Di Tegur Debur Sehari



Apa yang salah dari debur ombak sepanjang hari? Tidak ada. Tidak ada yang salah, sudah garisnya setiap ombak lalu lalang. Datang pergi, bukan sesuka hati. Dan mereka masih diam menyaksikan kekalutan ombak yang entah membawa kenangan atau impian atau kegelapan masa depan.

“Ini adalah salah satu impianku, duduk memandang segara tanpa sepatah kata pun kita ucapkan.”
Merci…

Mereka kembali diam. Mendengar suara angin ribut di pelepasan senja menuju mega. Memandang laut yang tak kenal tenang. Sembari menyaksikan suami istri meminta sang anak –kutaksir usianya baru menginjak 7 tahun– diminta mengambil gambar kedua orangtuanya.

“Sekarang sudah beda masa. Orang tua pun ingin tampil eksis di media.”
 “Yaa.. ini bukan masamu yang hanya bisa memegang handphone dengan permainan ular yang tak bisa menembus dinding.” Sreno hanya tersenyum kecut.

Masing-masing mata masih memandang ke arah segara lepas. Dengan cerutu di masing-masing mulut yang dihisap perlahan, tapi pasti ia akan segera mangkat dari jemari-jemari itu.

“Ah… tentang segara, aku jadi teringat dengan Segara Alam, putra Hananto Prawiro. Kau ingat, Sre?”
“Tentu, Ruk… bagaimana aku lupa dengan novel yang memberikan sejarah lain di balik perusuhan yang terjadi sejak Soekarno turun tahta?”
“Kita tidak sedang membahas siapa pemegang kemudi segala sejarah, kan?”
“Sudahlah, Ruk… kau bebas diam hari ini, dan aku tidak akan meminta apapun darimu.”

Tentang ombak, siapa yang menyangka mereka merekam segala kejadikan mengerikan yang di alami semesta? Oleh sesamanya, tentang manusia-manusia yang punya banyak rupa dan tingkah.

Ini tentang ombak yang kita lihat selama ini menderu penuh kecaman. Ada orang kencing sampai segara, darah-darah bersahutan reuni di segara, dan ratap tangis meregang di segara. Semua hal menjadi satu di batas segara dengan ombak sebagai replika dari perasaan yang pancaroba. Lalu apa yang salah dari debur yang kian jalang sampai tak kenal pasang dan surut?

Rukmini dan Sreno masih saja canggung sebagaimana awal pertemuan mereka tempo hari. Padahal seandainya mereka masih sempat, hari itu banyak hal yang akan dapat mereka saling utarakan. Tidak sekedar menyoal ombak, termasuk kegelisahan terkait sengketa.

Tanah adat yang sedesa dengan ombak kemudian membuat masyarakat satu dusun enggan hormat kepada ulil amrinya. Tanah-tanah yang diakui milik pihak Perhutani, akan diminta pihak TNI untuk markas dan tempat latihan. Sementara kami tidak punya sertifikat tanah. Aku tidak menyesal menyebut kami, meski Sreno dan Rukmini enggan mengerti alur, latar dan sebab sengketa terjadi.

Mereka berdua malah melamun. Mengarang cerita dalam imaji masing-masing. Tidak ada satu kata, dehempun sama sekali. Batin yang penuh kemelut hanya dirasai sendiri, tanpa sudi berbagi.


“Dummmb.. Byuuur… Duuumb… Byuur…” Lamunan itu berhenti. Mereka basah oleh teguran ombak. Ia tidak izinkan dua orang itu berkecamuk sendiri-sendiri. []

Post a Comment

0 Comments