Tak Rela Tunduk

 

Bau solar. Ia tak pernah suka mencium bau itu. 35 menit lagi bisa dipastikan semua isi perutnya akan keluar. Ia sendiri paham kebutuhannya, beberapa kantong plastik warna gelap, kadang hitam berukuran tanggung dan minyak angin.

 

Tidak ada yang bisa memaksanya terbiasa atau berpikir untuk menyukai solar atau mensugesti diri dengan pikiran positif lain. Sebab beberapa hari sebelum perjalanannya dimulai, ia telah mengalami kemuakan itu.

 

Tujuannya kali ini adalah Flores, tempat yang ia idam-idamkan bisa kunjungi sejak lama. Sejak percakapan tanpa dasar beberapa tahun lalu, ia menjadi punya ambisi baru. Moksa di sana, mungkin. Dalam kesepian dan kesendiriannya yang hakiki, tanpa sesiapa.

 

“Ada satu daerah di sana yang bisa kau kunjungi. Kelak, kau akan damai di sana.” Kata seorang perempuan sepuh di sebelahnya yang datang tanpa permisi dan tiba-tiba sudah menyeruput kopi di samping kursi yang ia duduki.

 

“Maaf?”

 

“Di sana, apa yang kau butuhkan bisa terlaksana. Simpan amunisimu untuk kau tuliskan segalanya di sana.”

 

***

Tapi bagaimana menumpahkan kekesalah demi kekesalan, selain dengan berteriak sekencang-kencangnya di ujung bukit? Sebab diam membuat semakin dongkol dan aku tidak setuju dengan segala yang dilakukan oleh dua sepuh di depanku. Bahkan apa-apa yang dilakukan oleh dua kakak sebelumku. Aku tidak suka hidupku di sini.

 

Apa yang mereka kejar? Apa yang aku kejar? Gelar? Eksistensi? Atau hal lain yang mereka dan aku sama-sama tak paham? Rasa-rasanya sudah tidak ada yang membuatku bertahan di sini, selain bakti. Pun aku tak pernah bisa berbakti. Buat apa aku bertahan?

 

Aku selalu ingin pergi saja, kemana pun itu asal tidak lagi di tempat yang mengundang kalut ini. Aku ingin pergi tapi bukan seperti Amba yang harus menyembunyikan Srikandi Eilers dalam tubuhnya.

 

Ronald Cuyan - Unsplash.com

Aku ingin pergi seperti ia yang dengan keyakinan penuh, memilih lari dari semua tanggung jawab yang dibebankan dari semua orang tua kepada anak-anaknya. Bukan sebagai sulung, tentu. Akan tetapi seperti bungsu yang tidak tahu diri.

 

Aku, mungkin sama seperti bungsu-bungsu lain di luar sana, yang tidak mengerti kenapa begitu muak dengan keluarganya sendiri. Memang, aku tidak merasa muak dengan dua sepuhku, tapi aku muak dengan apa-apa yang kujalani dengan mereka.

 

Aku muak dengan diriku sendiri, mungkin. Dengan sebab yang entah, dengan alasan-alasan yang tidak pasti.

 

Dan terlepas dari itu semua, sudah terlampau banyak drama yang aku saksikan di sini. Hanya hidup karena mesti ada timbal balik, bukan karena ketulusan dan bakti.

 

Ah, baiklah, lupakan saja. Aku akan segera menyusun apa-apa yang mesti kususun. Bukanlah lari juga bagian dari pilihan hidup yang bisa dipilih dan aku punya hak untuk mengambil pilihan itu?

 

Bukankah aku punya hak untuk memerdekakan tubuhku?

 

***

Perempuan sepuh itu meninggalkannya sendirian. Tak menoleh atau memberi tanggapan apa pun. Membuatnya bertanya-tanya, darimana sepuh itu tahu ia ingin ke Flores dan ia punya sesuatu yang ingin ia lakukan di sana.

 

Amunisi. Ia memang membutuhkan banyak amunisi agar keinginannya bisa segera terpenuhi. Agar ia bisa mencapai tempat itu, dan segera melupa pada rumah dan segala kenangan yang entah ingin ia hapus atau ingat-ingat sepanjang usianya.

 

Ia hanya yakin akan segera menenggelamkan jarak dan menghadapi kekalahannya dengan sembunyi. Sebab tinggal artinya sama dengan tunduk. Sementara ia tak ingin menundukkan tubuhnya pada ruang kedua sepuhnya. Ia tak rela tunduk.

 

Beberapa jam lagi ia akan sampai pada sesuatu yang membuatnya rela meniadakan tubuhnya. Pada kesepian yang cukup, dan kehidupan yang mamang. Pada gelap demi gelap yang menjelmakan segala cinta dalam bentuk yang tak pernah ia temui sebelumnya. []

Post a Comment

0 Comments