Kertas Buram yang Berdarah

“Ada banyak tragedi terjadi di masa itu. Banyak darah yang tercerai dari tubuh pemiliknya. Hujan daun, hujan ranting, gempa, dan hujan air mata. Ada tragedi mencekam terjadi kala itu untuk satu kebutuhan yang tak terkira, untuk ia yang katanya manusia.”


Tidak ingat kapan pertama kali aku dilahirkan menjadi sedemikian kejam. Aku tidak punya ingatan tentang bagaimana menjadi sebuah alat yang menguntungkan, tapi kejam. Di sisi lain aku terbuang sia-sia, terinjak-injak seperti sampah. “Atau memang aku hanya alat untuk menjadi sampah?

Malam itu seorang pemuda membuka kelambu tempatku bersemayam. Kau menggoreskan pena di kosongnya dawaian. Kau membuatku memutar ingatan yang tidak pernah kumiliki. Kau menuliskan ‘Bumi Tuhan, 2016’ dengan tanggal yang tidak jelas antara simbol 14 atau 19 di pojok kanan atas. Lalu kau mengeluh, menuliskan keluhan dalam larik bermetafor yang tak kumengerti maknanya. Kau juga keluhkan ketidakmampuanmu mengatasi kegelisahan yang sesungguhnya kau ciptakan sendiri.

Aku rasakan benar tekanan pada pena yang kau tumpukan. Benar-benar gelisah, kacau, tidak stabil. Marahkah? Sayangnya aku buta, tak mampu menerka ekspresi wajah laki-laki mudaku. Gerat-gerat tinta yang kau torehkan, membuatku berpikir kau sedang kesal. Sayangnya lagi, aku tuli. Tidak bisa mendengarmu menggerutu. Tidak mampu juga mendengar batinnya bergemuruh mengutuki kehidupan yang kau jalani. Kau juga mengutuki para penguasa yang tidak lagi mampu transparan dalam menjalankan roda pemerintahan.

“Sial benar hidup menggantung nasib. Tidak pasti.”

“Jancuk… seharusnya aku tidak lahir saja.”

Atau mungkin, “Keparat mereka. laik broker kelas menengah.”

Lalu kembali mengutuk dirimu atas ketidakbecusanmu melakukan sesuatu, setidaknya untuk merubah takdirmu sendiri, kau tidak mampu. Ah, sayangnya aku benar-benar tuli, sehingga hanya bisa menerka-nerka, mencari tahu sendiri. Lewat semilir angin yang membawa uap api, lewat emosi tiap detik, tiap menit, jam kemudian tahun-tahun berganti, dalam tiap paragraf yang berusaha kau rangkaikan.

“Kemarin aku melihat film dokumenter berjudul Green.

Kalimat pertama di paragraf kedua sangat mudah kutebak, tanpa harus menafsiri pucuk pena yang kau tekankan. Kau menuliskannya tepat di tengah dengan huruf balok. Lalu memberi warna merah pada awal kata kalimat tersebut.

Aku mulai tertarik dengan kata ‘Green’. Aku membayangkan sebuah padang rumput hijau di awal musim semi, sebagaimana yang kerap dilukiskan oleh anak-anak di bangku sekolah dasar kala itu.

Mereka sering membuat sket berlatar sebuah padang rumput dengan beberapa pohon berusia senja, sehingga mampu tampil dengan daun-daun lebat, batang besar dan kokoh, akar tunggangnya menyembul, dengan banyak ranting memenuhi tiap sisinya. Cabang-cabang memanjang membentuk formasi melingkar, sehingga dapat menjadi pelindung makhluk-makhluk yang menetap di bawahnya.

Sementara aku tengah membayangkan tergeletak di padang, di bawah pohon itu lalu angin membolak-balik bagian tubuhku yang rapuh, dengan ketukan yang terarah. Berapa berartinya ketika mengimajinasikan segenap peristiwa yang mereka, para manusia itu tuliskan, dapat terekam sampai akhir napas mereka, dalam lembar-lembar lusuhku ini? Aku merasa perlu berbangga diri atas hal itu.

Tapi tidak lama berselang, imajinasiku berubah saat kau mulai menulis lebih banyak, tentang segala yang kau saksikan dalam pemutaran film documenter tersebut. Tentang para binatang yang kehilangan tempat tinggalnya, tentang monyet yang kau sebut berulang-ulang dengan kucuran air mata, dan hutan-hutan yang beralih fungsi menjadi ladang sawit.

Barulah aku sadar bahwa ‘Green’ yang kau maksud dengan tekanan warna merah itu hanyalah imaji kosong yang timggal kenangan. Bahwa atas dasar pemenuhan pangan dan pemanfaatan sumber daya alam, makhluk sejenismu di luar sana telah mencerabut hak-hak makhluk hidup lain. Naasnya ini telah terjadi sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu, bahkan saat ruhmu belum tentu memiliki jasad seperti saat ini.

Di tengah pergumulanmu, tiba-tiba kau mencengkeramku kuat-kuat. Melupakan apa-apa yang telah berhasil kau tuangkan dengan amarah. Kau hampir saja mencabutku dari saudara-saudaraku.

“kenapa aku bisa menikmati tanpa tahu sejarah pembuatanmu yang penuh tragedi?” Tulismu di akhir halaman pertama malam itu. Membuatku semakin tidak paham atas apa yang terjadi.

“Ini hidupku menggantung padamu, hanya kertas buram. Berarti aku telah berkontribusi membunuh habitat mereka.”

Kalimat itu kau pasang pada saudara mudaku, halaman ketiga. Aku mencoba paham, mungkin kau sedang tidak percaya dengan sesuatu. Kau menyebutku pada baris itu menandakan kau tengah mencoba berdamai dengan kemelut sejarah kelahiranku, hingga sampai di tanganmu.

 Kau menulis, tapi aku rasai basah dan saudaraku hampir sobek karena itu. Tapi ini bukan air. Cairan pekat, merah padam, anyir. “Ada banyak tragedi terjadi di masa itu. Banyak darah yang tercerai dari tubuh pemiliknya. Hujan daun, hujan ranting, gempa, dan hujan air mata. Ada tragedi mencekam terjadi kala itu untuk satu kebutuhan yang tak terkira, untuk ia yang katanya manusia.”

Kau berdarah sembari menuliskan ‘banyak darah tercerai dari tubuh pemiliknya’. Aku atau kau yang kejam melukai dirimu sendiri dengan menjadikan aku dan saudara-saudaraku sebagai alas? Nyatanya tidak. Kau ingin aku ingat bahwa kelahiranku penuh tragedi pemusnahan, pohon tumbang dan daun-daun jadi lugur, para binatang jadi janda, yatim, yatim piatu, dan mati tak tersisa. []

Post a Comment

0 Comments