Aku Setelah Otoritasku

Kehilangan itu nyata. Aku merasakannya. Setelah semua sudut tubuhku digadaikan, menjadi penghasil kapital, aku hilang. Aku bukan lagi bunga sedap malam atau wijaya kusuma. Mungkin masih bagian keduanya, yang berhenti memproduksi wewangian. Yang tertinggal hanya mahkota-mahkota kering lusuh, siap gugur dan mati perlahan. Aku adalah sekam yang ditaburi tinta masa depan, penuh ketidakpastian dan mutlak fana. Yaa, harusnya aku tinggal telentang, berbaring di kasur empuk sembari menunggu izrael menyenggamai ruhku lalu menariknya perlahan, menuju Tuhan atau buru-buru digiring ke lembah curam, Jahannam.


Kehilangan itu nyata. Aku berulang kali merasainya selama menjalani hidup sebagai manusia di bumi Tuhan. Aku mulai kehilangan zona nyaman ketika keluar dari rahim ibu. Dipaksa menangis sesegera mungkin agar orang-orang dewasa di sekeliling ibu percaya, aku tidak terlahir bisu. Beberapa tahun setelahnya aku kehilangan kedua payudara ibu, aku tak boleh lagi menyusu. Betapa jahatnya mereka meminta ibu mengoleskan ramuan-ramuan khusus agar ketika aku mulai memaksa menyusu, dua puting yang mulai sepuh itu bisa bereaksi menolak kulumanku.

Lalu aku akan benar-benar dijauhkan dari tubuh perempuan yang mengandungku. Katanya, nanti ketika aku sudah menikah. Laki-laki yang disebutkan sebagai suami punya banyak hak untuk mengatur wilayah-wilayah kerjaku, termasuk urusan-urusan dengan ibu bapak, relasi pertemanan dan kepada siapa aku boleh jatuh cinta –yang kemudian kutahu, bahwa tak mungkin aku bisa jatuh cinta ribuan kali setelah menjalani rumah tangga. Aku membayangkan betapa menyiksanya memendam sesuatu seumur hidup, yang jika diungkapkan justru tampak sebagai aib, sesuatu yang tidak pantas, menyalahi tata nilai dan norma yang ada di masyarakat.

“tapi kan bisa ada kesepakatan?”

Kesepakatan? Aku yakin itu adalah mitos paling langgeng untuk menutupi banyak ketimpangan. Pada akhirnya perempuan akan memilih, sekadar mengalah. Ia kehilangan otoritas atas tubuhnya sekaligus pikiran dan perasaannya. Tak ada beda dengan patung pemuas, cukup dipajang demi memuaskan hasrat majikan. Kiranya nasib buruk demikian selalu ditimpakan pada perempuan-perempuan. Bahkan pada mereka yang sudah mengukuhkan bhaktinya, tetap saja mendapat stigma semena-mena.


Tapi aku coba menolak pisah dari ketiak ibu. Cukup dari rahimnya aku dikeluarkan paksa. Aku tidak mau menjadi budak atas nama mufakat. Pernikahan yang kutemui dalam perjalanan singkatku di bumi Tuhan, toh terbukti sama abu-abunya. Tidak menjamin apa-apa kecuali hanya berbagi kesusahan, mungkin beberapa bentar kerjasama bisa dilakukan. Tapi selebihnya, pembagian peran yang asu, palsu. Lebih-lebih jika bertemu dengan relasi suami-istri yang melakukan perjamuan toxic pada tiap-tiap kesempatan.

Aku berpikir sangat keras. Bagaimana bisa lari dari cerita klasik perjodohan, pernikahan dan tetek bengeknya. Bagaimana bisa membuat cerita di masa depan tentang perempuan yang merdeka lahir, batin dan pikirannya. Bagaimana bisa menjangkau seluruh cita-cita luhur perempuan yang ingin bebas dari kungkungan, jerat-jerat masyarakat moralis atau sederhananya, bebas menentukan apa yang menjadi jalan hidupnya saja.

Hingga pada suatu waktu, aku bertemu perempuan dari daerah selatan, Rokis. Di sebuah warung makan sederhana yang menjual soto, dengan porsi kuli. Pertemuan itu terjadi saat kami semeja dan berhadapan. Bagiku, ia gadis lulusan SMA yang biasa saja. Menjual bunga di pasar siang hari, menjual gorengan dan nasi kucing di sore hari dan menjual tubuhnya di malam hingga dini hari. Sementara ketika toa masjid mulai menggetarkan telinga, dari ufuk timur semburat keemasan mulai tampak malu-malu, Rokis beranjak merebahkan diri, lelap dalam kepayahannya.

“demi apa melakukan semua itu?”

“demi hidup. jelas hanya demi merasa hidup, bulek.”

“memangnya kalau tidak melakukan itu, tidak bisa merasa hidup?”

“yaa saya hanya hidup, tapi tidak benar-benar merasa bahwa saya hidup. haha, ah saya sendiri juga bingung.”

“kenapa tidak cari pekerjaan tetap yang lebih menjanjikan? Atau melanjutkan studi?”

“yaa, tentu. Saya bisa melakukan itu kapanpun saya ingin. Saya bahkan punya cukup biaya untuk mendirikan usaha mandiri selain toko bunga itu. Kuliah? dulu saya sangat ingin, bulek. Tapi saya tidak mau menghabiskan sisa usia dengan mengambil jarak dari diri saya sendiri.”



“kenapa harus menjual tubuh?”

“sebenarnya tanpa saya jual, orang-orang telah lebih dulu menjadikan tubuh perempuan komoditas. Jadi daripada mereka sendiri yang untung, lebih baik saya yang mengambil keuntungan mereka.”

“tapi kan tidak mesti harus menjual diri, nduk.”

“bulek, dengarkan saya. Kita sudah kehilangan otoritas tubuh kita sejak kita terlahir sebagai perempuan. selagi saya punya kuasa menjalankan otoritas pada tubuh saya, saya akan melakukan apapun untuk menjadikannya berharga.”

“harusnya ada cara lain untuk menghargai tubuhmu, nduk.”

“masing-masing kita punya cara. Saya yang lebih tau apa yang terbaik untuk diri saya. Tidak ada yang lebih tau diri saya, selain saya sendiri. lagipula, bulek, saya hanya tidur dengan orang yang benar-benar membuat saya nyaman dan saya mencintainya. Saya bukan pekerja yang butuh suntikan biaya agar asap dapur terus mengepul. Dan saya pastikan tidak akan tunduk pada sesuatu di luar diri saya.”


Percakapan panjang itu berhenti tiba-tiba ketika beberapa pengamen cilik masuk ke warung dan mendekat ke meja kami. Ternyata Rokis mengenal baik ke-8 bocah yang kutaksir masih berusia antara 9-12 tahun itu. Rokis memesankan masing-masing satu mangkuk soto ayam dan es teh. Mereka tampak akrab dan saling bercerita pengalaman yang didapat ketika di jalanan.

Kudengar baru saja, Rokis juga menceritakan apa yang malam sebelumnya ia kerjakan, hingga tidak sempat mampir untuk mendongengi bocah-bocah itu. Ia bilang, semalam tidur di studio foto milik salah seorang rekan kerjanya. Ia juga tidak malu mengumbar bahwa ia diminta berpose tanpa busana alias telanjang bulat di depan kamera.

“itu nggak dingin, Ro?” Tanya seorang bocah perempuan yang rambutnya dikepang rapi.

“mereka punya ruangan yang keren, jadi suhunya sudah diatur. Tapi kalian harus ingat, kita boleh telanjang bulat hanya saat kita merasa aman dan tidak dipaksa atau terpaksa. Kalau ada orang di luar lingkaran kita, orang asing, memaksa kita melepas baju atau berani menyentuh kita, kalian tau harus apa?”

“Siap laksanakan, Ro…” pekik ke-8 bocah dengan wajah penuh keyakinan bahwa mereka aman di bawah perlindungan Rokis.

Sambil cekikikan, Rokis kembali ke mengambil mangkuk soto dan menyeruput sisa kuah yang tertinggal, hampir dingin. Setelah makanan yang ia pesan habis, Rokis ijin pamit dari hadapanku.

“aku punya sedikit saran, bulek. Bisa kau pakai bisa juga tidak. Kukira kau yang lebih tau apa-apa yang harus dilakukan saat ini.”

“bicaralah, aku akan pertimbangkan nanti.”



“pertama, belajarlah memahami tubuhmu sendiri dan cari tahu apa yang ia butuhkan. Kedua, bisakah tidak bercita-cita yang muluk-muluk, ingin mengubah sistem? Patriarki tetap patriarki, bulek. Ia bakal tetap bercokol di otak semua orang. bahkan juga kita. Ketiga, lakukan sesuatu yang bisa membuatmu benar-benar merasai hidup, biar tidak sekadar hidup dan menunggu mati. Keempat, kalau bulek tidak bisa mencintai orang di luar diri bulek, maka bulek harus mencintai tubuh bulek sendiri, sepenuh-penuhnya. Tapi jangan lupa, bulek. Kita punya hutang budi sama alam. Jadi bagilah cinta itu dengan semesta yang mewujud menjadi tanaman-tanaman, hewan-hewan peliharaan di sekitarmu. Cobalah menyenangi mereka agar kesepian kita bermartabat sedikit.”

“itu…. Itu masuk akal, nduk… akan kucoba pahami satu-satu. Dan kamu sendiri, akan apa setelah ini?”

“saya punya banyak PR untuk menyenangkan tubuh saya, bulek. Sebab tubuh ini adalah kekasih saya. Saya pernah menyia-nyiakan, maka sudah waktunya saya memberikan cinta yang sepenuh-penuhnya.”

Di akhir pertemuanku dengan gadis itu, ia berpesan, bahwa sebagai subjek yang punya daya untuk melakukan sesuatu, aku adalah yang paling otoritatif memperlakukan tubuh sebagai tempat pulang, tempat berbagi, berdebat, menampung aspirasi, dan saling mencintai. Bahwa setelah itu, kita akan punya tanggungjawab yang lebih besar untuk menyelamatkan jiwa-jiwa terlunta.



Aku setelah otoritasku adalah keadilan, yang hingga kini masih diperkosa bandit-bandit sok perkasa. Aku setelah otoritasku adalah cinta, yang hingga kini masih berkutat pada novel-novel mellow-drama. Aku setelah otoritasku punya pekerjaan rumah bertumpuk, menguras tenaga dan waktu. Aku harus sedia badan, menggantikan peran-peran perempuan atas nama kesetaraan, kemanusiaan. Tapi adanya aku setelah otoritasku tak pernah selesai melawan kekuasaan, menjadi cerita klasik paling pesimistis, dan selalu berakhir kehilangan dan pengingkaran. []

Post a Comment

0 Comments