Sang Pejalan

Mereka menyebutnya musim wabah. Meski harusnya April adalah waktu yang tepat menikmati kemarau panjang di belahan bumi tropis. Waktu yang tepat bagi Monsun bertamasya ke Nusa Tenggara, Bali, atau ke Jawa. Waktu yang tepat mencintai terjal perbukitan, gunung atau menyelam di kedalaman dan menemukan Tuhan di antara biota laut Nglambor atau Drini. Meski harusnya April hingga mendekati hari raya umat Islam adalah waktu-waktu terbaik menghabiskan sisa hari di tengah kerumunan wisatawan, menekuri pusat oleh-oleh dan berjalan dengan congkak melawan sengat matahari.

medium

Semua hanya ‘seharusnya’ dan tidak mungkin terjadi dalam masa-masa sulit yang mereka sebut sebagai musim wabah. Ketakutan menamatkan cerita masing-masing hanya sampai pintu rumah atau gerbang tetangga. Tak ada yang berani berlama-lama tinggal di luar. Semua juga mafhum, tak harus berjabat tangan meski pertemuan yang lama mengundang rindu tetiba hadir di depan mata. Termasuk tak ada tradisi pelukan untuk beberapa waktu ke depan, mungkin. Mereka mulai saling terasing.

Tapi beberapa sanggup menikmati pengamanan yang mereka buat, dengan stok makanan pokok, buah dan minuman segar di dalam kulkas. Beberapa yang lain merasa aman, sebab fasilitas ditunjang kantong perusahaan dan sisanya masih mengais di selokan, sisa sayur di pasar subuh dan beras yang tercecer di ubin, pelataran toko sembako yang mulai kehabisan stok sebab diborong wajah-wajah yang kalut dan takut. Sementara jumlah kematian mendekati angka yang mengerikan, para elit dan politisi masih sibuk sesumbar anjuran, silang sengkarut istilah dan revisi undang-undang.

Setiap hari itu-itu saja berita yang ia dengar dari koran atau televisi di warung tempat singgah. Lelaki dengan pakaian serba hitam, rambut gondrong ikal yang ia ikat ke belakang. Kumis tebal dan jenggot panjangnya membuat orang-orang pasar dan warung sekitar gampang mengenalinya. Ia tak membawa apapun selain apa yang ia kenakan. Blangkon itu juga mulai terlihat usang, sedikit berjamur di bagian belakang.

Berapa sudah hari ini, mbok?

Katanya 2000 lebih lo. Meh 200 sing mati.

Lhaa orang disuruh di rumah aja pada mbandel. Kalo yang mati tambah banyak pada bingung, takut.

Lha kowe tiap hari ke warungku, opo nggak takut mati?

Aku kan ndak menyentuhmu to, mbok. Mosok cuma nyruput kopi buatanmu trus aku mati? Yo ora to.

Lha kok yakin kowe gelasku aman ndak ada bibit penyakite? Virus kan ndak keliatan. Piye to bocah ki.

Kalo bukan aku yang minta dibuatkan kopi, sing ke warungmu siapa? Anggep ae aku penglaris daripada warungmu sepi, mbok.

Sekali lagi ia merasa cukup jadi pendengar. Ia hanya orang asing yang singgah beberapa bentar. Tak harus beramah tamah dengan orang-orang yang sempat ia temui. Toh mereka lebih banyak memandang aneh, lebih dulu mengambil jarak dengan mimik wajah yang tiba-tiba kehilangan sesimpul senyum atau memalingkan sedikit sebelum ia sempat memulai kata pertama.

***

Malam itu ia kembali berjalan ke arah Timur. Masih dengan pakaian yang sama. Hanya kali ini membawa tas goni, mungkin berisi beberapa barang berharga. Ia ingat harusnya malam ini adalah purnama pertama di April yang dingin. Tapi langit dilingkupi mendung bertumpuk-tumpuk dan jalanan tambah sepi setelah ditemukan penambahan kasus sekitar tiga orang terbujur kaku di pusat kota. Tak ada pihak keluarga yang datang setelah satu jam lebih mayat dipinggirkan. Baru setelah bunyi sirine itu mendekat, satu persatu mayat diangkut.

Musim wabah membuat orang tak berani berkerumun hanya demi menyaksikan kematian seperti hari-hari sebelumnya. Satu bulan yang lalu, sebelum musim wabah menggerogoti kota, kecelakaan tunggal remaja membuat hampir semua orang yang tengah menikmati malam minggu di pusat oleh-oleh kota itu berkerumun, melingkar. Saling sahut menyalahkan remaja yang dianggap tak becus mengendarai sepeda motornya. Ada yang berkelakar si bocah mabuk, lantas memberi sumpah serapah dan tendangan di kaki, yang bahkan sulit diminta menyangga tubuh sendiri.

Si remaja meninggal di tempat, meski tak ada yang melihat luka serius di tubuhnya. Kerumunan itu perlahan lenyap setelah pihak kepolisian mengambil alih tempat kejadian. Satu bulan yang lalu, kematian seperti hanya milik mereka yang bernasib buruk, kurang sholeh, nakal atau milik kelas tertentu. Tapi di musim wabah ini, kematian menjadi hadiah untuk semua jenis manusia, memecah tembok perlindungan orang-orang yang congkak dan bebal, yang enggan menyepi beberapa bentar hanya agar wabah tak semakin banyak menyebar.

Sementara laki-laki paruh baya itu mencatat kembali semua cara kematian yang ia lihat. Dua-lima dan angka terakhir adalah tiga, sisa kematian di purnama pertama. Malam ini ia menulis agak panjang dalam catatan harian itu, termasuk bagaimana nasib lima orang yang tadi sempat menggotong dan meminggirkan para korban sebelum diangkut.

Yang Maha…
Sedang menunggui sisa kemanusiaan
Melempar maut demi maut
Menjaga bumi

Yang Maha…
Dibawa bermain para bebal
Manusia menikam manusia dipecundangi elit-elit dari golongan manusia
Dicerabut kematian

Yang Maha…
Kapan waktu yang tepat
Aku memagut jasadku menemui mautku?

Tulisan di akhir catatan malam itu, sebelum ia kembali berjalan ke Timur menemui cerita kematian-kematian lain. Ia akan tetap menjadi asing untuk dirinya sendiri, sampai menemukan biang kematian yang ia rindukan. []


Post a Comment

0 Comments