Tubuh-tubuh yang (Dipaksa) Sakit

Pengunjung masih beriringan datang. Raut-raut wajah pasien, keluarga pasien, teman, masing-masing was-was, lelah, payah, musam, dan kesan-kesan lain yang menandakan sebenarnya enggan menginjakkan kaki di sini. Kecuali bocah-bocah itu.

Mereka datang sumringah, seperti melihat area bermain maha luas, tapi penuh sesak dengan manusia. Satu bocah tampak asyik bermain di kursi tunggu, ia nyanyi saja, tak peduli suaranya nyaring, sumbang, atau apa saja. Bocah itu terus nyanyi di kursi tunggunya tanpa takut dimarahi, tak ada rona sesal, seperti tak takut pada kematian.

okvaa.wordpress.com

Di lantai dua, ada dua ruangan yang bisa langsung terbaca bersamaan dengan habisnya anak tangga. Pertama, ruang kelas dan satunya lagi bertuliskan 'Soenarjo Sadikin'. Di ruang Soenarjo Sadikin, ada tembusan ke ruang studio rumah sakit dan ruang lain yang pintunya ada di sudut studio sebelah kiri.

Dalam ruang studio, tak ada kesan muram sebagaimana lantai satu. Semua melepas topeng iba topeng luka dan topeng-topeng pura-pura. Sampai seorang laki-laki berseragam masuk lewat pintu sebelah kiri diikuti beberapa pengawal.

Ia menyalami direktur rumah sakit yang tengah duduk berbincang dengan dua orang ghost writer. Mereka sengaja dipanggil untuk menulis biografi hidup sang direktur.  Biografi yang nantinya akan menjadi sejarah -katanya. Mengingatkan orang-orang pada jasa besar sang direktur, yang dianggap telah mampu menumbangkan tingginya tingkat penderitaan orang-orang desa dan kota, karena sakit.

"Bos besar sudah datang... Mari saya perkenalkan dengan dua penulis. Mereka nanti yang membantu bikin buku saya."

"Saya juga akan segera daftar dibuatkan."

Lalu sedikit tawa receh dari penulis bayaran, perbincangan dua orang penting di kabupaten pesisir itu menjadi lebih intim, serius dan mulai mengabaikan keberadaan para pengawal dan ghost writer yang sudah lebih dulu punya jadwal bertemu dengan direktur rumah sakit.

"Posisi itu sudah pasti jatuh di jenengan. Tak bisa tidak."

"Dia salah meletakkan kaki. Kalau kita sedikit saja lupa jarak, tak ada yang selamat."

"Siapa lagi yang diseret?"

"Untungnya beliau berhenti bicara. Tapi tetap ambil jarak. Kita harus main aman."

"Kalau jenengan butuh sesuatu, seperti biasa saja."

Lalu dengan beberapa kode, calon bupati itu melangkah pergi lewat pintu yang sama. Studio sebelah kiri, diikuti oleh para pengawal dan derap sepatu yang melangkah dengan hati-hati.

Rekaman sudah di masing-masing android. Hanya beberapa menit wawancara itu berlangsung. Direktur mencukupkan bicaranya, mengundang bagian humas dan meminta dua penulis bayaran untuk melanjutkan perbincangan.

"Jangan sampai memuat hal-hal yang beresiko."

"Maksutnya, pak?"

"Tanya sama bosmu. Kerangkanya sudah dibuatkan. Kalian tulis sesuai kerangka saja."

Direktur mempercepat nada bicaranya dan meninggalkan pikiran-pikiran yang dibuat penuh tanya. Desas desus yang terdengar membuat semua semakin ambigu.

Dua penulis itu mulai menyadari, mereka tengah berada pada posisi sulit. Mereka sedang membuat perjanjian dengan musuh sekaligus dokter bagi masyarakat di kota kecil itu. Mereka sedang melayani pembunuh berdarah dingin yang mengobati sekaligus memaksa tubuh-tubuh masyarakat miskin semakin sakit. 

Bulan kedua mereka kembali menemui direktur rumah sakit. Pertemuan setiap Senin pertama di awal bulan itu akan berlangsung kurang lebih empat bulan lamanya. Bulan ini mereka punya waktu lebih banyak bercakap dengan laki-laki yang berusia hampir separuh abad itu. Secangkir teh dan dua cangkir kopi menemani perbincangan kaku yang perlahan mulai mencair dengan kejujuran demi kejujuran dilontarkan oleh pak Dir.

“Saya mungkin salah satu orang paling tidak disukai di pemerintahan.”

“Bagaimana mungkin, pak? Anda dekat sekali dengan wakil bupati dan birokrasi.”

“Mereka sahabat, tentu lebih mengenal siapa saya. Yang saya maksud adalah orang-orang pusat.”

“Anda ingin ceritakan detailnya, pak? Jika berkenan.”

“Beberapa tahun lalu, saya pernah menolak kerjasama pengadaan obat dengan salah satu merk ternama. Saya pikir, masyarakat di kabupaten ini tidak butuh itu. Harganya mahal dan bisa diganti dengan alternatif lain. Tidak harus obat jenis itu.”

“Apa respon mereka?”

“Tentu saja, mereka marah. Saya dianggap kolot dan merugikan mereka. Tapi apa peduli saya? Daripada tetangga dan anak-anak yang rugi?”

Dua orang penulis itu menyandarkan punggung ke belakang. Menarik napas panjang dan berat. Berpikir sejenak untuk mencerna cerita yang baru saja mereka dengarkan. Bersamaan mengangkat cangkir masing-masing dan menyeruputnya.

“Suatu saat nyawa saya hampir-hampir dibuat lenyap. Saya tidak tahu sudah berapa banyak yang menganggap saya musuh. Saya pernah disekap sehari semalam, waktu di bandara.”

“Anda tidak mengusutnya? Bagaimana Anda bisa lepas? Ceritanya bagaimana, pak?”

“Mereka mengancam akan membunuh saya jika saya menolak kerjasama dengan salah satu perusahaan penyedia obat.”

“Masih dengan perusahaan yang sama?”

“Beda lagi. Kali ini lebih besar. Jika saya ambil, tentu saya akan dapat keuntungan lebih banyak dari gaji sebagai dokter atau direktur.”

“Bagaimana Anda bebas?”

“Mereka lupa bahwa saya juga bagian dari orang pusat. Jika mereka membunuh saya pun, mereka tidak akan mendapat tempat layak di Indonesia. Akhirnya saya dilepaskan dengan ancaman yang bertubi-tubi, sampai hari ini.”

“Apa yang membuat Anda berbuat seperti itu, pak?”

“Saya pernah jadi orang biasa. Saat itu ibu saya sakit dan terpaksa harus dirujuk ke rumah sakit besar. Uang darimana? Saya masih kuliah, uang beasiswa pas-pasan. Tapi ibu saya dipaksa harus membeli obat-obat kimia yang mahal itu. Mereka mencekik. Taruhannya hidup atau mati. Dari situ saya bertekad tidak akan berbuat hal yang sama. Tidak ada tubuh yang ingin menelan pil-pil mahal. Kecuali dipaksa untuk benar-benar seperti sakit parah.”

Anggapan awal mereka tentang orang di depannya mulai bergeser. Dua penulis itu sama sekali tidak mengenal siapa orang yang akan mereka tulis kisah hidupnya. Sebelum sempat berpikir lebih lanjut, direktur itu berdiri, mengajak keduanya keluar dari studio, turun ke selasar. Mereka bertiga berkeliling dari paviliun Graha menuju instalasi gawat darurat, melihat sistem baru yang dibuat pihak rumah sakit.

surabaya.bisnis.com

Di gedung IGD itu ada tiga jenis pelayanan untuk pasien kritis. Ruang pertama dengan simbol warna hijau diperuntukan bagi orang-orang non-kritis, termasuk pasien kecelakaan dengan luka ringan. Ruang kedua disimbolkan dengan warna kuning untuk pasien semi kritis. Lalu simbol merah untuk pasien kritis dan butuh penanganan cepat.

“Anggap saja mereka semua adalah keluarga dekat. Tidak mungkin kita memperlakukan keluarga dekat seperti orang asing, bukan?”

“Anda benar, pak. Anda sudah melakukan sesuatu yang besar di sini.”

“Ini belum cukup. Perjuangan kita belum selesai. Sebab di luar sana masih banyak tubuh-tubuh yang dipaksa sakit, lalu membeli obat mahal. Kita harus menjadi besar, bukan untuk menguasai, tapi memutus mata rantai penyiksaan yang dilakukan para penguasa.”

Perjalanan menyusuri selasar itu berakhir di depan ruang jenazah. Dua penulis bayaran kini dibuat kebingungan melihat puluhan anak-anak bermain riang, tertawa lepas dan berlarian tanpa beban. Sepersekian menit kemudian anak-anak itu tanpa jejak, selasar sudah kembali sepi. []



(Sebuah Catatan Pribadi, Maret-Mei 2019)

Post a Comment

0 Comments