Diadili Cinta Tuhan

Andai tulisan ini adalah sepucuk surat yang ditujukan kepada ayah dan ibu, maka akan kutuliskan persisnya. Surat yang berisi permintaan maaf atas ketidakmampuanku memahami keadaan, tidak mampu membedakan mana keinginan dan mana kebutuhan. Bahkan aku tidak mampu memahami diriku sendiri. Mungkin surat ini klasik, tapi kuharap mereka akan membacanya dengan hati yang tak sepedih hari ini.


Ayah…dan juga kau, ibu
Aku tidak tahu kapan aku bisa membuat kalian berdua bangga memilikiku. Aku juga tidak pernah bertanya kepada kalian, tentang apa-apa yang menyebabkan kalian gundah, gelisah, senang, bahagia, atau lara. Aku bahkan tidak pernah sadar telah membuat salah satu atau bahkan kalian berdua merasa kecewa dan marah. Aku hanya sadar telah menjadi manusia yang tidak punya hati, terlalu berambisi, tapi lupa diri.

Aku ingat pertama kali ketika membasuh kakimu, bu. Saat itu aku begitu bahagianya karena dinyatakan diterima di salah satu universitas Islam ternama di Surabaya. Lantas kubasuh kedua kakimu, meminta restu. Tapi mimik ketidaksetujuan nampak jelas dari rautmu.

Lalu aku merasa kecewa, atau seharusnya kau yang kecewa, bu? Saat itu setelah kubasuh kakimu, nada bicaraku meninggi. Padahal kau hanya mengucap sepatah kalimat, “Apa yang mau dipakai kesana? Weslah cari yang dekat.”
Lokadata.id

Kadang pikiran menangkis tapi hati tak mampu berkutik. Jelas aku tidak mampu meluluhkan hati dan membuat ibu mengizinkanku menuai mimpiku sendiri. Kali ini, jarak dan materi yang mendadak sakti. Kedua hal itu menjadi benteng pertahanan yang selalu diungkit-ungkit ketika aku meminta meneruskan kuliah ke luar kota.

Aku sempat memberontak. Kenapa masih ada anggapan perempuan tidak mampu berjuang dan mandiri? Tersekat oleh jarak, dan segala hal yang menyertainya. Semua itu menjadi begitu menakutkan.

Yaa, aku memang harus sadar diri. Siapa aku, dimana posisiku, dan bagaimana kondisi keluargaku. Aku harus mematri itu kuat-kuat di ubun-ubun agar ketika aku lupa dan ingin menggapai asa di atas gedung lantai duapuluh, aku ingat siapa dan dimana posisiku berada.

Tapi, bukankah Tuhan menciptakan manusia untuk senantiasa berusaha? Bahkan Ia berfirman tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu berusaha merubahnya sendiri. Aku beranggapan jalan yang kutempuh adalah benar. Aku ingin merubah persepsi orang lain atasku, dan atas keluargaku. Aku ingin membanggakan orangtua, aku ingin menunjukkan ke tetangga yang sering menggunjing kami, bahwa setidaknya ada –dari keempat– anak ayah dan ibu yang bisa mengenyam pendidikan tinggi.

Apa aku salah? Dimana keadilan Tuhan? Aku punya tujuan yang jelas, tapi jalanku selalu saja dipersulit. Di titik itu aku merasa Tuhan tengah mempermainkan keseriusanku. Tuhan sedang tidak adil padaku, karena teman-teman seperjuanganku telah mendapatkan apa yang menjadi keinginan mereka. Sementara aku, tidak.

Tapi tidak ada hal yang bisa kuperbuat. Mau tidak mau, akhirnya kuturuti mereka dengan kedongkolan, kemarahan, dan kekecewaan. Sementara disisi lain aku masih mencari letak keadilan Tuhan untukku. Aku perempuan, dan aku punya mimpi yang panjang. Tapi semua terhalang, lagi-lagi karena aku perempuan, dank arena aku anak terakhir.

Hampir sebulan tidak ada percakapan panjang yang terjadi antara aku, ayah, ibu, atau aku dengan kakak-kakakku. Kami membeku dalam ketiadaan basa-basi layaknya biasa. Perasaan bersalah justru berevolusi menjadi arogansi. Aku merasa tidak dianggap ada oleh keluargaku sendiri. Jika ada hal yang kami obrolkan, pada akhirnya justru berujung pada tangis dari ibu dan enyahnya ayah dari kursinya.

***
Pendaftaran untuk jalur UMPTKIN masih dibuka. Atas bujukan saudara-saudara, akhirnya kekakuanku melumer. Aku pun mendaftar online dan memilih IAIN Tulungagung sebagai tujuan utama. Yang ada dipikiranku saat itu hanya satu, setidaknya aku masih diperbolehkan kuliah, “baiklah… akan kujalani, bagaimanapun hasilnya nanti. Kuanggap ini proses yang Tuhan minta dariku, dan aku harus melaluinya.”

Tidak sulit dan tidak ada yang menye-menye dalam perjalananku sampai diterima di IAIN Tulungagung, di jurusan Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, yang sekarang jurusan itu berganti nama menjadi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir. Aku mampu melaluinya dengan sangat mudah.

Kukatakan pada ayah dan ibu bahwa aku diterima dan akan segera melakukan heregistrasi. Kemudian salah seorang teman mengabari terkait adanya beberapa jalur untuk meringankan biaya kuliah para mahasiswa baru. Kucarilah info dari sana sini.

Pertama aku gagal, dan terpaksa membayarkan sejumlah uang untuk melengkapi heregistrasi saat itu. Tapi aku tidak ingin menyerah semudah itu, kucari lagi informasi tentang beasiswa yang mana menemukanku dengan para pendaftar bidikmisi dari berbagai jurusan. Tanpa berpikir panjang, kudaftarkan diri dan mulai melengkapi berkas-berkas yang diwajibkan.

Bagi ayah dan juga ibu, mungkin ini juga bukan sebuah perjuangan yang sulit. Aku hampir-hampir tidak menemukan rintangan apapun dalam melengkapi berkas bahkan saat ujian. Niatku hanya ingin meringankan beban ayah dan ibu, sudah cukup. Pun aku menyadari ketidakbecusanku mengerjakan setiap soal yang diujikan. Jika saat itu gagal, rencana demi rencana seperti bekerja paruh waktu telah kusiapkan.

Namun Tuhan berkata lain. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya kudapatkan beasiswa itu. Kukabarkan pada kedua orang tuaku atas berita bahagia yang kudapatkan. Kucium ibu dan ayah dengan rasa haru yang tak kutampakkan di depan mereka. Aku ingin menangis, berteriak keras, dan memohon ampun kepada Tuhan atas sempitnya pengetahuanku atas kuasaNya.

Yaa, mungkin ini adalah salah satu bentuk keadilan yang Tuhan berikan padaku. Adil yang bukan sama rata, bukan tidak berat sebelah, bukan semata-mata hak dan kewajiban. Tapi adil ini tentang porsi. Tuhan tau mana yang aku butuhkan, dan mana yang sekedar hasrat atau keinginan.

Disini aku melihat keadilan Tuhan, dimana setiap masanya Ia lewat kuasanya membuatkan master plan yang luar biasa tidak terpikirkan olehku. Yaa, aku melihat kuasaNya lewat ketidakmampuanku menerima kealpaan usahaku.

Dan sekarang aku disini, bersama keluarga yang tak kubayangkan dapat bertemu mereka sebelumnya. Beasiswa ini mengantarku sampai ke depan pintu kegelapan yang baru. Dimana aku akan berjuang lagi menentukan langkah setelahnya. Ini bukan sebuah akhir dari keadilan Tuhan, justru ini adalah awal dari Master plan yang telah dibuatkan Tuhan untukku. Aku masih boleh menghapusnya, kemudian menggantinya dengan master plan-ku yang amburadul, keruh, dan tentunya tidak terarah.


Disini Tuhan mengadiliku dengan cinta-Nya. Ia berikan kesempatan untuk merefleksikan apa-apa yang telah digariskannya. Segala sesuatu menjadi sangat mungkin kudapatkan, meski sesuatu itu bukan salah satu dari apa-apa yang kuinginkan di awal. Tuhan telah menunjukkan keadilan cintaNya kepadaku. Sebagaimana Ia yang masih mencintai hamba sepertiku, maka kuputuskan untuk juga teguh mencintainya dengan caraku sebagai hamba yang menerima setiap percik keadilanNya. []

Post a Comment

0 Comments