Kanthi

 

Dua pil.

Nyeri di bawah perutnya belum reda. Seperti bulan-bulan yang lalu, ia membayangkan lapisan kerak di dinding-dinding merah itu sedikit demi sedikit mengelupas. Menyisakan rasa sakit yang luar biasa. Baru setelah itu gumpalan-gumpalan kecil dan tanggung bakal bisa jatuh. Sebentar lagi, aku tahan sebentar lagi.” Tukasnya pada diri sendiri.

 

Kali ini, sebelum ia sempat memelintir area perutnya, membayangkan bagaimana lapis-lapis dan gumpalan darah hitam pekat yang bau anyirnya menyengat itu luruh, ia lebih dulu tak sadarkan diri. Lagi-lagi ia pingsan sebelum sampai di pintu kamar mandi. Tubuhnya menggeliat beberapa bentar, merengek, meringkuk dan jatuh pasi.

 

Malam itu tetangga belakang rumah membopongnya ke ruang tamu, setelah menemukannya di pelataran kamar mandi, berjarak 50 meter dari pintu belakang rumah. Malam yang lebih terbiasa hening dan sepi, jadi riuh ramai sebab darah menguar memenuhi lantai ubin yang dingin, segera kering. Tapi bau itu masih amis, “amis sekali ini.” kata mereka.

 

Si ibu masih berdiri mematung di depan tubuh anaknya yang pucat. Ia belum beranjak, bahkan untuk sekadar mengusap ubun-ubun si gadis. Selang beberapa menit, ia baru bergerak, tapi lebih dulu mengambil kain pel dan timba kecil berisi air, mengusir bau anyir yang menguar dan mengganggu hidung para tetangga.

 

“Dia mau sampai kapan seperti ini, Yu?”

 

“Tidak tau, Lek.”

 

“Kasian, periksakan ke dokter.” Saran serupa, kesekian kali.

 

“Pil yang kamu kasih ke dia nanti tambah lagi tambah lagi dosisnya, Yu.”

 

“Cuma itu yang bisa dilakukan.”

 

IDN Times

Si ibu masih ketus menanggapi saran yang selalu disiapkan oleh tetangga dekatnya. Tapi tidak ada satu saran pun yang diterima atau lambat laun bakal dilakukannya. Ia hanya percaya pada pil pereda nyeri haid yang turun temurun dikonsumsi oleh dirinya sendiri dan sebelumnya oleh ibu mertuanya. Sebab lain, ia tak ingin percaya pada dokter atau obat-obat yang diresepkan untuk anaknya.

 

“Kanthi, anakku. Tanggung jawabku dan aku tau yang harus kulakukan!”

 

“Tak ada salahnya ke dokter, cuma periksa. Kau tak akan kehilangannya.”

 

“Kalau Kanthi diapa-apakan bagaimana? Kalau dia harus operasi bagaimana?”

 

“Kau itu terlalu takut. Dokter tau yang terbaik buat semua pasiennya toh.”

 

Perasaan takut itu memang menggelayut dan membuat si ibu kehilangan minat, sekadar mengelus anak gadisnya.

 

Pada akhirnya, semasa hidup Kanthi, gadis 16 itu tidak bisa lagi menumpahkan kesakitannya di depan si ibu. Rasa sakit itu ditelannya sendiri di kamar tidurnya yang lebih mirip kandang ayam, sebab bercampur karung-karung dedak, sentrat ayam, dan beberapa kilo berisi sekam. Kanthi harus sedia di situ sampai darah yang keluar dari vaginanya benar-benar berhenti, tuntas.

Post a Comment

0 Comments