hari.

Tapi ia urung melakukannya, lebih menikmati keringat deras mengucur setiap malam, terlebih setelah pulang dari kegiatan rutinnya bermain bulu tangkis bersama rekan kantor. Lalu menikmati waktu-waktu terbaik dengan dirinya sendiri di loteng kontrakan yang ia tinggali hampir dua tahun lamanya. Tak ada agenda rutin lain, kecuali jika beberapa karib dari kota asalnya mampir berkunjung dan mengajaknya menyusuri kawasan kota yang jauh dari kata lengang. Selebihnya, akan banyak waktu di depan layar komputer, baik di kantor atau di ruang kerja pribadinya, kamar berukuran 5x6 m².

waspada,id

Tapi malam ini ia membiarkan alat kerjanya beristirahat. Ia sedang tidak ingin bersinggungan dengan aktivitas mekanistik atau dengan klien-klien di luar pekerjaan tetapnya sebagai programmer. Ia sengaja kembali membuka-buka lemari baca dan menemukan beberapa novel yang belum sempat ia sentuh karena tertelan kesibukan. Ia ambil satu novel karya Albert Camus–yang telah diterjemahkan oleh N.H. Dini–dan mulai membaca. Kali ini ia sedikit serius memandangi kata perkata, mencoba memahami apa yang filsuf itu ingin sampaikan.

Tiga hari lalu, Koesno sempat membaca beberapa portal yang menjadikan novel Sampar karya Camus sebagai bahan refleksi dan permenungan, atas fenomena yang tengah menimpa masyarakat Wuhan, Cina. Beberapa tulisan di portal yang berbeda itu membuatnya ingin segera menyapa novel pemberian karibnya setengah tahun lalu. Ia sedikit menyesal, terlambat membacanya. Tapi ia ingin tahu detail yang dituliskan Camus dalam Sampar-nya.

Tidak pernah aku lihat kamu baca, Koes.

Oh, penasaran saja.

Ah, soal epidemi itu?

Biasanya kita lihat novel yang difilmkan. Membacanya beberapa halaman membuatku benar-benar membayangkan apa yang terjadi di Wuhan sekarang.

Keputus-asaan? Kesia-siaan?

Lebih kompleks dari sekedar keputus-asaan yang dialami oleh masing-masing orang. Lebih mengerikan, sama-sama terisolasi dari dunia luar. Ah aku belum selesai membaca.

Dan kita masih bekerja seperti biasa, hanya beberapa waktu merasa sedikit iba lalu sebenarnya tak peduli.

Sebenarnya tak peduli. Kata-kata itu mengambang lalu berlarian di awang-awang. Ia berpikir lagi, mungkin benar. Ia hanya merasa iba sesekali, tak benar-benar peduli dengan apa yang media santer beritakan akhir-akhir ini. Mungkin akan sedikit berbeda jika sudah mulai mengancam sanak saudaranya atau karib-karibnya atau orang-orang yang sempat bertemu dengannya. Tapi banyak dari orang-orang itu juga tak lebih peduli, kecuali jika bersinggungan dengan pekerjaan yang mereka tekuni. Atas dasar profesionalitas, mereka akan sangat memerhatikan hal-hal yang berkaitan dengan keuntungan pribadi.

Kemudian ia menghitung, berapa sisi kemanusiaan yang bisa ia hadirkan untuk sekedar menjenguk teman yang sedang demam tinggi dan memutuskan tidak masuk kantor, kurun waktu 2x24 jam? Hanya ucapan lewat ponsel, video call? Mungkin untuk beberapa karib yang benar-benar dekat. Selebihnya pesan singkat ‘GWS’ atau ‘cepat sembuh’ setidaknya bisa menunjukkan kepedulian. Ia ingat-ingat lagi kata-kata terakhir kawan sebelah kamar, ia memang tidak sepenuhnya peduli.

***
hipwee

Ia berjalan di antara para relawan yang sedang membantu memberikan penanganan pada korban. Tapi ia tak melakukan apa yang semestinya. Ia hanya diam mematung. Menyaksikan serangkaian kematian terjadi di sepanjang selasar rumahsakit. Beberapa ibu menangis kehilangan anak-anak dan beberapa anak-anak menangis mengikuti orangtua yang menangisi kepergian sanak kerabatnya. Tangis demi tangis pecah tak berkesudahan dan ia masih mematung menyaksikan serangkaian hal itu terjadi di depan matanya.

Matanya beradu pandang dengan beberapa korban, tapi secepat mungkin berusaha menepis. Ia tak ingin hanyut oleh perasaan bersalah atau ikut kehilangan. Tapi kemudian ia seperti melihat bayangan beberapa orang yang tidak asing, saling terpisah beberapa jarak. Adik perempuan, ibu dan bapaknya bersama beberapa kerabat yang ia tak ingat satu persatu nama mereka, sebab hanya saat lebaran saling bertukar senyum dan bersalaman. Ia melihat mereka ada bersama dengan para korban. Ia membatin, ‘mereka juga ikut jadi relawan?’ tapi cepat-cepat ia merevisi sendiri kalimat itu, ‘keluargaku juga korban?’

Tak lama berselang ia kehilangan jejak, pandangannya kembali berselancar mencari keberadaan orang-orang dekatnya tapi hanya bisa menemukan perawakan yang mirip dengan bapak. Ia berlari, ikut masuk ke dalam ruangan yang menenggelamkan sosok bapak dalam pencariannya. Namun setelah ia masuk ke ruang bertanda kuning di Instalasi Gawat Darurat itu, sosok yang ia yakini sebagai bapak, ternyata sama sekali tak mirip dan itu bukan bapaknya. Hanya ada tiga puluhan orang yang terbaring lemas dan sisanya berdiri dengan memegang infus masing-masing.


Ia keluar lemas. Mulai berpikir bahwa semua yang dilihatnya hanya terkesan mirip dengan seluruh anggota keluarga. Tapi belum lagi pikiran itu ia yakini benar, ia melihat ibu dan adik perempuannya duduk di lantai berhadapan dengan pintu laboratorium. Segera ia menuju ke tempat yang hanya berjarak  kurang dari 10 meter dari tempatnya berdiri. Tapi lagi-lagi bukan adik dan ibunya.

lalu ia mendengar suara memanggil-manggilnya, agak jauh tapi ia bisa mengenali pemiliknya, sang adik. Ia menoleh ke samping kiri, kembali ke pintu masuk ruang IGD. Tapi tak ada seseorang yang dikenalnya. Ia merasa putus asa mencari sosok-sosok yang hanya terlihat seperti keluarganya. Manifestasi dari kekhawatiran yang berlebih, mungkin.

Koes…

Seseorang menepuk punggungnya, kali ini benar-benar nyata dirasakannya. Suaranya begitu dekat dan tidak asing. Ia menoleh dan menemukan adik, ibu dan bapak di belakangnya. Mereka berada di pintu keluar rumahsakit, saling melempar senyum dan kemudian melangkah pergi meninggalkan Koesno yang sedari tadi tak beranjak dari tempat awal ia berdiri. Masih mematung dan melamunkan sesuatu yang tidak dimengerti oleh orang-orang di sekelilingnya.

Saat sadar dan berupaya menyusul langkah kaki ketiga orang terdekatnya itu, hujan turun dan membuatnya langsung menengadah, memandang langit. Sepersekian detik kemudian ia kembali hendak menyusul langkah ketiganya, tapi mereka luput dari jarak pandang Koesno, mereka tak ada. Berganti dengan beberapa orang dewasa dan anak-anak, menatapnya tanpa semburat senyum, wajah-wajah pucat dan bibir-bibir kering yang berdarah mengatup sempurna, mata-mata yang menerawang jauh ke kedalamannya yang seakan tak pernah merasai kepedulian lalu ia jatuh dan kosong.

Koes… aku pinjam pemanas airmu. Hujan malam ini awet, benar-benar membawa berkah hawa dingin, bikin ngantuk.


Lamat-lamat ia membuka mata. Masih di kamar bersama dengan buku di samping tempat tidur, tergeletak dan terbuka, belum sempat selesai ia baca. []

Post a Comment

0 Comments