Penulis dan Takdir Sebuah Tulisan




Menulis masih menjadi salah satu media untuk menjadi abadi.  Dengan terus menerus menelurkan atau melahirkan karya, seorang penulis memiliki harapan besar untuk bisa dikenang oleh dunia. Banyaknya karya yang dilemparkan ke publik memang akan mendatangkan beragam bentuk apresiasi, kritik dan lain sebagainya. Namun bagaimanapun bentuknya, tulisan tersebut memang secara berangsur akan ikut mengabadikan nama penulisnya.


Selain itu, penulis juga bisa mendapatkan banyak keuntungan dari hasil kerja intelektualnya. Tidak sedikit penulis yang kemudian melacurkan diri dengan terus menerus menulis hanya agar mendapatkan royalti, fee, benefit, atau istilah yang lain lagi. Yaa, tidak sedikit (mungkin juga termasuk yang sedang menuliskan ocehan ini).

Saya rasa hal demikian bukan sebuah kenistaan, bukan cara yang licik, bukan sesuatu hal yang buruk, sehingga mendatangkan kemudharatan bagi yang lain. Betapapun niat menulis yang demikian sangat materialistik, akan tetapi saya mulai menganggapnya wajar saja, manusiawi. Mengingat juga, menulis tidak memperhitungkan bagaimana niat si penulis, sama sekali. Pembaca kebanyakan hanya tahu tulisan yang jadi, lalu membacanya. 

Jika itu berupa motivasi, merasuk ke hati, maka diterapkannya. Jika itu menyoal tips dan trik yang juga dirasa sesuai dengan keadaan pembaca, mereka mengaplikasikannya. Sesimpel itu, dan jarang sekali orang Indonesia yang sampai mendalam menyerap sebuah isi tulisan.

Para akademisi? Saya pun bisa menghitungnya dengan jari beberapa kali saja. Tulisan-tulisan hasil jerih payah atau hasil pemikiran, pencarian ide yang menggebu-gebu, hingga lupa tidur, buang air, dan makan, pada akhirnya hanya menjadi tulisan sampah yang hanya bertahan beberapa minggu saja. Setelah itu dilupakan, tertumpuk oleh tulisan-tulisan selanjutnya yang lagi-lagi tidak begitu mengindahkan kualitas isi atau niat si penulis dalam melahirkannya.

Pada akhirnya, penulis memang sudah mati ketika sebuah tulisannya dilemparkan ke wajah publik. Ia tidak akan lagi memiliki daya untuk sekedar menyampaikan gagasan utama dari apa yang dituliskannya, karena pembaca sudah lebih dulu segan menerima kehadirannya, loh...

Betapapun tulisan itu diniatkan menjadi luhur pada waktunya, jika publik tidak menghendakinya, maka sia-sialah ia. Begitu juga dengan tulisan dengan niat yang biasa-biasa saja, atau menulis saja, untuk benefit dan lain sebagainya. Tulisan tersebut akan diperhitungkan sesuai harga pasar. Kehendak tertinggi yang menjadi takdir terakhir tulisan adalah pada pangsa pasar. 

Jadi penulis sudah tidak punya kuasa apapun atas tulisan-tulisannya. Bukan penulis yang membuatnya (tulisan) bisa terus hidup atau mati.  Ia memang akan abadi, namun dengan takdirnya sendiri. 


Akan tetapi sebagai penulis yang punya misi kemanusiaan, baiknya ada harga yang pantas untuk tiap tulisan yang dilahirkan. Bukan semata ingin atau butuh. Lebih dari itu, untuk tetap menjunjung harga kemanusiaan yang mulai dikikis banyak kepentingan. Karena sebaik-baik manusia adalah ia yang mampu bermanfaat bagi sesamanya. Jika hal yang bisa kamu lakukan untuk menjadi manfaat adalah menulis, maka menulislah untuk kemanusiaan. [] 

Post a Comment

0 Comments