Melawat Sebingkai Ibu (bagian satu)


Kau mulai berkemas. Melipat tiga kemeja, dua kaos warna biru, tiga celana dan beberapa pakaian dalam, satu novel yang belum khatam dan buku catatan, lalu memasukkannya ke ransel hitam merk kenamaan, kesukaanmu. Beberapa jam lagi perjalananmu akan kembali dimulai. Kali ini hanya untuk singgah ke dua atau tiga kota. Bertemu dengan klien, karib lama dan seorang perempuan yang belum ingin kau kenalkan pada ibu.

Seperti pagi yang nyala redup dari sinar matahari belum menguning sempurna, kubuatkan secangkir teh melati tanpa gula. Agak lama, setelah lulus SMA kau pernah bilang untuk tidak mencampurkan gula pada tiap-tiap minuman pagimu, entah teh atau kopi. Aku setuju sebab mungkin akan baik untuk proses pencernaan, maka aku juga mengikutinya dengan takaran bubuk kopi yang lebih sedikit dari takaran di cangkirmu.

dakwatuna

Mau sarapan dulu?

Tidak, bawakan bekal saja.

Beberapa apel, sekotak nasi dendeng dan termos berisi kopi kupastikan siap kau bawa dalam sepersekian menit. Ritual pagi yang dingin dan singkat, menandai kesepian yang semakin akut. Tapi aku tak bisa memintamu berlama-lama tinggal seperti masa-masa yang sudah kau hafal rentetan ceritanya. Tahun-tahun kekanakmu mungkin sudah kau anggap habis. Permainan-permainan jerami, sawah, lumpur, sungai dan ikan-ikan sudah tak kau butuhkan. Tinggal perkara-perkara serius, menantang dan capaian-capaian yang ingin kau tuju.

Mungkin, rumah sekedar tempat memangkas lelah atau sembunyi sejenak dari kalut yang kau hadapi di luar sana. Setelah merasa lebih baik, kau tidak akan membutuhkannya lagi. Mungkin, rumah juga tak lebih dari tempat singgah mirip kos, tapi kau tak perlu bayar sebab selalu terbuka menunggu langkah kakimu  menjejak ubin-ubin tuanya. Tugasku hanya memastikan tubuh ini ada untuk menyambut kepulanganmu yang entah, semakin tak ada yang pasti.

Tapi aku sudah terbiasa menghadapi apa-apa yang tidak pasti. Pernikahanku dan kelahiranmu, kematian demi kematian yang selalu meleset dari prediksi, kepergian bapakmu yang juga, entah. Aku memang takut kalau sewaktu-waktu kau juga pilih tak kembali sebab merasai keadaan yang tidak sesuai dengan zamanmu, di rumah ini. Sedang aku tak bisa berbuat apa. Oleh sebab itu aku tak pernah bisa memintamu tinggal lebih lama. Meski bagiku kau tetap kekanak yang ceroboh dan perlu dikhawatirkan.

Aku tidak percaya kisah Malin Kundang sebab kau adalah orang terpelajar dan aku tidak pernah membiarkan perut kita dihujani rasa lapar. Semenjak lulus strata satu dua tahun lalu, kau pilih bekerja dan urung melanjutkan. Aku ingin, tapi katamu nanti dulu.

Mari kita bagi tugas, bu.

Aku masih sanggup jika kau ingin melanjutkan lagi.

Setidaknya biarkan aku merasai bagaimana menjadi buruh, pekerja. Aku tidak ingin menjadi terpelajar tapi gagap realita. Bu, kau pasti mengerti ini.

Ngger, kita tidak akan pernah bisa lepas dari jeratnya. Setiap jengkal langkah dan saku-saku kita, tidak bisa keluar dari lingkaran itu.

Setidaknya biarkan aku merasainya, bu. Tidak lama…

Percakapan itu membuatku makin sadar, kau bukan lagi kekanak yang merengek minta diijinkan bermain atau ikut persami di lapangan sekolah. Kau lebih terpelajar dariku, melahap buku-buku di perpustakaan ibu lebih dini. Mungkin, mengijinkanmu berpetualang dengan dirimu sendiri adalah kewajibanku sebagai ibu. Meskipun aku akan kehilangan waktu mengelus kepalamu dan mendengar cerita-cerita heroik yang kau alami di masa-masa belajarmu setiap hari itu. Tapi aku memang harus, kehilangan. Apakah setiap ibu harus mencecap kehilangan demi kehilangan dalam hidup –ketubuhannya, kesempatannya dan jabang yang keluar dari rahimnya?

***
“Malang,
Tujuan terakhir.
Selamat bertemu, perempuanku.” – Yogyakarta, 2012

Kututup buku harian pemberian ibu di ulangtahunku yang ke-23. Setelah ini Malang, akan ada perempuan menyebalkan yang mengundang rindu itu di sana. Aku tidak bisa menghubunginya lebih dulu. Kami selalu membuat kesepakatan yang konyol dan tidak biasa. Tapi, aku menyukainya. Ia adalah karib yang mengajariku banyak hal soal menghormati perempuan dan hak-haknya sebagai sesama manusia. Meskipun aku sudah banyak belajar itu dari ibu, tapi aku menghargai penyampaiannya yang selalu penuh hal baru, tidak menggurui.

Aku ingin segera memperkenalkannya dengan ibu. Aku membayangkan kami bertiga bisa minum teh tiap pagi dengan perdebatan yang lebih hangat. Tidak seperti beberapa waktu terakhir, ibu murung dan aku kehilangan banyak konten untuk kubicarakan dengannya. Mungkin dengan kehadiran perempuan menyebalkan itu, ibu bisa punya teman bicara beberapa waktu. Rumah tidak akan sedingin hari terakhir sebelum kutinggalkan.

Kami memang tidak pernah punya relasi khusus selain karib. Ia tidak ingin menjalin hubungan yang terlembaga. Tapi keterbukaannya membuatku lebih bisa menerima semua keputusan yang ia sampaikan dengan lapang. Ia akademisi seperti ibu tapi sangat jauh menyebalkan dan aku harus mengulang kata itu berpuluh-puluh kali dalam buku harian selepas bertemu dengannya. Aku ingin mengajaknya bertemu ibu, niatku sudah bulat. Aku harus meredakan kemurungan itu segera. Sebab tak ada yang lebih membuat kalut selain dinginnya sikap ibu.

Kau jadi ajak aku pulang, Koes? Ingat, tidak ada pembicaraan pernikahan.

Sans, aku hanya minta tolong satu itu saja, tidak lebih.

Lagipula, aku orang asing. Kau tentu yang lebih paham ibumu daripada orang lain.

Benar, tapi aku gagal mengatasi kemurungan itu. Aku takut bertanya. Kuakui, kemurungannya justru membuatku mengambil jarak.

Jam berapa kita berangkat dan sampai di rumahmu?

Tidak lama, sekira empat jam. Aku meninggalkan motorku di penitipan kendaraan di stasiun.

Janji kelingking. Tidak menyoal relasi, atau aku akan pulang detik itu juga.

Seperti biasa, hanya jari kelingking kami yang bisa saling berpagutan, tanda kesepakatan telah kami buat, semacam amanah yang harus dipegang masing-masing. Kami percaya, kesepakatan jika terjadi dalam relasi lain–bukan seperti yang kami jalani–hanya jadi mitos dan sesuatu yang utopis. Maka persahabatan ini setidaknya jadi ruang paling egaliter, tempatku menjalin kesepakatan demi kesepakatan dengannya.

suar.id

***
Hari ini aku akan bertemu dengan seorang perempuan seusia ibuku, mungkin. Tapi hebatnya, ia adalah akademisi yang juga punya fokus pada masalah-masalah perempuan. Kata Koesno, anaknya sekaligus sahabatku, ibunya pernah beberapa kali menangani kasus perempuan tenaga kerja yang mengalami kekerasan oleh suami dan kehilangan hak asuh atas anak semata wayang. Ibunya juga sempat tergabung dalam tim advokasi dan menangani persoalan-persoalan perempuan di Indonesia yang kompleks dan jarang mendapat perhatian serius.

Aku memang kagum hanya karena mendengar dari Koesno tentang ibunya. Aku membayangkan bisa bercakap banyak hal tentang fenomena-fenomena terkini. Terlebih kata Koesno, ibunya punya banyak koleksi buku yang membuatnya dulu sangat betah berlama-lama di ruang baca pribadi keluarga. Aku benar-benar tertarik dan akhirnya mengiyakan ajakan Koesno menemui ibunya. Aku yakin saja bisa lekas akrab, karena sangat mungkin kami satu frekuensi.

Menurutmu apa hal yang paling mungkin membuat ibumu murung?

Setelah ia pensiun, aku tidak pernah tau apa yang ia alami di rumah. kukira hal yang membuatnya dulu sering murung adalah pekerjaan kantor.

Tapi ternyata bukan? Baiklah, kita akan cari tau, bocah. Tidak usah memasang wajah ikut murung begitu.

Kami sampai di rumah Koesno jam dua siang, setelah sempat berputar-putar membeli beberapa oleh-oleh untuk ibunya.  Halaman rumah tampak lengang, hanya ada beberapa daun mangga yang jatuh tertiup angin. Pintu depan tertutup sedang pintu samping terbuka lebar seperti sengaja menunggu seseorang memasukinya. Aku diajak Koesno menuju ke pintu samping, sehingga bisa melihat bayangan tubuh sepuh di depan mesin jahit bersama beberapa kain batik coklat di pangkuannya.

Sadar dengan kedatangan kami, ia buru-buru menghentikan kegiatannya, menyambut Koesno dengan sangat erat. Aku hampir-hampir dibuat meleleh dengan adegan itu. Aku tidak ingat punya berapa teman laki-laki yang bisa sedekat ini dengan sosok ibu setelah berumur sekian.

Rokis ya? Anak sudah sering cerita kalau punya teman yang menyebalkan. Sambil sedikit terkekeh ia menyalamiku dan hangat. Aku hampir-hampir tidak melihat kemurungan seperti yang diceritakan Koesno sebelumnya. Ia sangat sehat dan baik-baik saja, menurutku.

Dia mau menemani ibu untuk beberapa hari.

Kau mau pergi lagi?

Dua hari lagi harus ke Surabaya, bu.

Baiklah. oh kalian duduk dan istirahat dulu, ibu buatkan teh.

Aku buru-buru pamit ke kamar mandi setelah menahan hampir tiga jam. Sekilas aku mengamati rumah tua dengan halaman depan dan belakang yang sama-sama luas. Halaman belakang menyekat dapur dengan kamar mandi sehingga butuh waktu untuk bisa langsung menjangkaunya.

Selepas 15 menit kuhabiskan di rumah orang hanya untuk buang hajat, kusempatkan berkeliling halaman belakang. Aku melihat tumpukan bingkai foto di pojok halaman yang sedikit cekung, seperti sengaja disediakan untuk tempat membakar sampah. Rasa penasaran menyuruhku mendekati tumpukan bingkai itu. Anehnya, ada bercak darah di setiap bingkai yang jumlahnya lebih dari lima buah itu. Sementara foto-foto di dalamnya kosong dan satu bingkai kacanya pecah tak beraturan.

Ro, mari ikut makan…

Post a Comment

0 Comments