Di Perjalanan Pulang


 Kamu ngga bosan?

Kenapa mesti bosan, Koes? Aku pernah bosan, tapi bakal lebih banyak amunisi setelahnya.


Dua remaja itu masih berjalan menyisir pasir hitam di bibir pantai Dlodo. Pasir bekas tambang yang gagal dibawa paksa oleh orang-orang kota. Sekarang pasir pantai itu jadi gunungan, spot selfie terbaik yang juga sempat mengundang sengketa. Mungkin sengketa kepemilikan lahan pantai ini adalah bentuk paling minimalis dari konflik Blok Barat dan Blok Timur.

Masyarakat dusun Dlodo dan dusun tetangga di kecamatan berbeda saling mendaku yang paling berhak mengelola pariwisata. Sampai pada akhirnya, pengelolaan dibagi dua. Jalan menuju bibir pantai juga jadi bercabang dua. Warga yang berjualan, beberapa terpaksa memindah warung atau mendirikan di dua sisi sekaligus. Beberapa kawan wisatawan hanya berharap, kisah mereka yang berkunjung ke pantai itu, tidak berakhir mengenaskan dengan mendua atau diduakan (bagian ini sebenarnya tidak penting).

Sore itu, sudah dua jam lebih Koesno dan Rukmini mondar mandir di sepanjang pantai. Sedikit perbincangan, seperti biasa. Tidak banyak hal yang bisa keduanya ungkapkan. Kadang hanya saling sindir, menceritakan kegagalan relasi yang dibangun masing-masing. Bahkan relasi pertemanan yang mereka jalin juga mulai anyep, sepah, kering. Seperti dua orang yang baru saja bertemu, kurang lepas dan cenderung banyak canggungnya. Hanya suara sapi-sapi yang kebetulan sedang dilepaskan dari kandang, mengisi kekosongan ruang antara mereka.

travelingyuk.com

Waktu yang masih setia di angka 17 lewat sekian, membuat sapi-sapi babon dan anak-anaknya belum dipaksa pulang oleh sang pemilik, malah dibiarkan ikut menikmati datangnya senja –tai anjing– di ufuk barat. Sementara para pemilik sapi seringkali tidak terlihat sliweran di sekitar ternaknya. Mereka pilih pulang, menyiapkan pakan bagi hewan ternak yang lain. Cukup percaya saja bahwa hewan-hewan mereka tidak akan hilang atau dicuri orang, sebab untuk bisa membawa kabur sapi-sapi itu, mereka harus melewati perkampungan masyarakat Dlodo.

Tempat ini terlalu sepi dan tidak menghasilkan banyak keuntungan kalo mau buka usaha. Mending kita keluar.

Keluar ke mana, Koes?

Malang, Surabaya atau ke kota-kota besar lain yang lebih menjanjikan.

Koes… kita punya segalanya di sini. Air dan tanah kita tak perlu beli. Kita punya hewan ternak dan lahan perkebunan kelapa masih subur. Buat apa merantau?

Banyak hal yang bisa kita temukan di luar sana, Ruk. Capaian-capaian baru, orang-orang baru dan tentunya usaha yang tidak akan mungkin bisa berkembang kalau kita hanya tinggal di sini.

Apa setelah kita dapat pencapaian yang banyak itu, kita bisa kembali ke tengah-tengah masyarakat. Atau capaian itu hanya berlaku untuk diri sendiri?



***
Beberapa bulan kemudian Koesno pamit. Ia memilih melanjutkan studi di luar kota. Berharap apa yang ia cita-citakan bisa segera terwujud, termasuk keinginannya untuk bisa studi ke Jepang, kemudian pulang, mendirikan usaha mandiri dan sukses tanpa harus terikat menjadi karyawan atau pegawai di industri orang lain (aku yakin pikiran semacam itu muncul karena dulu ia sering membaca buku-buku Andrea Hirata atau yang sejenis, atau menonton Laskar Pelangi? Mungkin, tapi entahlah).

Sementara karibnya, Rukmini pilih melanjutkan studi di kampus yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Pilihan yang bersebrangan dengan ekspektasinya. Ia memilih tinggal sebab sampai hari terakhir pendaftaran, tak kunjung mendapat restu dari orangtua. Namun ada hal yang ia syukuri dari pilihannya untuk tetap melanjutkan studi meski tidak di luar kota. Gadis itu bisa lebih sering berkunjung ke pantai Dlodo seorang diri, demi menghilangkan penat atau remuk yang mengoyak akal sehatnya.

kompasiana.com

Laut memang selalu punya cara menghantam ego dan mendamaikan diri sendiri.
Tak peduli berapa juta ton sampah yang terus dibuang manusia
Laut tetap memberi apa-apa
Menjadi yang paling bijak mengobati kemelut dan sengketa
Membalut setiap jenis luka

Tak ada laut tanpa gemuruh
Tapi tiap-tiap debur ombaknya mampu mengikis pikiranku yang kisruh.

Sampai pada satu waktu, ketika Rukmini berkunjung ke Dlodo, wajah pantai tiba-tiba berubah. Merah muda yang kemerlap atau hitam manis tak lagi dijumpainya. Hanya bangunan-bangunan bekas warung, roboh. Tempat parkir kehilangan atap jeraminya dan di ujung barat, beberapa puluh tanaman bakau mati kering.

Ia pergi ke perkebunan kelapa, tempat biasa beberapa paman yang dikenalnya bersantai sambil meminum air kelapa muda yang baru dipanjat langsung dari pohonnya. Tapi di sana kosong. Tak ada sapi-sapi yang diikat, tak ada manusia yang bisa ia mintai jawaban atas apa yang terjadi. Akhirnya Rukmini pergi ke pemukiman warga Dlodo di RT.10, yang naik ke area perbukitan. Di sana, 11 rumah yang biasanya ramai oleh suara ibu-ibu dan bocah-bocah berusia 4 sampai 7 tahun, tertutup rapat, seperti sudah sangat lama tak dihuni. Lalu ia berusaha mengingat-ingat, kapan terakhir kali menjejakkan kaki dan menemui masyarakat Dlodo.


Beberapa bentar kemudian baru ia sadari, kota telah membiusnya selama hampir 10 tahun. Studi strata satu yang ia jalani di semester kedua hingga ia diwisuda, membuat Rukmini kalang kabut membagi waktu untuk sekedar bersua dengan debur ombak yang setia menemani kekalutannya. Pekerjaan yang ia dapatkan satu bulan setelah resmi mendapatkan gelar juga membuatnya semakin tak punya waktu. Keinginannya menyusul sang karib yang berada jauh di kota tetangga juga membuatnya lupa dengan rumah dan karib-karibnya di pesisir Dlodo.

Sekembalinya ia dan Koesno ke kampung halaman, yang mereka dapati hanya sisa-sisa ampas yang tak berbentuk. Kesibukan kota besar membuat mereka tak sempat mendengar desir mesiu yang bercampur darah melumuri dusun kecil itu. Dlodo telah raib, bersama dengan kemelut sengketa yang tak berujung. Sedang anak-anak muda yang bosan hidup di pesisir dan dusun kecil itu, tak pernah sudi kembali ke rumah-rumah lama, tempat mereka semasa kecil menunggangi sapi-sapi di pinggir pantai.


Nanti, ketika mereka memutuskan untuk kembali, rumah-rumah yang sempat Koesno dan Rukmini singgahi hari ini –yang sudah tanpa penghuni– bakal membuat jantung mereka berhenti beroperasi. Nanti, mungkin kita akan menyadari betapa tempat terakhir kita pulang, yakni rumah adalah kenangan yang paling abadi.[]

Post a Comment

0 Comments