Kuburan - Cerpen Alfin Saifudin

 

"Tegakkan kepala!" batinku membentak aku. "Dimana kau simpan aku?" batinku melanjutkan.

"Cepat keluarkan aku!" aku hanya diam. "Tak kuat aku berada dalam nyawamu."

 

Aku ingin bilang, "siapa suruh jadi bagian hidupku?" Namun, ia terlanjur lari dan pergi setelah mencuri kunci dari pintu jantung dan pagar dadaku.

 

Wajar ia mudah mengambil kunci-kunci inti dari bagian tubuhku. Sebab cantelan kunci itu aku paku, ketika aku tau semua barang berantakan dalam kamar tidurku, waktu kecil.

 

Cantelan itu ku paku dengan sembarang, sehingga anak balita yang fresh pun dapat meraih dan membawanya dengan mbrangkang khas seperti manusia yang tak punya dosa.

 

Waktu kecil, aku selalu menangis ketika ada sedikit getaran dalam dadaku. Sedikit benturan kecil dalam hati. Seperti yang dilakukan ibuku waktu dulu.

 

Aku ingat ketika aku menginjak jenjang taman kanak-kanak, aku bersemangat pergi ke sekolah, dengan jalan kaki.

 

"Oeee, sepatumu belum kau pakai, Nak." teriak ibu yang lari mengejar aku

"sini, ibu ajari pakai sepatu".

 

Pikirku, kenapa aku harus pakai benda itu? Toh kata kakek, "manusia itu dari tanah."

 

Ya aku suka dengan tanah, ia adalah aku, sebab aku terbuat dari tanah. Maka ketika kakiku nyeker, lebih nikmat. Sebab kakiku pun bertemu dengan tanah, yang tak lain adalah aku. Karena aku tanah.

 

"Kenapa diam saja, Peno? Kembali sini. Ibu pakaikan sepatu yang baru ini di kakimu," aku masih diam ketika ibu lantas menyusulku dengan berlari.

 

"Dasar anak tolol. Udah TK masih bego aja!"

 

Kuburan - Pngtree

Kau tau para pembaca? Ketika kalimat itu meluncur bersama ludah dan sisa cabai dari mulut ibuku yang belum gosok gigi, dadaku mendadak lepas, tercecer organ-organ di dalamnya.

 

Kulihat jantungku berdetak di atas tanah pinggir tempat sampah rumah kami, ginjalku meloncat ke pinggir jalan, dan hati juga limpaku hampir diinjak ibu.

 

Mata satu dusun berduyun menjadi busur dengan anak panah yang telah diasah oleh penempa besi desa kami.

"hati-hati, Bu, dadanya lepas tuh," seru ibu-ibu yang pulang membawa sayur dan susu, di kantong kresek sehabis dari pasar.

"Iya, Bu, cepat diambil dan dikunci organ-organ itu, dadanya," kata penjual sayur keliling kampungku.

"Coba belikan gembok dan kunci hati di pasar Ngemplak," kata ibu-ibu yang beli sayur di pedagang sayur.

"Kasian anak kecil itu," batin ibu-ibu lain yang mencoba melihat kejadian dari balik pagar rumahnya.

 

Hari pertamaku gagal. Tanganku tak sampai pada harapku. Ekspektasiku tak tercapai. Impianku pupus di pinggir jalan akibat sepatu, atau petuah kakekku yang kupegang dan amalkan.

 

Gelap, mataku hanya melihat gelap dan penyesalan tak berdasar. Ketiadaan menjadi ada, tak seperti teori Sartre yang terkenal itu, "eksistensi mendahului esensi".

 

Aku terkapar setelah beberapa detik melihat organku mencelat dari dadaku, hanya biru langit, dan awan-awan putih menghalau sinar terik matahari pagi, yang tergambar sebelum mataku tiba-tiba melihat gelap"

 

"Peno, ini kunci dan gembok hati yang ibu beli dari pasar. Tenang, kita terbiasa tak makan to. Tadi ibu beli dengan uang makan kita hari ini," kudengar lirih suara ibuku, mata masih merem, hanya gelap yang dapat kulihat, lalu dengan tiba-tiba aku ditarik dari tidurku, warna gelap menjadi putih, putih menjadi merah, merah berubah biru, biru jadi kuning, badan terhimpit warna-warna.

 

Terjepit, seperti tanganku di pojok pintu tertutup. Kepalaku tertindih warna seberat gajah, kutahan. Kutahan, aku kuat. Aku harus kuat agar besok tak terulang seperti pagi tadi. Warna memudar. Mataku perih. Silau cahaya di titik atas, putih, mengaburkan pandangan mataku dengan warna-warna lain.

 

"Kau tiba juga ahirnya, Peno." Aku diam, suara itu lantang namun berat.

"Buka matamu, Peno. Kau sampai pada titik tengah-tengah dari kemanusiaanmu."

 

Aku masih diam.

 

"Peno, kau punya mata, bukalah kelopaknya." Aku masih diam, aku takut sudah mati.

"Penooo, kau masih hidup, tolol." Aku kaget, ia tahu isi hatiku.

"Iya, aku tahu isi hatimu, Aku berada dalam isi hatimu, tolol.”

 

Loh, ia berada dalam isi hatiku? Aku juga berada dalam isi hatiku sendiri.

 

"Cukup, tak usah kau buka mata. Toh matamu juga ada di badan lahirmu, sekarang kau berada dalam badan halusmu. Jadi, tak mungkin pula kau dapat melihatku."

 

Di sini yang tolol aku atau kau sih? Suruh buka mata, lalu kau suruh diam saja akhirnya.

 

"Aku kan juga kau juga, Peno. Kita di tubuh sama, tapi beda entitas. Sudah, sekarang kenalkan aku. Namaku batin, aku sekarang berada dalam tubuhmu. Saat dadamu mbrodol, aku terlahir seperti batin-batin di anak yang lain."

 

Aku terbangun di dunia nyata. Di atas ranjang bambu tanpa kasur. Badanku seperti biasa, pegal dan linu.

 

"Aku telah terbangun," kata batinku.

"Kau terbangun, sebab aku bangun," kataku.

"Tidak, Peno. Aku tetap bangun saat kau tidur, aku tetap bangun bahkan saat kau telah mati."

 

Aku ingat ketika batin membawa gembok dan kunci dari ibuku, "kau telah besar sekarang, Peno. Umurmu telah berada di ambang batas remaja dan dewasa. Sekarang waktu yang tepat, untuk memberikan titipan almarhum ibumu padaku, waktu dadamu ambrol kala itu."

 

Ia berikan kepadaku, entah dengan apa. Sebab yang kutahu, ia buntung. Tak punya badan, apalagi sekadar tangan untuk menyerahkan itu.

 

"Pesanku, gemboklah dadamu, agar tak ambrol lagi. Sebab, aku telah tua dan renta, juga lupa untuk menjagamu, seperti saat masa kanak-kanakmu. Taruhlah kunci itu, di dalam tempat rahasia, yang bahkan aku tak boleh tahu."

 

Sebelum ia lanjutkan kalimatnya, "ehh, caranya gimana batinku…, kau kan juga tahu seluk beluk dunia di dalam dadaku?"

 

Ia tak berucap, sebab ia telah tua dan gampang sekali tidur tanpa permisi. Tinggal suara ngorok dan sesekali keluar suara seperti babi, dari mulutnya yang menganga.

 

Aku tak ambil pikir, kau taruh saja sembarangan kunci dadaku. Toh aku juga takkan berpikir, mengapa harus kusimpan dengan rahasia kunci dada itu. Gembok itu kan wasiat dari ibuku, dan ia telah tiada.

 

Begitulah awal aku punya batin. Hingga saat ini, ia yang pergi, tak tau pergi kemana. Aku tak peduli secuil pun dengannya. Aku Peno, sudah tua menyatu dengan tanah, seperti kata kakekku.

 

"Aku sendiri." Ucapku tanpa batin.[]


Alfin Saifudin - Mahasiswa UIN SATU Tulungagung
Aktif sebagai penyair di Sastra Jendra. Bisa disapa via
IG: @alfin_ne


Post a Comment

0 Comments