Titik Kulminasi

Aku memutuskan untuk tidak menyelesaikan apapun. Pertanyaan sederhana seorang Leonard kepada istrinya, masih terbaca dan terdengar jelas. “kenapa seseorang harus mati?” sementara aku harus memutar ulang film itu untuk bisa ingat bagaimana Virginia menjawab. Kurasa ini bukan sekedar obsesi atas kematian atau pertempuran melawan kesia-siaan. Seperti yang disampaikan Camus, ini adalah perenungan yang panjang.

tibunnews.com

Sekarang kita tengah berada di penghujung Maret, masa-masa sulit. Semua berperang melawan virus yang menjadi pandemi saat ini. Aku enggan menyebutnya. Ia sama mengerikannya seperti ‘Ia yang tak bisa disebut’ dalam serial Harry Potter, meski aku lebih berani mengatai Voldemort sebagai makhluk aneh yang muncul memecah keharmonisan dan mimpi indahmu. Setidaknya ia mewujud dan lebih nyata terlihat. Tidak seperti virus mungil yang entah kapan bisa masuk dan tiba-tiba sudah memenuhi rongga paru-parumu.

Sejauh ini kurva masih naik dan memaksa kita melihat kematian demi kematian berlipat setiap hari. Aku tidak suka mendengar berita itu. Bukan berarti aku membenci kematian. Aku hanya menyesali sebabnya. Manusia-manusia ceroboh dan kolot yang tidak mau mendengar seruan kemanusiaan. Bukan terhadap mereka yang sudah jelas-jelas tidak bisa berdiam diri di rumah atau terpaksa memungut rupiah demi bisa hidup di hari berikutnya. Tapi pada mereka yang tidak tahu dan enggan mencari tahu sebab merasa ini adalah hal yang remeh temeh.

Takdir yang Tuhan tetapkan atas masing-masing manusia memang tak bisa diganggu gugat. Kehidupan dan kematian memang bukan tugas kita mencampurinya. Tapi setidaknya kita bisa meminta Tuhan merubah jam dan tanggal kematian kita sesuai upaya-upaya yang kita lakukan –orang menyebutnya Ikhtiar. Aku tidak memahami bahasa itu. Tapi aku sering melihat penundaan kematian yang serta merta Tuhan lakukan. Atas keberpenerimaan manusia dan upaya yang telah dilakoninya, Tuhan bisa mendiskon waktu atau menambal beberapa jengkal napas manusia.

“Lalu bagaimana dengan narasi, jangan takut! Toh kematian di tangan Tuhan?”

“Apakah kita takut pada kematian? Kurasa tidak. Maut ada di nadi kita. Mengalir bersama darah dan bisa sewaktu-waktu membekukannya.”

“Lalu?”

“Tuhan memberi manusia keberdayaan untuk mengupayakan sesuatu terjadi. Berserah bukan berarti pasrah. Tuhan ingin tau sebesar apa upaya makhluknya.”

“Jadi apa yang mesti kita lakukan?”

“Jangan berhenti percaya. Jika masa sulit ini menyeru kita untuk menahan temu, maka patuhilah. Kita tentu tidak ingin melihat jasad orang yang kita cintai terbungkus plastik tanpa bisa kita cium untuk terakhir kali, bukan?”

Setelah minggu ini berakhir, kurva akan meningkat tajam. Perhitungan demi perhitungan bakal dilakukan sembari mencari tahu, kapan ia akan landai. Tapi jangan harap berita kematian bisa secepat itu enyah dari mata dan telingamu. Sebab kita tidak sedang bicara tokoh dalam novel atau film. Kita tidak sedang bicara satu manusia dan takdirnya dalam cerita yang kita buat, atau menentukan siapa yang akan kita akhiri hidupnya secara serampangan karena akting yang buruk.

msn.com

***
Aku ingat bagaimana Virginia menjawab pertanyaan Leonard, “seseorang harus mati agar yang tersisa hidup di antara kita bisa menghargai kehidupan. Itu adalah hal yang kontras.” Begitu ia mempertahankan tokoh pahlawannya dan mengakhiri perjalanan tokoh pujangga dalam novelnya.

Betapa melihat kematian demi kematian harusnya membuatku bisa mencintai apa-apa yang kumiliki sekarang. Mungkin aku bisa, tapi tidak setiap orang bisa mendapati dirinya selamat dari keterasingan. Sama seperti mereka yang bertugas di garda depan sebagai tim medis, tak ada yang menjamin mereka selamat dari maut selama pandemi. Tapi bukankah menjalani ritus yang kita geluti sekarang adalah buah dari perenungan yang panjang?

Kita tahu konsekuensi apa yang paling buruk. Siapa orang-orang yang harus dengan rela melepaskan, dilepaskan dan ditinggalkan. Kita mesti siap dengan upacara pemakaman paling sederhana, tanpa pelayat atau bahkan tanpa liang. Sepertinya tidak ada analogi yang tepat menggambarkan keberpasrahan kita pada maut masing-masing.

Virginia benar, kematian harusnya mengajarkan kita bagaimana menghargai kehidupan setelah lebih dulu merasai kehilangan, perpisahan. Meski begitu, tiap-tiap manusia akan mencari pembenar atas pilihannya, dan jika ia telah berani memilih, menghargai atau kalut dan tenggelam. Aku memilih tidak menyelesaikan apapun dan tenggelam dalam kalut yang tak berujung, menunggu kematian. Di luar sana, seorang perawat memilih bunuh diri ketika tahu ia terjangkit virus, demi tidak menulari yang lain. Sedang Virginia sendiri, memilih menenggelamkan dirinya di sungai, sebab telah merasai cukup, bergelut dengan waktu.


Mungkin di sini aku setuju dengan Camus, titik kulminasi kematian bukan soal hidup itu berharga atau tidak, bukan soal layak atau tidak layak, atau karena kita lemah dan memilih segera tiada. Bahwa masing-masing dari kita telah melewati perenungan panjang sebelum siap bersapa dengan maut, bagaimanapun jenis dan perantaranya. Perenungan yang telah menghasilkan gagasan dan alasan logis –dan mungkin juga agar manusia lain bisa menghargai sisa usia mereka. []

Yogyakarta, 28 Maret 2020

Post a Comment

0 Comments