Mengukut


Hujan tidak bisa bising.
Riaknya lebih hening ketimbang sepi.
Gelagarnya lebih manis ketimbang gulali.
Ia tidak menyalahi manusia atau mengancam keberadaannya.
Seperti rumusan Sapardi, ia lebih bijak ketimbang hakimnya manusia.

Ia membawaku pada kebercandaan.
Kilat-kilat yang turut datang bertandang, mengupaya diri mengalami takut akut pada malam.
Padahal, yaa, Tuhan memang sedang suwung dan memilih bercanda dengan hamba-Nya.
Di tengah riuh redam perang batin perselisihan, pergolakan tiada habis, Ia pilih satu dua makhluknya mengukut diri, sembunyi.

Seperti semut-semut yang berlarian menepi ketika mendengar pasukan Sulaiman datang.
Ia beri tanda pada koloni itu tunggang langgang balik ke sarang, menyelamatkan diri.
Jika tak sayang, tak mungkin Ia beri satu koloni itu pendengaran tajam atas ketentuan nasib baik buruknya.

Tapi, Ia malas menyayang pada pecandu bising.
Bumi cipta-Nya jadi bising, ramai permusuhan, pertarungan tak adil, pelecehan, perebutan kuasa, dan itu-itu saja perdebatannya.
Sudah habis lagi sayangNya, lebih-lebih pada mereka yang membuat hujan seperti bencana, bukan rahmat apalagi pengantar nikmat.

Sulit menemui hujan yang meringkuk damai.
Sesulit mendengar-Nya mematikan saklar kehidupan untuk kemudian mengantar lelap di pangkuan.
Ini bukti terlalu riuh sesak nuansamu, nuansaku, di tengah-tengah kita.

Tak ada tempat buat mencari suaka, mencari hening, mencari hujan yang tak bising.
Hingga sisanya tidak lebih hanya rengek jeda rengek meronta, menyumpahi hujan untuk segera reda.
“Riuh nyatanya tak bisa diredam!” sekali itu seperti bising yang tak bisa dibungkam.

Keinginan kembali adalah sebuah upaya jadi kesia-siaan.
Riuh tak bisa mengukutkan diri meski diminta pergi.

Sebab manusia menjejali heningnya dengan suapan-suapan emosi, tiada henti.[]

Post a Comment

0 Comments