Kahuripan dan Sesempal Catatan



Stasiun lengang. Derit Kahuripan yang akan membawamu beranjak dari kota tempat mimpi-mimpi itu berjejal, terasa lamban. Meski ritme dan wanginya sama saja, stagnan dan bau khas kereta ekonomi. Tapi semua mafhum, beberapa waktu ini seonggok bayangan bisa mendadak asing, termasuk dua mata yang mengantarmu melewati pemeriksaan petugas stasiun. Jemari yang membawa perangai hangat, membuatmu ingin menetap lebih lama sekaligus pergi dengan segera. Tidak ada kata perpisahan yang muluk, ini bukan lagi masa bermain di pentas melo-drama.


Lagipula masih terlalu pagi sebelum beberapa lahan kosong menyeringai di pelupuk matamu. Di Ngawi, tanah-tanah susah payah diremajakan. Kau bisa lihat dari arah kedatanganmu, di sisi kanan kepala-kepala bukannya tak ada. Mereka merunduk, menyemai benih padi dan mungkin sembari menyiangi rumput. Di bawah langit secerah ini, beberapa mulai berlindung dari sengat matahari. Sementara membiarkan cangkul, mesin-mesin bajak mengambil jatah panas lebih banyak. Beberapa terlihat bersantap menu yang sudah disiapkan dari rumah, lengkap dengan sebotol kopi atau teh. Di pematang, motor-motor dan sepeda berderet rapi, ada yang sengaja sembunyi di balik tingginya rumput gajah.

Apa kita akan segera tidur karena menyaksikan pemandangan setenang ini?

Mungkin belum, tapi segera.

Di Magetan, aku melihat warung-warung sepi. Mungkin karena terlalu terik? Aku tidak yakin. Stasiun jadi lebih sepi lagi ternyata. Di sepanjang Magetan, para petani juga tengah sibuk dengan padi yang baru tanam, beberapa menunggu ketersediaan tempat. Yaa, air tampaknya melimpah meski aku tidak tau darimana berasal. Setidaknya lahan-lahan ini tidak kerontang. Burung-burung Blekok juga terlihat bahagia, mereka terbang rendah bersama kawanannya, di antara lahan-lahan sawah yang hampir menyerupai kolam. Awan-awan juga bergelantungan rendah, seperti kapas yang bergerombol, bertingkat, sedikit melingkar dan sisanya lebih tipis menyebar diterbangkan angin.

Ada satu pemancing di sungai yang kau lewati antara Magetan dan Madiun, sebelum sampai di stasiun Madiun yang penuh bunga warna warni. Di situ kau mendengar kembali alunan gending jawa, samar-samar jadi keroncong dan suara anak kecil yang akhirnya lebih berisik dari kemelut di dalam otakmu. Kita berhenti agak lama, saling mengamati dari luar dan dalam dan dari sisi yang entah terjangkau atau tidak sama sekali. Tapi tiba-tiba kita telah sampai di Caruban, yang terpampang pada setiap sudutnya ladang tebu dan persawahan. Ini memang musim tandur yang meriah, sekaligus mengerikan sebab di tengah pandemi.

Tapi hari ini kita memeringati Hari Bumi, kan? di Rabu yang baik dan cuaca yang sangat cerah. Kau bisa saksikan bagaimana hijau, biru dan putihnya awan menjadi komposisi yang sehat. Gundukan bebatuan mirip bukit kapur –meski tampak marginal, seperti menunggu lengah untuk dijarah. Jati-jati kusut, menua. Tapi masih menyediakan diri untuk tidak menggugurkan daun sebelum tiba masanya. Melihat ujung yang hijau tapi nanar itu membuatku sedikit lupa, kita tengah disekap wabah dan bahwa rasa kemanusiaan juga makin mahal.

Bukankah nilainya bisa setingkat dengan lambungan harga masker, vitamin C dan handsanitizer?

Bisa saja begitu.

Tapi lagi-lagi di dalam gerbong ini, aku merasa aman. Merasa hidup dan rungkut. Aliran darah dan napasku lebih damai. Tapi entah apa yang kemudian bisa lebih banyak disyukuri. Mungkin ini cara Tuhan mendekap dalam kesepian yang sentosa.

Kau dan sedikit gerutu, tanda ketidakteraturan menggeliat dalam ruang setengah sadarmu. Tapi masing-masing memberi napas pembebasan. Di kota angin ini, kau tiba-tiba saja teringat bagaimana pemerintah pada akhirnya memberlakukan Kartu Pra-Kerja, menganggap itu akan jadi solusi atas banyaknya PHK di tengah pandemi, melumpuhkan pondasi-pondasi. Tapi toh kau sempat ingin mendaftarkan diri pada ketidakjelasan-ketidakjelasan itu. Lalu ingat bahwa tidak pernah ada solusi, itu hanya ilusi yang dibangun sebagai benteng dari sekian ketidakbecusan.

Bukankah pemiskinan akan selalu terstruktur?

Kau pasti masih ingat bagaimana rakyat ditumbalkan.

Baiklah, sepertinya kita memang sering salah prediksi. Menganggap yang ilusi bisa jadi solusi. Kertosono kemudian membangunkanmu dari lamunan panjang, mengingatkan bahwa hari ini tidak akan turun hujan, mengingatkan bahwa yang mereka sebut solusi adalah kata lain dari ketidakjelasan. Kediri menegaskannya. Ia mengantarkanmu bertemu dengan suhu yang lebih panas lagi. Matahari mungkin sudah condong ke barat, membuat semburat yang menyentuh kaca Kahuripan menyerupai lempeng besi yang baru dipanaskan.
Dan jangan sekali-kali menyentuhnya, atau kulitmu akan melepuh, mungkin juga sedikit mengelupas.

Yaa, apapun yang kau mimpikan sepanjang perjalanan pulang, semoga tidak lantas membuatmu beringsut. Hari itu ibu bumi memberimu pundi-pundi napas yang sehat dan begitu panjang. Lalu kau turun dengan doa yang mungkin terdengar lebih panjang lagi. Singkatnya, lewat yang Agung kau tak ingin membawa apa-apa, tak ingin menyebarkan segala apa, kecuali kebahagiaan dan cinta.

Apa aku telah meninggalkan sebagian cinta di tempat sebelumnya? []



Kahuripan: Eko-5/17E
Yogyakarta-Tulungagung, 22 April 2020

Post a Comment

0 Comments