Puisi-puisi Yanuar A. Setiadi

 Di Kota Purwokerto

 

Di jalanan Kota Purwokerto aku termenung

Ingin rasanya aku menempuh sepanjang jalan kenang yang telah murung

 

Kau seolah singgah kembali dalam hikayat  

Oh, betapa remuknya duniaku bagaikan tertimpa kiamat

Terpaan silih berganti menggoncang hati yang masih labil

Alhasil hatiku mulai goyah dan tak stabil

 

Pusat kota riuh dalam percakapan yang tak usai

Utara selatan timur barat saling berselisih tak kunjung lerai

Rasa ini siapa yang mencipta dan menjaga

Walhasil kita terjerat dalam selubung dilema

Oh, apakah ini yang dinamakan karma?

Kemana kita akan melangkah selanjutnya?

Elegi atau romansa yang kita cerna

Raga dan hati diam seribu bahasa

Tetapi, rasa berbicara dalam bahasa kita

Oh, inikah yang dinamakan cinta?

 

(2022)

Pixabay

Perihal Cinta

 

Apakah cinta tersedia di

swalayan dan pasar tradisional terdekat?

 

Jika produksi cinta sedang tak stabil,

apakah harganya akan menjulang tinggi?

 

Apakah masyarakat kecil akan

mendapat cinta yang bersubsidi

dari pemerintah? 

 

Berapa kali masyarakat menengah

ke bawah menyantap cinta dalam sehari

semalam?

 

Apakah cinta dapat mengobati

kaum yang terpapar rindu?

 

Adakah yang lebih khidmat

dan tulus dari cinta seorang ibu?

 

Di planet mana lagi cinta bersemayam?

 

Bisakah kau bertahan hidup

tanpa mengonsumsi cinta?

 

(2022)

 

Di Pagi yang Dini

 

Sinar sinar cinta menuntunmu

di pagi yang dini agar kau tak kesasar

di rimba belukar.

 

Meski pagi terkadang berkabut, hatimu tak saling bertaut

berpacu dalam ragu dan kalut, hingga mengundang maut

namun mentalmu enggan menciut.

 

Jalanan masih basah, menerka validasi hubungan yang tak kunjung

absah. Semua pasangan mendambakan sah, walau terkadang

itu hanya sekadar mimpi yang sirna musnah.

 

Sebagian embun mengering di dedaunan, sebagian

lagi luruh sebagai kenangan.

 

Aku masih mencoba mencerna pagi

saat kau yang aku sayangi tiba-tiba

pamit pergi.

 

(2022)

 

 

Sebelum Sekolah

 

Sebelum berangkat sekolah,

Ibu memasak doa-doanya di

dapur, menanaknya hingga matang.

Setelah itu, dihidangkan di meja makan.

Disantap keluarga kecilnya agar kuat

menjalani hari yang kian edan.

 

Ibu juga menyisakannya di rantang-rantang kecil

untuk bekal putra-putrinya selama di sekolah dan

suaminya yang bekerja di kantor.

 

Doa ibu memperlancar daya ingat anak dalam menimba ilmu

Doa ibu dapat membuka pintu-pintu rezeki keluarga

 

Lantas dapatkah doa ibu bekerja

pada  anak yang durhaka?

 

(2022)

 

 

Anak Sunyi dan Pujangga

 

Malam telah melahirkan anak sunyi

Matanya berlinang jernih serupa air hujan

Rambutnya menjulur mencakar bumi dan

meresap tangis-tangis yang rinai di bumi

Tangisnya menggema dalam bahasa sepi.

 

Setelah beranjak dewasa, sunyi sering bermain

ke rumah seorang pujangga yang sedang

termenung di teras rumahnya pasca hujan reda.

“Hei Sunyi, dapatkah kau memberiku sedikit kedamaian?” pinta Pujangga

“Hai Pujangga, dapatkah kau menulis sebait puisi?” balas Sunyi.

 

Tak lama berselang hujan puisipun rintik

Kata-kata berdenting di atas genting

Melahirkan bunyi-bunyi yang mendamaikan

Sang Pujangga.

 

(2022)

 

 

Tata Cara Menjadi Pujangga

 

Pertama, mengonsumsi puisi

minimal tiga kali dalam sehari.

 

Kedua, berolahrasa secara teratur.

 

Ketiga, rajin mengonsumsi buku-buku

yang bernutrisi.

 

Keempat, jika tak kunjung mempan,

hubungi pujangga terdekat.

 

(2022)

 

 

 

Cita-Cita

 

Di zaman yang semakin runyam,

cita-cita makin bervariasi.

 

Ada anak yang bercita-cita menjadi bulan,

ia ingin menerangi muda-mudi yang kasmaran

 

Ada anak yang bercita-cita menjadi ayam,

ia ingin berkokok membangunkan muda-mudi yang lalai

menunaikan ibadah.

 

Ada anak yang bercita-cita menjadi kopi,

Ia ingin setiap pagi diseduh dengan hangat air mata

cinta.

 

Ada anak yang bercita-cita menjadi jumat,

ia ingin diapeli para pemuda yang saleh dan

rajin salat.

 

Ada anak yang banyak bercita-cita dan banyak bicara,

lantas mau jadi apa mereka?

 

(2022)


PENULIS

Yanuar Abdillah Setiadi. Purbalingga, 2001.
Santri di Pondok Pesantren Modern El-Furqon Purwokerto..
Bisa disapa via IG: @yanuarabdillahsetiadi, FB: Yanuar Abidillah Setiadi.


Post a Comment

1 Comments