Pawai Terakhir

Kiranya aku sudah sampai di perbatasan. Siang ini langit membawa dua tipe awan, cirrus pembawa sutra dan cumulus dengan berton-ton calon hujan, yang mungkin bakal jatuh beberapa jam lagi. Aku harus segera sampai. Aku tidak mau basah dengan perasan air mata dewa. Hari ini jangan sampai berlaku konyol dengan bermain hujan.



Kuminta Koesno mengendarai roda dua kami lebih cepat. Tanpa membantah, ia percepat lajunya. Sebab hujan juga tidak akan baik bagi dua mata yang mulai tidak awas. 15 menit berselang dari perbatasan, kami melihat jalanan mulai riuh, semacam ada pawai peringatan hari besar.

"Aku yakin ini masih bulan Juni, Koes."

"Bukan, itu bukan pawai peringatan hari besar."

"Aku yakin memang bukan, Koes."

"Tapi kau barusan membatin, Ruk."

"Iya, maaf. Maksudku itu memang bukan pawai. Kukira keranda itu benar berisi mayat."

"Tapi tunggu... Lihat baju-baju pengiringnya. Mirip kostum karnaval, kan?

"Kau lihat apa?"

Sambil menunjuk ke depan, Koesno mengamati raut demi raut wajah para pengiring keranda. Tidak ada raut kesedihan, sepertinya tidak ada sesal atau ingatan yang membawa mereka ke titik menuju giliran.

"Ada apa dengan mereka, Koes? Sudah mau hujan, baiknya kita segera..."

"Baik, segera putar balik."

"Maksudku kita bisa segera menyela. Kita bisa pelan-pelan berkendara di sela pengiring."

Tapi Koesno terlanjur memutar arah motor kami. Ia tak mau dengar. Ia cepat-cepat berbalik dan membiarkankun hampir terjungkal dari boncengannya. Sementara dia masih diam. Sampai 15 menit berlalu, ia tetap diam, tak berdehem seperti biasanya.



"Ada masalah?"

"Kau merasai sesuatu?"

"Maksudnya?"

Cumulonimbus sudah di atas kepala. Gelegar petir mulai membuat ketiak kami kuyup. Sedang kami harus kembali ke perbatasan dan memilih cabang jalan yang lain.

"15 menit lagi bersiaplah, tapi diam."

"Apa?"

Aku melihat pawai serupa. Tapi sangat tidak mungkin aku melihat raut wajah dan kostum yang sama. Ini juga bukan pawai peringatan hari besar. Tak lebih dari iring-iringan kematian. Aku dan Koesno mulai melihat beberapa keranda kosong. Dan jenazah dengan kafan yang lusuh terbengkalai di pinggir jalan.

Kali ini Koesno tidak memutar arah. Ia tetap melanjutkan perjalanan sembari memelankan laju kami. Tak ada suara bising sebagaimana sebelumnya. Kami fokuskan penglihatan kami ke depan, tanpa berani melihat sekitar.

"15 menit lagi kita keluar."

"Baik..."

Dan kami kembali ke perbatasan dengan degup tak beraturan. Tak ada kesaksian dan kami tak bisa pulang. Aku berharap cirrus saja yang datang dan membuat jalan kami tak tertolak.

Post a Comment

0 Comments