Surat Kepada Koesno - Sebuah Laporan

Koes, aku ingin berbagi berita.
Laporan demi laporan yang membuatku geram, gagal paham.
Bertia mengerikan, momok buat setiap anak dan perempuan.

Seorang guru agama dilaporkan oleh beberapa wali murid, diduga telah mencabuli siswa kelas tiga sekolah dasar ketika jam pelajaran pendidikan agama berlangsung. 2017 silam. Diambil dari sebuah berita, media nasional. Dalihnya edukasi reproduksi. Anak-anak itu dilarang bercerita, apa yang mereka alami pada orang-orang di luar kelas. Hampir satu semester tindakan itu dilakukan. Puncaknya satu siswa terisak-isak setelah sampai di rumahnya.

Seorang ibu bertanya, “kau kenapa menangis? Jatuh dari sepeda?” Tapi si bocah tak menjawab. Masih terus menangis sampai keesokan harinya berani bercerita segala apa yang dialami di sekolah, di jam-jam pelajaran pendidikan agama.

Jogja Politan

Pihak sekolah dilapori, beberapa orangtua memaksa anak-anak bercerita, takut anak-anak mereka mengalami hal yang sama. “semua, satu kelas. Ini harus dilaporkan.” Kata satu wali murid memberi tahu semua orangtua murid yang duduk di kelas tiga, sesuai pengakuan dan cerita si anak.

Pihak sekolah meminta maaf dan berjanji segera mengadakan rapat luar biasa untuk memutuskan langkah selanjutnya. Satu bulan belakangan diketahui si guru pendidikan agama tidak jadi diberhentikan. Klaim yang beredar mengatakan sudah terjadi kesepakatan damai antara wali murid dengan guru dan pihak sekolah yang bersangkutan.

“tapi ini pelecehan. Korbannya tidak hanya satu. Dilakukan tidak cuma sekali. Harus diproses hukum. Kita harus laporkan, pak-bu. Anak-anak itu juga butuh penanganan lebih lanjut. Kita adalah pihak yang bertanggungjawab dan guru itu harus dipecat. Kita tidak boleh berdamai dengan penjahat yang mengambil hak anak-anak didik kita. Kita mesti tegas!” kata seorang guru bantu yang ingin mengusut kasus lebih lebih lanjut.

Dua hari berselang, surat pemberhentian itu dilayangkan. Bukan kepada guru pendidikan agama yang melakukan tindak asusila, tapi pada guru yang menolak tunduk pada keputusan rapat, yang diberi embel-embel luar biasa.

2019, diambil dari satu media nasional, dua polisi berhasil diringkus setelah dilaporkan beberapa warga. Laporan yang masuk menyatakan dua polisi berusia 28 dan 32 tahun itu telah melakukan pelecehan terhadap bocah perempuan berusia 10 tahun. Pelecehan dilakukan di kantor polisi, di jam makan siang. Tiga hari pasca bocah kecil itu mendiami sel anak karena dituduh mencuri uang tetangganya.

Matanya masih sembab dan napasnya belum juga teratur. Tidak ada saksi mata yang dipanggil, tidak ada proses hukum atau gelar perkara dan lain-lain. Si bocah tertuduh ditendang begitu saja ke sel. Tidak ada yang mendiamkan rengekannya. Sampai habis tiga hari dua malam dan setelahnya, dua polisi itu mengambil paksa masa-masa jadi kekanaknya yang riang.

Lalu genap 10 hari, baru si bocah perempuan dibebaskan. Tapi sudah hilang senyumnya. Tatapannya kosong dan takut dan ia mematung di sudut luar kantor, sampai ketua RT datang menjemput dan mengantarnya pulang, ke rumah orangtua yang dipaksa kehilangan daya, untuk menolong si anak malang.

Orbit Digital

Tidak ada berita lebih lanjut soal dua polisi yang katanya berhasil diringkus. Tidak ada yang bertanya apa ganjaran yang pantas diterima dua orang itu. Tidak ada yang paham pasal mana yang ditimpakan pada keduanya. Tidak ada tindak lanjut? Sebulan kemudian, tidak ada yang mengira, mereka masih bebas bekerja. Seperti tidak pernah terjadi kasus yang menjerat keduanya. Sekali lagi, seperti tak pernah terjadi apa-apa.

Ini kali lain, beberapa masih merayakan tahun baru 2020. Liburan yang diisi dengan riuh tawa dan foya-foya. Tapi sudah ada laporan dari seorang bapak, dua polisi telah melakukan pelecehan seksual terhadap bocah laki-laki berusia 12 tahun. Tindakan itu dilakukan di kantor polisi pada jam istirahat, sekira 12.40.

“bagaimana anak bapak bisa sampai kantor kami?”

“pulang sekolah memang lewat sini, pak. Trus katanya disuruh X mampir mau dikasih bingkisan.”

Setelah debat panjang, barulah laporan diterima, “akan segera kami proses.” Kata petugas yang tengah berjaga, meyakinkan. Sedang si bocah trauma berat, malu bersanding dengan teman-teman bermainnya, menangis sampai merah sembab dan tidak berani keluar rumah lagi. Seminggu berlalu, bapak kembali ke kantor polisi minta pertanggungjawaban, “masih kami proses, mohon ditunggu.”

Tapi tidak ada yang mengira setelah sebulan, polisi yang dilaporkan tetap melakukan kegiatan seperti biasa, piket sebagaimana hari-hari sebelumnya. Seperti tidak pernah ada laporan yang memberatkannya. Seperti tidak ada apa-apa. Sekali lagi, tidak terjadi apa-apa. []


Post a Comment

0 Comments