2690


Mata merah menatap sekumpulan orang yang duduk lengang di sudut angkringan. Ia mengenal satu di antara orang-orang itu. Ingatannya mungkin terbatas, tapi sosok jangkung yang duduk membungkuk itu mulai mengganggu. Laci-laci dalam memori jangka panjangnya mulai terbuka dan ia menemukan satu nama.

“Yusak, tidak salah lagi.”

Laki-laki berkumis tipis dengan tato bergambar salah satu jenis Nepenthes itu tak lain ialah Yusak Setiadi, teman sepermainan semaca kecil. Beberapa windu setelah kepindahannya ke Driyorejo, komunikasi antara masing-masing orang tua dua sahabat itu terputus.

Tapi Yusak tak melirik sama sekali. Ia tak memerhatikan sosok kurus yang ada di sisi lain mejanya. Ia asik memutar kartu-kartu remi dan bermain bersama ketiga kawannya. Ditaksir usia mereka tak jauh beda. Yusak masih sibuk mengocok kartu setelah terkihat kalah dalam permainan kedua.

“Ada yang terus melihat kemari. Kau kenal?” bisik seorang yang menghadap langsung ke arah selatan.

“Abaikan! Toh ia sendiri. mungkin kesepian.”

“Kau belai saja.” Membaca sinis pikiran di sampingnya.

Sementara mereka masih saling menyindir. Yusak juga abai. Tidak begitu peduli dengan omong kosong sekawanannya tentang laki-laki bertubuh kurus di selatan meja yang memandanginya.

Beberapa menit berlalu dan ia mulia lihai dengan permainan kartunya. Perlahan Yusak sadar kalau cuma dirinya yang tidak luput dari perhatian laki-laki bermata merah itu.

“Apa ia masih melihat kemari?”

“Kau mengenalnya?”

“Aku ragu. Tapi barangkali dia kenal denganku, atau kita pernah berurusan?” Yusak mulai serius menanggapi pemandangan itu.

Tak lama berselang ia pilih pulang. Kiranya ia salah mengira bahwa yang dipandanginya barusan adalah kawan lama. Setelah selesai dengan urusan kasir, ia beranjak meninggalkan angkringan, menyusuri jalanan kota yang lebih dulu lengang. Ia masuk ke gang-gang sempit di pinggiran kota Surabaya dan pulang, menuju rumah singgahnya di perbatasan.


“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”

“Maaf?”

“Aku Yusak, Yusak Setiadi. Namamu?” kau mengulurkan tangan dan menyimpulkan senyum sebentar. Akhirnya kau yang lebih dulu memperkenalkan diri.

“Aku Sulung. Koesno Sulung.”

Dada Yusak sesak. Masih menimbang-nimbang, belum percaya sepenuhnya. Pertemuan ini, ia tidak pernah duga. Terjadi tanpa tanda, tanpa isyarat apapun.

“Aku tau kau akan segera mengakhiri jabat tanganmu yang hangat ini, sahabat lama, Yusak.”

“Kau jalang! Seharusnya kau tidak di depanku sekarang. Seharusnya kau tidak di sini.” Mata penuh guratan kebencian mulai muncul dari pandangan Yusak.

Seperti diingatkan masa yang tidak pernah sudi ditemuinya. Yusak menyimpan sesuatu yang sama sekali tidak diketahui kawan masa kecilnya ini.

“Aku tidak pernah mau mengerti sesuatu tentangmu karena malas saja. Tapi kali ini aku benar-benar tidak mengerti. Setelah sekian lama saling hilang, kau malah membenciku?”

Kita terakhir bertemu 2 kali windu lalu. Ketika wajah belum setegas saat ini. Tangan atau lengan kita masih sama-sama suci, kukira. Menurutku tak mungkin kita menyimpan dendam di usia yang begitu muda.

Aku ingin luruskan. Tapi sepertinya ini bukan masalah sepele yang bisa kuselesaikan dengan satu permohonan maaf. Juga bukan sesuatu yang tanpa resiko jika keesokan harinya kuajak Yusak bertemu di tempat yang sama.

“Bisa kita luruskan? Jika memang ada yang salah, harusnya aku tau soal apa itu…!”

“Manusia diciptakan dengan tingkat kesadaran yang jumawa. Kau tidak ingat sama sekali dengan tindakanmu?”

“2690 hari aku mencari keberadaanmu, dan ini balasan ketika kita berhasil bertemu? Kau ini manusia atau bukan?”



Bukan, tak sesederhana itu. Ini jauh dari perihal mutasi yang dialami oleh ayah Koesno. Ada kebencian yang salah, yang disimpan terlalu lama oleh Yusak dan keluarga besarnya. Ia, kehilangan bapaknya, tepat sehari sebelum ayah Koesno mengajak mereka semua pindah kota. Dan tidak ada yang selesai. 2690 hari yang sia-sia dirasakan oleh keduanya.

“Jika bukan karena hutang budi, aku tidak akan mau mencarimu.”

“Seharusnya bukan bapak, tapi ayahmu yang kudu ke liang pekuburan.”

Tapi tak ada yang diucapkan oleh keduanya selepas bertemu. Mata merah dan matayang penuh amarah itu hanya saling tatap. Tak ada yang memulai memberi ruang bicara, tak ada yang sesumbar apa-apa.

“Terimakasih, terimakasih atas hening yang kau ciptakan, Yusak/Koesno.”

Keduanya hanya membatin sembari saling beralih pandang, berbalik badan, dan pulang. Tanpa ada sesuatu yang selesai atau pernah dimulai.

Post a Comment

0 Comments