Kita Hanya Sekedar Sapa, dan Aku Sangsi


Kisah ini akan aku mulai dengan sajak perdu. Dimana angin akan menghela napas panjang, dan membuatku percaya bahwa semua akan ada dan baik-baik saja. Kala itu musim hujan masih enggan meninggalkan sang tanah gersang. Meski telah beberapa bulan singgah, hanya nampak perdu-perdu dingin dengan daun kuning dan ranting-ranting kurus kering.
Sementara di atas langit yang nampak hanya gulungan mendung kelabu. Aku, bertemankan selimut tipis, dan juga bantal yang kapuknya telah dibawa lari oleh semut rang-rang -mungkin- masih setia menatap langit yang lelah itu dengan kelelahanku.

Aku membelai malam dengan kecintaanku padanya. Membelai tiap embun yang tanpa terasa mulai menggerayangi tubuhku. Kunikmati gumpalan mendung hitam itu dengan rakus. Karena menikmatinya sendiri, adalah cara terbaik untuk menandai kebebesanku memiliki sesuatu. Aku tak menceritakannya kepada siapapun. Bahkan kepada mendung yang malu-malu merayap meninggalkanku. Namun mendung-mendung itulah yang nantinya akan turut ambil bagian dalam melenyapkan asaku hari demi hari.
___
Bersambung

Kita Hanya Sekedar Sapa, dan Aku Sangsi_2

Saat itu kita bertemu dalam keadaan yang tidak saling baik. Kau tengah sibuk mengurus keberpihakanmu pada alam, yang tak pernah kau temukan hakikatnya. Sementara aku hanya meringis, sambil menari dan menyanyikan lagu-lagu dengan langgam klasik, yang -mungkin- tak kau ketahui pula maknanya.
Namun kali lain, kita kembali dipertemukan dalam kesenjangan yang nyata, meski pada akhirnya kau mendatangiku. Kemudian kita berjanji untuk bertemu dalam satu waktu di tempat yang paling strategis di kota kecil ini.
"Duduklah, hari ini adalah kali pertama aku mengundang seorang perempuan untuk makan bersama." katanya.
Aku hanya tersenyum sembari mendudukkan pantatku dengan benar, karena aku tak ingin membuatnya gusar. Sementara aku mengusiknya dengan perubahan posisi duduk yang tidak terlalu nyaman. Kemudian ia memesankanku secangkir kopi seperti yang kupinta, dan sepiring nasi goreng tanpa sayur -karena aku, sama sekali tak menyukainya, dalam bentuk apapun-.
"Kau yakin makanan yang kau pesan itu benar-benar bebas dari sesuatu yang tak kau harapkan?"
"Bukankah tempat ini ramai?", tanyaku padanya
"Tentu, lalu?"
"Aku hanya mengambil konklusi dari keramaian ini, bahwa berarti tempat ini memiliki banyak pelanggan. Tentu mereka semua lebih yakin akan apa yang mereka pesan."
Kau tersenyum dan memintaku memakan apa yang baru saja dihidangkan seorang pelayan muda di hadapan kita.
Kita baru saja bertatap tiga kali. Dengan sudut suasana yang sangat jauh berbeda. Yakni dengan kesederhanaan dan penanggalanmu atas apa yang kau gali, dan dengan keluguanku atas setiap pertanyaan dan pernyataan yang kau lontarkan. Namun yang lebih penting dari itu semua adalah, bahwa dalam setiap sesi pertemuan itu, aku merasa ada sesuatu yang kau susupkan dalam pikiranku -setidaknya itu yang bisa kurasakan- meski aku sama sekali tidak mengerti akan hal itu.
___
Bersambung




Post a Comment

0 Comments