Morfo Biru - Ruangan dingin ber-AC dengan ukuran 3x4 meter menjadi
kubangan neraka baginya. Dadanya bergolak tidak tenang. Pikirannya benar-benar
kalut. Belum lagi, memar di wajahnya seperti pisau yang mengerat kulitnya. Saat-saat
seperti ini, ia ingat Marsya adiknya. Gadis kecil yang sekarang berusia lima
tahun itu mungkin sedang berdiri di halaman rumah menunggunya. Masih jelas
diingatannya saat adiknya berlari menyambut kedatangannya saban sore.
Sambil memeluknya, Marsha selalu bertanya: “Kakak membawa makanan apa hari ini?” Ia biasanya tersenyum lalu memberikan sebuah kantong plastik berisi bungkusan makanan pada adiknya hasil seharian mengamen. Semenjak orang tuanya meninggalkan mereka, ia menjadi ayah sekaligus ibu bagi adiknya.
Air
matanya mengucur perlahan di pipinya. Bagaimana nasib adiknya bila hari ini ia
tak pulang? Ia mengutuki kebodohan dirinya. Seharusnya, ia tidak tergoda
mengikuti ajakan Supri kawannya untuk mencopet di mall. Seharusnya, ia tetap
berada di jalanan dan melantunkan lagu. Seharusnya, saat ini, ia sudah pulang
menemui adiknya dan membawakan nasi goreng kesukaanya. Ia menghela nafas
panjang seraya menyesali perbuatannya. Seandainya saja, ia tak tergiur ajakan
Supri, memar di sekujur wajahnya tak akan pernah timbul.
![]() |
kakak adik - pixabay/milaoktasafitri |
Setelah menunggu beberapa saat, seorang petugas kepolisian memasuki ruangan. Ia merunduk ciut dan ketakutan mendengarkan suara sepatu petugas kepolisian.
“Ini,
pakaian tahanan buatmu” kata petugas itu padanya.
“saya
ditahan Pak?” jawabnya tercekat.
“jelaslah,
kau lupa sudah melakukan tindakan kriminal?” tanya petugas kepolisian.
“tapi
pak…” jawabnya terbata-bata.
“sudah
jangan banyak bicara, pakai baju itu!” bentak petugas kepolisian.
Ia tampak
kesulitan memakai baju tahanan yang diberikan. Lengannya terasa mati rasa dan
sulit digerakkan. Entah berapa pukulan dan injakan yang menghujani punggung dan
lengannya hingga ia bersusah payah mengenakan kaos tahanan. “Cepat obati
luka di wajahmu” perintah petugas kepolisian, saat melihat dirinya selesai
mengenakan seragam tahanan. “Baik”
jawabnya penuh gugup.
Mulutnya
menahan erangan saat kapas berisi cairan pengering luka mendarat di lebam
wajahnya. Sakit yang tak terkira amat dalam menghujamnya. Baru beberapa kali ia
mengobati wajahnya, petugas kepolisian sudah menyuruhnya berhenti.
“Cukup,
ini waktunya interogasi” kata petugas kepolisian dengan ketus.
“Baik”
jawabnya dengan pasrah.
Petugas
kepolisian membuka layar komputer. Tanpa
basa-basi, petugas kepolisian mencecar pertanyaan kepadanya.
“Benar,
saudara bernama Febri Andra?” tanya petugas kepolisian.
“Betul,
Pak” jawabnya lemah.
“Anda
secara sadar melakukan tindakan pencopetan di mall?” tanya petugas
kepolisian lagi.
“Tidak,
Pak” jawabnya.
“Tidak
bagaimana maksudmu!” bentak petugas kepolisian.
“Saya,
hanya mengikuti ajakan teman” jawabnya.
“Tapi,
kau setuju kan saat diajak mencopet?” tanya petugas kepolisian lagi.
Ia
hanya membisu. Ingatannya memunculkan memori-memori menentramkan belasan tahun
silam. Saat kedua orang tuanya masih hidup. Setiap sore, sepulang mengamen
ayahnya akan mengajaknya duduk di teras rumah. Banyak tembang lagu dolanan sampai
lagu kanak-kanak yang diajarkan kepadanya. Di sela-sela menyanyi, ia bisa
menyaksikan kereta lewat di hadapannya.
Posisi rumahnya yang berada di pinggiran rel kereta membuatnya leluasa
menyaksikan kereta kapan saja. Terkadang, saat kereta melintas, ia mengajukan
pertanyaan-pertanyaan penuh polos kepada ayahnya.
“Ayah,
suatu hari nanti, apakah kita bisa naik kereta?” tanyanya.
“Tentu
saja, pasti bisa” jawab sang ayah sambil tersenyum.
“Tapi,
bukannya tiket kereta itu mahal ya?” tanya.
“Ah, tidak juga, suatu hari kamu pasti bisa membelinya” ucap sang ayah.
Sejak
saat itu, ia mulai bermimpi bisa menaiki kereta dengan gerbong panjang yang
akan membawanya ke banyak tempat. Ia membayangkan betapa menyenangkannya
menyaksikan pemandangan-pemandangan dari kaca kereta. Akan tetapi, mimpi
tersebut perlahan sirna. Berbilang tahun kemudian, kejadian buruk menimpa
dirinya dan keluarganya. Sore hari, tatkala tengah bermanjaan dengan ayahnya,
sekelompok aparat mendatangi ayahnya dan orang-orang yang bermukim di pinggir
rel kereta.
“Selamat
sore, ini peringatan terakhir kami untuk segera meninggalkan pemukiman ilegal
di sini” kata salah seorang aparat.
“Sebentar”
kata sang ayah pada aparat tersebut.
“Kamu
masuk dulu ya” kata sang ayah padanya.
Ia
menuruti kata ayahnya dan segera masuk ke dalam rumah. Ibunya memeluknya dan
menyuruhnya untuk tidak berisik. Dari dalam, ia mendengar ayahnya
bercakap-cakap cukup lama sampai para aparat itu pergi. Ia lantas bertemu
ayahnya, dan segera bertanya penuh kepolosan.
“Ayah,
apakah orang-orang tadi jahat?” tanyanya.
“Tidak
nak, semua orang itu baik” kata ayahnya sambil tersenyum.
“Lalu,
mengapa kita akan diusir? Aku suka disini bisa menyaksikan senja dan kereta
yang melintas” katanya.
“Semoga
kita masih bisa di sini”
jawab ayahnya.
![]() |
orang miskin - pixabay/mohamed_hassan |
Setelah percakapan sore itu, keesokan harinya terjadilah demonstrasi besar-besaran yang menyebabkan seorang aparat meninggal dan beberapa lainnya terluka. Sial baginya, ayahnya ditangkap dan tidak pernah bertemu dengannya lagi. Sementara ibunya meninggal setelah melahirkan adiknya. Kini, tinggallah ia seorang diri dengan adiknya. Hari-harinya, diisi dengan mengamen untuk menyambung hidup.
“Hei jawab pertanyanku!” bentak petugas kepolisian. Ia terhenyak. Tak terasa, ia melamun cukup lama.
“Ya
saya terpaksa mencopet untuk memenuhi kebutuhan” katanya.
“Kau
melakukan itu karena kau orang miskin” balas petugas kepolisian penuh
ketus.
“Sekarang
kamu akan saya tempatkan di sel” lanjut petugas tersebut.
Ia
hanya bisa berpasrah. Tubuhnya terasa amat lemah untuk berjalan. Sesampainya di
depan pintu sel, ia mengamati orang-orang dengan wajah sangar sudah
menunggunya. “Ini kawan baru kalian,” kata
petugas kepolisian sambil menyuruhnya masuk. Setelah petugas kepolisian itu
pergi, para tahanan langsung menghujani dengan berbagai pukulan.
“Kau
sok jagoan ya, dengan mencopet di tempat umum” kata seorang tahanan seraya
melayangkan pukulan padanya. Tahanan lainnya ikut menghajarnya. Ia mengerang
sejadi-jadinya. Saat erangannya sudah mencapai puncak, sayup-sayup ia mendengar
suara adiknya.
“Kakak
bangun…. bangun.” Ia terperanjat dan segera membuka matanya. Jantungnya
berdegub kencang. Keringat dingin mengalir di dahinya. Dari ponsel usangnya, ia
membaca pesan singkat dari Supri kawannya: “Ayo kita bergegas menjalankan
rencana kita.”[]
PENULIS
Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta
Karya terbaru novel fiksi anak, Bangunnya Peri Merah (2017) | Bisa disapa via Whatsapp 085802474575 | Email: thomithomas78@gmail.com, IG: Thomas
Elisa P
0 Comments