Belajar Bersyukur

  

Pagi masih menyisakan sinar lilin. Semalam listrik kampung kami padam. Di rumah cuma ada sebatang lilin yang membantu kami menyelesaikan pekerjaan rumah. Sampai kami sama-sama tak sadarkan diri, lampu belum juga bisa nyala. Dan tiba-tiba sudah pagi saja. Emak membangunkan aku dan Zein yang ternyata ikut ketiduran di rumahku.

 

“Hayooo, le… bangun. Waktunya sekolah. Zein juga ayo lekas bangun, tadi malam emakmu ke sini tapi tidak tega membangunkanmu. Makanya dibiarkan kamu tidur di sini sama Ragil.” Kata emak sambil sibuk menyiapkan sarapan pagi.

 

Kehidupanku dan Zein biasa saja. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang tidak begitu berkecukupan. Bedanya, Zein anak tunggal dan aku bungsu dari 3 bersaudara. Sejak kecil kami sudah terbiasa hidup dengan sesuatu yang serba sederhana, dari sandang, papan, sampai pangan.

 

Tapi satu hal yang membuat kami selalu merasa istimewa, yakni keluarga yang harmonis dan nyaris tak pernah ada kata seteru di dalamnya. Bapak dan emak, juga kedua orangtua Zein selalu mengajarkan kami bersikap qonaah, alias merasa cukup dengan apa yang sedang dimiliki. Mereka memberi kami pemahaman bahwa Tuhan selalu memberikan sesuatu sesuai dengan yang hambaNya butuhkan, tidak berlebihan dan juga tidak pernah dikurangi.

 

Emak juga selu bilang, kalau dalam hati kami berdua ada sesuatu yang mengganjal, atau merasa tidak terima dengan apa-apa yang dimiliki oleh orang lain, berarti kita sedang didekati oleh nafsu. Kalau kami iri dengan orang lain, tandanya kami kurang mensyukuri nikmat Tuhan.

 

Pngtree

“Orang itu kalau di hatinya sudah ada rasa iri dengan kepunyaan orang lain, tandanya dia ndak bersyukur, ngger.”

contohnya apa, Mak?” tanyaku polos saat itu.

“Ya, misalkan anak lain pergi ke sekolah pake sepedah baru, lha kamu cuma jalan kaki terus sama Zein. Terus kamu iri sama temenmu yang pake sepeda baru itu.”

“Berarti itu tandanya aku ndak bersyukur sama pemberian Tuhan mak?”

“Kalau rasa iri itu ada, Gil, yaa berarti kamu ndak bersyukur, lawong meskipun kamu ndak pakai sepedah, tapi Tuhan kasih kamu kaki yang kuat kok.” Kata emak sambil memijat kedua kakiku.

 

Aku jadi ingat ketika aku dan Zein berangkat sekolah pagi itu. Seperti biasa kami berdua jalan kaki sambil guyonan. Tiba-tiba di tengah jalan hujan turun, dan kami sama-sama tidak bawa payung. Akhirnya kami menepi dan berteduh di bawah pohon. Zein bajunya sudah sedikit basah dna kalau kami balik pulang, kami akan terlambat ke sekolah.

 

“Zein gimana ini, kita juga ndak punya payung lo…”

“Udah ndak apa-apa, eh sebentar… itu ada daun pisang.” Kata Zein sambil menunjuk ke arah kebun pisang pak Somad. Dengan lantang Zein berteriak, karena pak Somad juga kebetulan sedang berteduh di bawah daun-daun pisang di kebunnya.

“Pak… aku minta satu daun yaa, mau ke sekolah nanti telat.”

 

Dengan sigap pak Somad memotong dua daun pisang miliknya dan berlari menuju pohon tempat kami berteduh.

 

“Nih, satu kalian. Sobek sedikit ndak apa-apa ya. Hati-hati kalau ke sekolah.”

“Alhamdulillah, terimakasih pak. Yes, ndak bakal telat nih kita.” Kata Zein bersemangat.

 

Akhirnya kami bisa melanjutkan perjalanan ke sekolah yang jaraknya masih satu kilometer lagi. Dengan berbekal daun pisang sebagai payung kami menembus hujan. Dari situ kami ingat kata-kata emak, bahwa apapun yang kami dapatkan adalah pemberian Tuhan yang patut disyukuri.

 

Dengan selalu merasa cukup dan bersyukur, hidup kami bakal selalu diliputi kebahagiaan. Dan itulah hal terbaik yang mampu kami tuai, dari buah kesyukuran kami atas nikmat yang diberikan-Nya. []

Post a Comment

0 Comments