Aku Menolak, Tapi Sampai Di Sini Suaraku

 

Sejak 5 Oktober demonstrasi telah terjadi di beberapa wilayah. Aku mendengar jelas gemuruhnya. Marah di dadamu dan geram melihat orang-orang yang menduduki kursi wakil rakyat itu, bebas berlelaku semaunya.

 

Belum selesai badai pandemi mengubah tata hidup kita, membunuh beribu-ribu nyawa, dan masih mengancam hajat kita, mereka sudah buru-buru membentuk tim pemulus jalannya pengesahan RUU Cilaka. Pertanyaannya, buat apa?

 

Aku ingat seorang Najwa memberi tanggapan yang harusnya menjadi pertimbangan para dewan, bahwa apa-apa yang diputuskan di masa krisis menunjukkan skala prioritas pemerintah.

 

Dilihat dari situ saja, aku bisa menilai bahwa skala prioritas pemerintah memang bukan keselamatan rakyat, bukan pada penanganan pandemi Covid-19, tapi kepentingan yang lain.

 

Kalau penilaian itu salah, kenapa di tengah kasus Covid-19 yang makin tinggi, di mana pemuka agama sampai tokoh publik pada menolak Pilkada, menolak rapat paripurna digelar dadakan kayak tahu bulat, pemerintah justru tutup kuping dan pura-pura buta?

 

Oh satu lagi, kenapa mereka sampai hati membiarkan masyarakat memilih jalur demo untuk mengutarakan ketidaksetujuannya? Padahal sangat besar kemungkinan muncul klaster baru akibat demonstrasi yang tidak (mungkin) memenuhi protokol kesehatan.

 

Di beberapa media mainstream yang kubaca, pihak Dewan Perwakilan Penghianat Rakyat (DPR) mengaku telah secara transparan dalam proses perumusan RUU Cilaka itu, sudah melibatkan pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk perwakilan buruh de-ka-ka. Benarkah?

 

Jika memang transparan, kenapa publik tidak mengetahuinya secara detail? Siapa perwakilan buruh yang dilibatkan itu? Benarkah aspirasi-aspirasi yang katanya ditampung itu dijadikan bahan evaluasi dan perbaikan dalam RUU Cilaka? Siapa yang bisa menjamin?

 

Beberapa waktu pasca disahkannya RUU Cilaka menjadi Undang-undang, di beranda twitter ramai buzzer Rp, yang menyatakan dukungan ke DPR dan secara sengit berkomentar, bahwa para penolak Omnibus Law sesungguhnya tidak membaca draft-nya secara menyeluruh.

Konfrontasi

Oke, aku tidak tahu di luar sana. Tapi aku pribadi (dan aku yakin banyak pihak dan akademisi) telah membacanya, 1028 halaman. Setidaknya versi itu yang bisa kudapatkan secara cuma-cuma dari rekanan yang sampai hari ini masih terus mencari versi finalnya.

 

Apa setelah membaca seluruh isinya, lantas aku bisa sepakat agar RUU Cilaka itu disahkan? Nyatanya tidak. Aku justru menemukan makin banyak pasal-pasal yang mempersulit masyarakat. Misalnya, soal pondok pesantren yang harus punya ijin dari pemerintah pusat dan harus berbadan hukum. Bagaimana dengan pesantren-pesantren di pelosok? Bukankah sampai sekarang untuk mendapatkan ijin saja dipersulit? Eh.

 

Selain itu, kenyatan terberatnya adalah rancangan ini belum mengarusutamakan gender, menurutku. Bagaimana dengan saudara-saudara disabilitas? Sama. Rancangan yang ciloko dunyo ini tidak mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan teman-teman difabel.

 

Beberapa undang-undang yang awalnya mengakomodasi kebutuhan penyandang disalibitas justru dihapuskan. Salah satu pasal yang dihapus adalah Pasal 27 ayat (2) Undang-undang No. 28/2002 (mohon koreksi jika salah).

 

Sampai 8 Oktober 2020, gemuruh itu masih kudengar. Di Tulungagung, kawan-kawan dari Aliansi Mahasiswa Tulungagung, tempat berkorelasinya beberapa organisasi ekstra dan komunitas berkumpul, juga baru menggelar aksi turun ke jalan pada 12 Oktober 2020.

 

Demi apa semua itu? Tentu. Demi menolak disahkannya undang-undang cilaka. Mereka telah menyuarakan hak sebagai warga negara, sebagai rakyat yang telah diambil suaranya, oleh para wakil rakyat yang lalim. Demi apa mereka berkumpul di depan gedung DPR? Demi nurani, demi kemanusiaan.

 

Lalu aku? Di mana aku saat semua turun ke jalan dan gemuruh dadanya meluap-luap menyepahkan kekesalan? Aku masih di sini, di ruang 6x5 yang pengap, dengan jari-jari yang masih terus menekan dengan marah dan kecewa, menuliskan #tolakOmnibusLaw #CabutOmnibusLaw #CabutRUUCilaka #MosiTidakPercaya #MosiTidakPercayaDPR.

 

Aku menolak, tapi sampai di sini suaraku. []

Post a Comment

0 Comments