Sakralitas Penampihan; Tak Sekedar Lawatan ke Cagar Budaya Indonesia


Keberadaan cagar budaya tidak bisa lepas dari legenda atau mitos yang berkembang di masyarakat, mengenai latar belakang kemunculannya. Hal tersebut juga berlaku pada salah satu cagar budaya yang ada di Kabupaten Tulungagung, yakni Candi Penampihan. Candi yang dibuat sekitar tahun 898 Masehi ini ternyata memiliki banyak keistimewaan dan sejarah panjang yang melingkupinya.

Candi Penampihan berdiri kokoh di area lereng Wilis, dengan ketinggian sekitar 815 mdpl. Bentuk candi ini unik karena berdiri di atas punden berundak yang memiliki tiga teras. Jika Anda berkeliling ke komplek candi, ada beberapa arca dan prasasti yang masih bisa dijumpai, seperti Arca Dwarapala, Arca Dewa Siwa dan Prasasti Tinulat. Selain itu, di area sekitar candi juga ada rimbun perkebunan teh yang masih dimanfaatkan oleh warga sebagai sumber perekonomian.

Cerita Di Balik Nama
Satu dari sekian versi mengenai penamaan Penampihan berasal dari kisah penolakan yang dialami oleh seorang penguasa Ponorogo. Saat itu ia tengah memendam rasa dan ingin menikahi Dewi Kilisuci yang berasal dari Kediri. Akan tetapi sebelum sempat sampai ke Kediri, utusan yang ia kirim lebih dulu kembali menyampaikan berita penolakan dari sang Dewi.

Meski tak menyimpan dendam, pembesar tersebut enggan kembali ke Ponorogo dan memilih tinggal di kawasan lereng Wilis. Kemudian ia mendirikan bangunan suci –yang sekarang kita kenal dengan candi– dan menghabiskan sisa usianya bersama para prajurit di area tersebut. Lamaran yang ditampik atau ditolak itulah yang kemudian menjadi asal mula penamaan penampikan dan sekarang lebih populer dengan penampihan.

Mengenai sejarah panjangnya, Candi Penampihan seakan menjadi saksi dari kejayaan beberapa kerajaan di masa lampau seperti Kediri, Singasari, sampai beralih ke kerajaan Majapahit. Tak heran jika candi ini menjadi sangat sakral bagi masyarakat. Selain dipercaya sebagai tempat bertemunya para penguasa Jawa dan tempat berinteraksi dengan Sang Hyang, masyarakat hingga saat ini juga percaya bahwa sakralitas Penampihan yang dipertahankan, akan membawa kebaikan, baik di area sekitar candi maupun bagi masyarakat Tulungagung pada umumnya.



Sakralitas adalah Penyelamat
Adanya cagar budaya dan tradisi masyarakat menjadi dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Dalam rangka melestarikan dan merawat cagar budaya, masyarakat desa Geger kecamatan Sendang kabupaten Tulungagung rutin mengadakan Grebeg Suro dengan puncak ritual berada di area situs Candi Penampihan. Acara yang digelar tersebut juga selalu dihadiri oleh pemerintah kabupaten dan segenap masyarakat dari berbagai daerah. Tidak hanya dari kawasan kaki Gunung Wilis, bahkan warga dari kabupaten lain datang demi menyaksikan perayaan Grebeg Suro dan menikmati pagelaran kesenian, seperti jaranan, reog kendang dan beberapa tari-tarian daerah.

Sakralitas merupakan hal yang krusial dalam perayaan ini. Di mana para sesepuh desa tidak pernah lupa mengingatkan warga untuk menata niat sebelum prosesi Grebeg Suro dilaksanakan. Hal ini untuk menghormati para leluhur yang telah menjaga alam Sendang selama beratus-ratus tahun. Selain itu kesakralan dalam tiap-tiap prosesi juga diniatkan sebagai bentuk syukur dari apa yang telah Sang Hyang atau Tuhan berikan kepada masyarakat selama ini, sehingga mereka jauh dari kekurangan.

Sakralitas kawasan Penampihan yang terus menerus dijaga oleh masyarakat ternyata juga dapat menjadikan kawasan ini selamat dari tangan-tangan yang tidak bertanggungjawab. Menjadikan suatu kawasan sebagai tempat yang disucikan, sakral, keramat, dan lain sebagainya secara tidak langsung telah membuka kesadaran warga masyarakat akan pentingnya melindungi kawasan cagar budaya tersebut. Sehingga apabila ada oknum yang memiliki niat buruk pada area Penampihan, mereka akan lebih dulu mendapat penolakan dari leluhur yang menjaga lereng Wilis –setidaknya hal tersebut yang menjadi kepercayaan masyarakat Sendang, Tulungagung.

Tak Boleh Sekedar Lawatan
Lalu apa yang bisa kita berikan untuk Candi Penampihan sebagai salah satu cagar budaya Indonesia? Sebagai generasi penerus, tentu ada banyak cara yang bisa dilakukan. Misal dengan terus mendukung kerja kebudayaan dan pelestarian. Tak sekedar lawatan atau mengunjungi komplek cagar budaya, main-main lantas selfie, akan tetapi langsung terjun ke masyarakat dan ikut serta dalam menyelenggarakan acara-acara kebudayaan yang bertempat di area situs atau cagar budaya tersebut.

Setidaknya dari apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Tulungagung di atas, ada beberapa aksi nyata yang bisa ditiru guna merawat cagar budaya yang ada di daerah lain di Indonesia, antara lain sebagai berikut:

  1. Mengenalkan cagar budaya pada generasi muda.
  2. Mengikutsertakan pemuda dan masyarakat dalam segala bentuk pelestarian.
  3. Aktif mengadakan kegiatan di area situs cagar budaya.
  4. Melindungi aset dan menindak tegas pencurian benda-benda bersejarah.

Dengan begitu, kita tidak akan gagap terhadap sejarah dan alur atau prosesi yang ada pada setiap tradisi. Upaya pemeliharaan terhadap cagar budaya pun bisa kita lakukan sekali jalan dengan menyelenggaraan tradisi tersebut.

Jika Anda memiliki cerita lain mengenai pelestarian cagar budaya di tempat Anda, sangat dianjurkan ikut berkontribusi dan menuliskannya dalam lomba blog Cagar budaya Indonesia; Rawat atau Musnah! Adapun untuk info lengkapnya bisa kunjungi alamat https://indscriptcreative.com/kompetisi-blog-cagar-budaya-indonesia-rawat-atau-musnah/


Post a Comment

0 Comments