Pesan Untuk Ayah










Kala itu aku masih begitu kecil dan ringkih saat kau menggendongku dengan penuh kasih. Setiap sore, setelah ibu memandikanku, kau ajak aku meniti jalan yang tersinari mentari senja. Dengan lantunan dzikir dan shalawat yang tulus keluar dari lisanmu, dan dengan kecupan di dahiku, aku dapat merasakan kedamaian di dunia ini. Bahkan aku sering terlelap di pangkuanmu. Terasa begitu nyaman kurasakan belai saat itu.

Saat usiaku menginjak lima tahun, kau ajarkanku mengaji, sholat, dan membawaku ke taman belajar sehingga aku dapat merasakan kegembiraan bersama kawan baru. Di rumah sederhana yang kau buatkan untuk aku, ibu, kau, dan ketiga kakakku ini, kita dapat berkumpul bersama. Tak ada hari tanpa suaramu di rumah ini. Kau tak pernah meninggalkan kami barang sehari pun. Tak ada kata lapar dan haus dalam kamus keluarga ini karenamu. Kau selalu berusaha, dan bekerja keras untuk menafkahi keluarga ini. Kau adalah orang yang keras, berpendirian teguh, tak mau dibantah dan bertanggung jawab. Aku dan kakak-kakaku dapat hidup dengan layak, tanpa kurang suatu apapun, jelas itu pula karenamu.


Dulu, aku sering merengek meminta semua hal yang aku ingini saat itu juga, dan kau memberikannya. Dulu, saat aku menangis karena kakak-kakakku, kau menenangkanku. Dulu, aku sering meminta makanan yang mahal, dan kau membawakannya untukku. Meskipun kau sendiri tak menikmati makanan itu. Dulu, harus selalu ada minuman bersoda untukku, dan kau memberikannya hanya karena tak ingin melihatku menangis. Dan dulu, aku harus selalu ikut saat kau pergi, meskipun sebenarnya kau tak ingin aku mengikutimu.

Ketika usiaku beranjak remaja, atau saat aku mulai memilih sekolah menengah pertama mana yang harus kutuju, kau mencoba menuntunku. Kau ingin aku bersekolah di tempat yang kau pilih. Namun dengan lantang aku menolaknya. Penolakan pertama yang ku lakukan padamu, mungkin kala itu membuatmu terluka. Dan pada akhirnya aku mengikuti pilihanmu, meskipun dengan hati yang berat.

Semenjak itu, aku begitu sering berdebat denganmu. Serasa tak ada kata sehati dan sepemikiran antara aku dan kau. Meskipun aku sadar bahwa yang kulakukan adalah tiada benar. Dan aku sadar bahwa aku telah dengan seringnya melukaimu. Namun kesalahan demi kesalahan terus saja kuperbuat, seakan-akan aku merasa lebih benar daripadamu. Dan hal itu tentu membuatmu makin terluka.

Ketika aku kau izinkan untuk pergi dari rumah dan tinggal di kos (saat sekolah menengah atas), dengan alasan agar aku lebih dekat saat bersekolah, kau pun tak lupa memberiku amanah. Kau berikan nasihat demi nasihat kepadaku tanpa lelah. Kau selalu mengingatkanku untuk berhati-hati, menjaga diri, dan fokus pada sekolahku. Namun betapa jahatnya aku karena mengabaikan itu. Aku sering meninggalkan sekolah untuk organisasi semata. Aku sering membohongimu, karena ingin keluar bersama teman-temanku, aku sering tidak mengangkat telfonmu, hanya karena tidak ingin diganggu. Dan aku sangat sadar, bahwa kau pasti sangat marah padaku. Namun kau memendamnya. Kau tak pernah memarahiku.

Setiap sabtu dalam kurun waktu tiga tahun lamanya, kau selalu menjemputku untuk pulang, lalu mengantarkanku kembali ke kos. Dan kau tak pernah mengeluhkan hal itu padaku. Kau menyimpan sendiri lelahmu di depanku. Kau tak ingin membuatku memikirkan dirimu. Padahal sejatinya aku tahu, kau begitu lelah. Namun kau dengan sigap selalu ada untukku.

Abah, aku hanya mampu mengingat ini. Sebenarnya bukan hanya ini, namun aku tak mampu mengungkapkan semua yang kurasakan. Aku hanya mampu menuliskan pesan untukmu. Aku begitu gengsi ketika harus berbicara langsung denganmu. Aku malu mengungkapkan bahwa aku bangga memiliki ayah sehebat kau. Aku begitu bangga menjadi anakmu. Aku hanya mampu menuliskan pesan padamu, abah. Janganlah engkau meniadakanku dalam setiap do'amu. Janganlah engkau berhenti menasihatiku dan mengingatkanku. Dan abah, aku bahagia dapat lahir dan tinggal dalam keluarga ini. Aku menyayangimu, abah.

Dari anak terakhir_Rizka
TA, 29/05/2015, 17:05

Post a Comment

0 Comments