Morfo Biru – Apa
yang pertama kali kamu rasakan saat tinggal di rumah mertua? Canggung, malu,
khawatir dianggap bukan menantu yang cekatan, pemalas? Atau ada hal-hal lain
yang kamu khawatirkan?
Perasaan masing-masing perempuan setelah menikah dan
masih tinggal di rumah mertua mungkin akan berbeda-beda. Begitu juga yang saya
rasakan.
![]() |
puan - pixabay/Irasonja |
Saya dan suami berteman dekat hampir 10 tahun, sebelum
akhirnya memutuskan untuk menikah. Ada banyak cerita lucu, konyol, kalut, dan
sengkarut yang mengiringi perjalanan kami berdua.
Tapi bukan itu poinnya. Meskipun sudah mengenal suami
cukup lama, tapi tidak dengan keluarganya. Kami hanya sempat bertemu beberapa
kali dan ngobrol seadanya.
Akhir Oktober 2024 lalu kami memutuskan untuk menikah.
Tentu sebelumnya ada proses pertemuan dua keluarga, seperti pada umumnya. Sisetan
kalau dalam tradisi jawa.
Pasca menikah, kami memutuskan untuk untuk tetap tinggal
di rumah masing-masing. Selain karena harus mengurus tanggung jawab pekerjaan,
kami belum cukup tabungan untuk memiliki rumah sendiri.
Jadi satu minggu saya ikut ke rumah suami, satu minggu
suami ikut ke rumah orangtua saya, dan begitu seterusnya sampai pada masa di
mana kami harus benar-benar tinggal masing-masing.
Hal itu karena pekerjaan kami menuntut kehadiran utuh di
waktu yang bersamaan, sehingga akan menguras banyak tenaga jika suami harus
antar jemput saya atau sebaliknya.
Meskipun jarak kediaman kami hanya 1,5 jam, tetapi
nyatanya kami kehabisan momen untuk bertemu di bulan kedua, awal pernikahan. Akhirnya,
kami menyepakati dan berkompromi.
![]() |
baby & mom - pixabay/canidiamesa |
Momen Kehamilan yang Mengejutkan
Sebagai pasangan baru, kami mendapatkan banyak wejangan
tentang pernikahan. Termasuk menjaga lisan, mengenai apapun yang berkaitan
dengan biduk rumah tangga.
Satu diantaranya adalah tentang memiliki momongan. Kami
diberitahu bahwa pamali mengungkapkan ingin menunda momongan, sebab bisa jadi
jalan terjal jika suatu hari menginginkannya.
Akhirnya kami sepakat untuk tidak menunda apapun. “Jika
Gusti Allah memberikan segera, syukur. Jika belum pun tidak masalah. Sebab anak
adalah amanah dan hanya lewat kuasa-Nya bisa dititipkan pada kami.”
15 hari berselang, saya dinyatakan positif hamil. Sejak
saat itu hingga hari ini, saya lebih banyak tinggal di rumah mertua. Selain
karena ikut suami, kondisi di rumah mertua dirasa lebih proper untuk
kesehatan saya dan janin.
Bertepatan dengan kontrak kerja saya yang habis di akhir
Januari kemarin, saya pun kini fulltime sebagai ibu rumah tangga.
Semesta seolah memberi jeda istirahat untuk fokus pada kebutuhan saya dan dedek
dalam kandungan.
Hidup Bersama Mertua, Bagaimana Rasanya?
Kalau melihat postingan di Instagram, Tiktok atau media
sosial lainnya mungkin teman-teman sudah pada paham bagaimana rasanya. Menjadi
seorang istri yang harus tinggal satu rumah dengan keluarga suami.
Teruntuk saya pribadi, sependek ini saya menjalani
hari-hari yang biasa-biasa saja. Saya mendapatkan keluarga yang hangat dan
penuh kelembutan.
Terlebih ketika momen kehamilan bulan pertama dan kedua,
di mana mual dan muntah adalah proses yang harus dijalani setiap pagi hingga
siang hari. Kepedulian dari keluarga suami saya rasakan lebih dari cukup.
![]() |
perempuan - pixabay/daunbaru |
Tentu hal-hal semacam ini tidak bisa dibuat perbandingan,
baik dengan keluarga sendiri maupun dengan pengalaman perempuan lain. Sebab
pasti ada beragam pengalaman berbeda, yang punya kesan dan catatan
masing-masing.
Bagi saya pribadi, kebersamaan dan komunikasi menjadi
kunci. Sebelum memutuskan segala hal, komunikasi dengan suami sudah lebih dulu
saya lakukan. Apa yang boleh dan tidak boleh keluar dari kamar, secara detil
perlu kami bahas tuntas dan utuh.
Kami sadar, bahwa sebagai keluarga baru yang masih numpang
di rumah orangtua suami, tentu akan ada banyak retakan. Baik yang
kami sadari atau tidak, perdebatan tentang hal-hal sepele mungkin bisa terjadi.
Jadi, kami perlu memastikan semuanya berjalan tanpa ada
hal privat (di dalam kamar) yang keluar dan diketahui oleh keluarga suami.
Begitu juga berlaku ketika di rumah orang tua saya. Apakah ibu-ibu di luar
sana juga pernah mengalami apa yang saat ini sedang saya alami?
Nah, sebelum akhirnya kami memutuskan untuk pindah
(karena telah mendapatkan pekerjaan yang lebih layak), kami berdua harus
berkompromi dengan banyak hal. Begitupun setelahnya.
Saya menyadari sesuatu, bahwa ternyata menjadi perempuan
yang biasa-biasa saja, menjalankan peran sesuai kemampuan tanpa judgement dan
kekhawatiran adalah sebuah berkah tak ternilai.[]
0 Comments